“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan telantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka kataNya kepada murid-muridNya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu.”
(Mt 9: 36–38)
BERTOLAK dari bacaan Injil tanggal 10 Juli 2012 di saat aku mensyukuri anugerah imamat yang kuterima 10 tahun yang lalu, aku merefleksikan peziarahan imamatku.
Pertanyaan refleksiku: Imam macam apa yang dibutuhkan untuk zaman sekarang, dan bagaimana imamat bisa menjadi rahmat dimana aku sekarang berada?
Hadir dalam segala situasi
Imam adalah pekerja yang dikirim oleh “yang empunya tuaian” kepada mereka yang lelah dan telantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka tugas imam yang pertama dan utama adalah hadir (present).
Hadir di antara umatnya, mengalami dan merasakan kecemasan dan harapan, kebanggaan dan kekecewaan serta duka dan kebahagiaan umatnya (compassion).
Imam hadir kini dan sekarang (present). Kehadiran imam tidak dibutuhkan untuk mengubah nasib dan mengatasi segala persoalan umatnya, karena umat punya cara dan kekuatannya sendiri untuk mengatasinya.
Kehadiran imam dibutuhkan untuk bersama-sama memeluk apa yang dialami umatnya.
Dalam kegembiraan
Imam di balik segala permasalahan dan kesulitan pribadi hadir dengan kegembiraannya. Maka imam yang hadir bukan imam yang kelelahan dan habis (burnt out) dan juga bukan imam yang lari dari kesulitan dan persoalannya.
Tetapi imam yang memancarkan kebahagiaan karena selalu berani memeluk segala kesulitan dan persoalan, dan dalam pengalamannya menemukan ada banyak rahmat. Saat imam hadir dengan kebahagiaannya, ia berani bersama umatnya memeluk kelelahan dan kesulitan umatnya dan mewartakan bahwa di balik semua ada banyak rahmat.
Dengan demikian kehadiran (presence) imam menjadi rahmat /hadiah (present) bagi umatnya. Pada gilirannya imam mewartakan sumber kekuatan hidupnya yaitu cinta Allah yang dialaminya. Allah yang tidak pernah meninggalkannya, Allah yang selalu hadir menemani dan meneguhkannya. Di dalamkegelapan yang paling pekat sekalipun selalu ada cahaya kalau mau memeluk kegelapan itu. Maka imam tidak hanya hadir (present) sebagai rahmat (present) tetapi imam menghadirkan (represent) Dia yang mengutusnya.
Ternyata “absent”
Setelah 10 tahun peziarahanku sebagai imam ternyata masih amat jauh dari itu. Aku lebih banyak belum hadir (absent). Ada banyak alasan kesibukan untuk membenarkan ketidakhadiranku. Tidak jarang aku lari dari persoalan umatku.
Seandainyapun aku hadir seringkali tidak kini dan di sini (present) tetapi hadir dengan masa lalu (past). Pengalamanku akan keberhasilanku di suatu tempat ingin kuterapkan di tempat ini, ketika tidak berhasil aku mencari pembenaran.
Saat berkhotbahaku sering menjadi ‘teolog’ atau eksegit yang menyampaikan gagasan yang tidak membumi dan tidak dipahami umat tapi aku bangga dengan hal itu. Di sisi lain aku hadir dengan masa depan (future). Aku membawa gagasan yang ideal atau selalu mengatakan seharusnya begini, seharusnya begitu yang sering membuat umat menjadi frustasi.
Aku tahu dan sadar dimana aku sekarang berada. Aku masih jauh dari gambaran imam yang baik sebagai pekerja yang diutus. Aku sadar pula bahwa aku adalah orang berdosa yang dipanggil (tanpa maksud permisif).
Dengan segala kelemahan dan kekuranganku aku diajak untuk melanjutkan peziarahan ini, setapak demi setapak untuk menjadi imam yang layak bagi umat Tuhan. Imam yang hadir (present), kini dan di sini (present), imam yang menjadi rahmat (present) bagi umat dan imam yang menghadirkan (represent) Dia yang mengutus.
Akhirnya dengan segala kelemahan dan kedosaanku aku berani berdoa:
“Ambilah ya Tuhan,
Kebebasanku, kehendakku, budi dan ingatanku,
Ambilah semua yang ada padaku
Berilah aku cinta dan rahmatMu
Cukup sudah itu bagiku”.
Photo credit: Ilustrasi (Alm. Romo Fix SCJ –dok. keluarga)