PESTA yang sangat indah, meriah dan penuh kebahagiaan. Saya bersyukur bisa ikut berada di sana. Sebanyak 11 romo MSC bersyukur atas 25 tahun hidup membiara. Romo Handoko yang memimpin misa. Didampingi oleh Romo Suroto sebagai Wakil Provinsial; dan Romo Miranto sebagai superior daerah Jawa Tengah.
Bapak Uskup Keuskupan Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ juga hadir, namun tidak memimpin misa. Monsinyur hanya duduk saja sepanjang misa, karena beliau masih belum sehat betul. Beliau belum kuat untuk memimpin misa.
Tetapi mengapa Romo Handoko yang memimpin misa? Bukan Romo Suroto sebagai Wakil Provinsial atau Romo Miranto sebagai superior daerah? Jawabannya tentu ada dalam pribadi Romo Hondoko sendiri.
Di antara 11 imam yang berpesta itu, Romo Handoko yang paling menonjol. Dalam doa-doa bagi mereka selalu disebutkan: Romo Handoko dkk… yang hari ini berpesta. Jadi kelompok itu sepertinya dikenal sebagai kelompok Romo Handoko dkk.
Padahal misa bisa juga dimpinpin oleh Romo Bowo yang paling tua. Atau Romo Wisnu yang paling muda (kalau tidak salah). Atau Romo Sukis yang paling lama bekerja di Papua. Atau yang lainnya. Tetapi kelompok itu menyerahkan kepada Romo Handoko untuk memimpin ekaristi, mungkin karena Romo Handoko yang berkarya di Keuskupan Purwokerto yang sehari-harinya sudah biasa dengan Bapak Uskup.
Kotbah bagus
Kotbah dari Romo Hertanto sangat bagus, sangat indah dan mengena bagi saiapa saja. Padahal ia ditunjuk spontan sebagai hukuman karena dia adalah satu-satunya yang tidak ikut retret bersama di Taroanggro (Wonosobo). Romo Hertanto baru pulang menghadiri rapat MSC di Jepang, dan baru tiba, masing nampak lelah, dan diminta berkhotbah. Dan khotbahnya sangat bagus, karena suasana hati yang bahagia. Memang kalau orang lagi bahagia, bicara tanpa persiapan pun akan bagus. Namun kalau orang lagi stres, biarpun kotbah sudah disiapkan susah payah, tetap tidak bagus.
Sambutan dari Romo Agus Soplanit (orang Ambon) yang juga sangat indah. Awalnya, ia berbicara agak formal dan pelan seperti membaca yang sudah disiapkan. Tetapi lama-lama begitu lancar, bersemangat, tidak membaca lagi, bahkan akhirnya ia memanggil semua temannya untuk maju di depan altar dan menyanyikan lagi: Tuhan Pertolonganku. Romo Aldrin Rey langsung menuju ke organ keibor (sebagai ahli musik dan sedang belajar musik di Yogya), Agus Soplanit tetap di mikrofon untuk menyanyi solo dan semua yang lain sebagai koor.
Mereka menyanyi dengan sangat indah. Agus Soplanit yang punya bakat menyanyi seperti Broery Pesolima tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. (Ia so ba-Lukcy lagi). Ia menyanyi dengan improvisasi yang membuat umat terkagum-kagum dengan alunan suara mereka. Romo Handoko yang punya perasaan halus, ia menyanyi sambil matanya berkaca-kaca, penuh rasa haru dan bahagia. Saya perhatikan sampai yang detil, karena saya mau tulis kabar ini.
Umat yang hadir sangat banyak. Yang nampak menonjol banyaknya adalah para suster. Begitu banyak suster dengan pakaian seragam mereka yang berbeda-beda, sesuai dengan tarekat masing-masing sampai Tuhan sendiri bingung dengan banyaknya seragam suster itu. Hadir juga para imam praja Purwokerto dan Semarang dan mantan seminaris yang menjadi teman-teman mereka di Seminari Mertoyudan dulu. Hadir juga teman angkatan mereka Rudy Thomas. Senang bisa bertemu dengan Rudy Thomas ini, mantan anak bimbingan saya waktu frater dulu.
32 orang, tinggal 11 imam
Kelompok “Kesebelasan ini” sangat lengkap dengan bakat-bakat dan saling melengkapi. Waktu masuk novisiat, katanya mereka berjumlah 32 orang dan waktu profesi pertama ada 28 orang. Tetapi yang sampai tahbisan imam ada 11 dan itu tetap bertahan sampai sekarang. Belum ada yang keluar dari imamat dan belum ada yang meninggal.
