Home BERITA 36 Suster SFS Sukabumi “Belajar” tentang Korupsi: Menggugat Nurani untuk Berubah (2B)

36 Suster SFS Sukabumi “Belajar” tentang Korupsi: Menggugat Nurani untuk Berubah (2B)

0
Sr. "Oma" Zita SFS yang berkarya di bidang pendidikan.

PARA kolega suster biarawati Fransiskan Sukabumi (SFS) suka menyebut suster senior ini dengan sebutan “Oma”.  Bukan apa, melainkan sebutan poyokan ini justru menampakkan semangat keakraban di antara para suster medior dan senior SFS.  Yang disebut “Oma” tak lain adalah Sr. Zita SFS.

Lahir di kawasan Godean sebagai anak petani, Sr. Zita SFS sungguh tak menyurutkan kesan bahwa dia ini memang sudah sepuh, walaupun belum sepuh benar-benar.  Namun yang menarik, Sr. “Oma” Zita SFS ini senantiasa tampil percaya diri dan penuh wibawa. Setidaknya, itulah pancaran kesan yang saya tangkap  sepanjang boleh mengikuti program lokakarya dua hari  menggelorakan gerakan semangat anti korupsi bersama para suster SFS di Rumah Retret St. Lidwina, Sukabumi, Jawa Barat, 12-14 Juli 2016 lalu.

Sekilas, dari penampilan fisiknya yang putih resik, Sr. Zita SFS lebih mengesankan diri sebagai perempuan keturunan Tionghoa. Tapi, ternyata beliau adalah orang Jawa asli berasal dari Godean, DIY. “Adik saya menjadi imam yakni Romo Indra Pamungkas SCJ. Sejak   beberapa tahun lalu hingga kini, Romo Indra Pamungkas melakukan tugas pastoral di Filipina,” ungkapnya di sela-sela rehat.

Paparan visioner tentang gerakan semangat anti korupsi di kalangan Gereja Katolik Indonesia oleh Tim Ehem! Yayasan Bhumiksara - KWI.
Paparan visioner tentang gerakan semangat anti korupsi di kalangan Gereja Katolik Indonesia oleh Tim Ehem! Yayasan Bhumiksara – KWI.

 Baca juga:  

Labirin persolan

Ketika diajak diskusi tentang persoalan labirin korupsi dan segala aneka praktiknya di Indonesia di paparan modul tiga, Sr. Zita SFS langsung ‘menggebrak” angkat bicara: sharing pengalaman riilnya berhadapan dengan praktik korupsi di dunia pendidikan. Sr. “Oma” Zita SFS membuka sharing pribadinya dengan berkisah tentang  bagaimana peliknya memerangi praktik-praktik koruptif di dunia pendidikan di Indonesia.

Mau berbuat benar dan berjalan tegak lurus “dengan langit”, demikian kata Sr. “Oma” Zita SFS, bisa-bisa kita sengaja dikasting menjadi tak terkutik. Sekolah katolik, kata dia, bisa  dianggap sepi oleh pejabat pemerintah yang berkepentingan.

Labirin sebuah persoalan krusial di masyarakat: perilaku kolutif dan koruptif yang melemahkan sendi-sendi hidup sosial masyarakat sebagai komunitas beradab dan berahlak mulia.

Paling buruk, kata Sr. “Oma” Zita SFS,  adalah risiko akan ditinggalkan orang atau malah tidak digubris lagi oleh pemerintah. Padahal, amanah politik menyebutkan bahwa  semua lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri  sama-sama berhak mendapatkan layanan informasi dan pendampingan dalam mengemban tugas misi mulia di bidang pendidikan.

Diajak kolutif melakukan sogokan

Sekali waktu, Sr. Zita pernah ‘dibisikin’ orang begini.  Kalau  mau memberi uang ekstra kepada pejabat pemerintah, jangan pernah memberikan  langsung kepada pejabat yang  tengah berharap tersebut. Melainkan, kata Sr. Zita menirukan pejabat pemerintah yang tengah melakukan ‘pendekatan’, suster diperintahkan harus mau mengikuti kemana bapak pejabat yang tengah ‘berharap’  itu pergi.

“Bahkan ketika masuk WC pria pun, saya lalu memberanikan diri mengikuti beliau,” kata Sr. Zita yang segera meletupkan reaksi tertawa terbahak-bahak di antara para suster SFS peserta lokakarya gerakan anti korupsi di kalangan Gereja Katolik Indonesia bersama Tim Ehem! Yayasan Bhumiksara-KWI.

Para Suster Fransiskanes Sukabumi (SFS) tekun dan seksama mengikuti program pembinaan internal (fomation) untuk character building dalam hal semangat memerangi perilaku kolutif dan koruptif bersama Tim Ehem! Yayasan Bhumiksara – KWI

Alhasil menurut si empunya cerita, peluang untuk “menciptakan” praktik korupsi itu pun tidak pernah dia lakukan. Hasilnya,  todongan pejabat yang  “mohon” pemberian uang ekstra itu pun juga tidak pernah dia berikan.

Risikonya ada. Sejak tidak terjadi “transaksi” pemberian uang semir tersebut, Sr. Zita mengaku sering tidak diacuhkan oleh pejabat yang mestinya memberikan layanan informasi dan pendampingan bagi pengelolaan manajemen pendidikan.

Refleksi diri

Kisah pengalaman pribadi Sr. “Oma” Zita  memerangi praktik koruptif di lingkungan pendidikan dalam kaitannya dengan pemerintah menjadi inspiratif. Terutama ketika mulai digelar modul empat oleh Romo FX Adisusanto SJ –Kepala Dokpen KWI– dimana masing-masing suster SFS diminta merumuskan ‘pakta’ rencana integritas pribadi untuk perubahan.

Sebelum sampai ke tahap modul empat ini, Yustina Rostiawati –Ketua Presidium WKRI—terlebih dahulu memaparkan modul tiga tentang refleksi atas pengalaman-pengalaman riil tentang praktik-praktif kolutif, koruptif di sekitaran lingkungan sosial kita. Pada bagian ini, pemandangan acara menjadi menarik, karena setiap kelompok kerja lalu memaparkan hasil-hasil kajiannya secara “ilmiah” dan baru kemudian mempresentasikannnya dalam bentuk paparan gerak visual melalui media role playing performance.

Mendengarkan, menyimak, merefleksikannya dan kemudian menulis paparan dan berikutnya mempresentasikan dalam gerak visual lagu dan tari.

 

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version