Sedangkan angkatan saya waktu tahbisan ada 13 orang. Tetapi tiga orang sudah meninggalkan imamat dan dua orang sudah meninggal. Yang belum meninggal dunia dan belum meninggalkan imamat ada 9 orang: Joko, Karol, Sonny, Retob, Sarkol, Purasa, Besembun, Purwanto dan Pontoan. Tetapi kami tidak bisa berkumpul dan merayakan pesta bersama seperti Romo Handoko dkk.
Memang tidak semua angkatan sekompak “kesebelasan” ini. Dalam hal ini, mereka patut diacungi jempol. Karena teman angkatan adalah teman yang paling dekat dan bisa saling mendukung dan menguatkan. Kalau bukan teman angkatan, apalagi angkatan berbeda jauh, biarpun sama-sama MSC, maka bisa terjadi saling salah paham, tidak cocok, tidak bisa bekerja sama dan saling berkelahi. Kalau teman angkatan, karena sudah tahu “kartu masing-masing” maka bisa saling mengerti – mendukung – menguatkan – dan mendoakan.
Mantan anak didik
Saya sebagai orang yang pernah mengajar mereka dan punya pengalaman bagaimana ketika mereka masih frater-frater, maka saya punya bayangan juga tentang keunikan masing-masing. Namun perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta karya telah membuat mereka banyak berkembang.
Yan Sareta adalah orang yang paling lucu. Ia dulu sering menjadi MC dan pandai bercerita mob sampai sekarang. Yang punya bakat musik ada banyak. Aldrin Rey adalah ahlinya. Handoko juga pandai bermain gitar dan menyanyi. Agus Soplanit suaranya sangat bagus. Wisnu juga bisa main mudik dan bisa melatih koor. Sukis yang tidak bisa menyanyi, tetapi punya bakat pastoral dan kesetiaan yang besar sampai sejak menjadi imam ia belum pernah pindah dari Tanah Papua.
Hertanto juga tidak bisa musik, tetapi dia dikaruniai otak yang baik sehingga bisa mencapai doktor teologi dan menjadi dosen di Pineleng. Demikian pula Anton Tukiran yang tidak bisa membaca not dan kalau menanyi prefasi fales, namun tekun membaca dan sudah selesai studi Sejarah Gereja di Roma dan mulai mengajar juga di Pineleng. Walaupun ia pernah mengalami kecelakaan maut sampai gegar otak ketika baru menjadi imam, namun bisa selamat, bisa sembuh dan otaknya masih baik.
Yang tidak punya bakat menyanyi juga Widyo lestari, Mas Bowo dan mungkin juga Gerry Ohoiduan. Kehadiran Romo Laksono Wibowo dalam kelompok ini sebagai orang yang paling tua dan panggilan terlambat, karena sudah sebagai Insinyur pertanian dan sudah bekerja, dan baru masuk, ikut mempengaruhi suasa kelompok yang menjadi lebih dewasa dan lebih terkontrol karena kehadiran orangtua itu. Kalau tidak, maka mereka akan menjadi liar semua. Untung ada Mas Bowo yang umurnya malah lebih tua dari saya. Di bawah pengaruh mereka yang mempunyai bakat musik, maka angkatan ini bisa menghasilkan album lagu-lagu Sananta Sela-ku yang manis.
Marilah kita tetap mendukung dan mendoakan mereka. Mereka adalah orang-orang yang biasa saja, normal, lemah dan rapuh. Banyak tantangan dan jatuh bangun dalam panggilan. Dan perayaan kemarin itu telah berlangsung dengan sangat berkesan dan dihadari oleh banyak orang yang harus menempuh perjalanan jauh sampai 3 dan 4 jam. Mereka datang dari Slawi, Pemalang, Parakan harus berangkat pagi dan sampai di rumah sudah tengah malam.
Saya datang dari Purworejo juga harus berangkat jam 13.00 biarpun isa baru mulai jam 17.00 karena jalanan macet tidak bisa diprediksi mengingat arus balik lebaran habis.
Selamat para romo! Terim akasih sudah mau menjadi MSC. Thanks for being MSC,
Sujoko di Purworejo
Wahhh foto jepretanku dimuat xixixixixi … hidup Sesawi
siiip koeh.
Wah 11 Pastor ada Romo Widyolestari, Romo Wisnu dan Romo Handoko
Ikut Berduka cita untuk keluarga besar MSC.