PESTA Pentakosta merupakan penutupan masa Paska. Peristiwa Pentakosta ditandai dengan pencurahan Roh Kudus yang dialami para murid sebagai lidah api dan kesaksian kepada orang banyak yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Mungkin kita tidak pernah mengalami peristiwa hebat pencurahan Roh Kudus seperti yang terjadi pada Hari Pentakosta itu. Peristiwa turunnya Roh Kudus ditandai oleh kebangkitan “roh” seperti suasana hati yang berkobar-kobar, keberanian bersaksi dan menyapa orang dalam berbagai situasi dan kondisinya. Dalam bahasa Injil Yohanes, itu tak lain adanya damai sejahtera dan pengampunan dosa.
Menjadi lebih baik
Jadi ada dua hal yang terjadi berpadanan:
- Semangat yang membawa damai sejahtera. Sama sekali bukan fanatisme yang menakutkan dan mencemaskan orang.
- Bukan sekedar bersaksi yang dapat menjadi ajang pamer kehebatan diri, tetapi menyadari diri sebagai yang masih perlu bertobat, berubah dari sikap menolak Tuhan dalam gaya hidup dunia, menjadi orang yang berani menerima Tuhan di tengah pergolakan dunia.
Sikap ini yang dapat menyapa orang lain, agar dapat menemukan jalan hidupnya juga, untuk berani mengikuti jalan-jalan Tuhan.
Pengalaman seperti ini dapat kita alami setiap kali kita menyadari hidup kita ada bersama Tuhan; setiap kali kita merasakan sapaan, dorongan dan tantanganNya dalam hidup kita. Jadi, tanda kita menerima Roh Kudus dalam hidup kita ialah: kita berubah dan bertumbuh jadi lebih baik; bagi diri sendiri dan sesama kita. “Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan).” Ini tulisan Rhenald Kasali dalam buku barunya ChaNge.
Renald menulis demikian:
“Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, saya mengeluarkan selembar uang Rp100.000,00. Saya tawarkan uang itu. “Silahkan, siapa yang mau boleh ambil.” Saya menunduk ke bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil menjulurkan uang Rp100.000,00. Seperti yang saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya ulangi kalimat. Saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi, yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak. Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-celinguk. Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali ke kursinya.”
“Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan saya. Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua audiens tertegun. Saya ulangi pesan saya, “Silahkan ambil, silahkan ambil.” Ia menatap wajah saya. Saya pun menatapnya dengan wajah lucu. Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya ulangi lagi kalimat saya, dan ia pun merampas uang kertas itu dari tangan saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak, “Kembalikan, kembalikan!” Saya mengatakan, “Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya.” Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya Rp100.000,00. Saya tanya kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang saya sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan?”
Mereka pun menjawab dengan berbagai alasan: “Saya pikir Bapak cuma main-main …………” “Nanti uangnya toh diambil lagi.” “Malu-maluin aja.” “Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!” “Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu …..” “Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya….” “Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas…..” “Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang………” “Saya, kan duduk jauh di belakang…” dan seterusnya.
“Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian kesempatan, tetapi kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak menyambarnya, padahal kita ingin agar hidup kita berubah. Saya jadi ingat dengan ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Parung. “
“Ia tampak begitu senang saat saya dan keluarga membesuknya. Sedih melihat seorang sarjana yang punya masa depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama orang-orang tidak waras. Saya sampai tidak percaya ia berada di situ. Dibanding teman-temannya, ia adalah pasien yang paling waras. Ia bisa menilai “gila” nya orang di sana satu persatu dan berbicara waras dengan saya. Cuma, matanya memang tampak agak merah. Waktu saya tanya apakah ia merasa sama dengan mereka, ia pun protes. “Gila aja….ini kan gara-gara saudara-saudara saya tidak mau mengurus saya. Saya ini tidak gila. Mereka itu semua sakit…..”. Lantas, apa yang kamu maksud ‘sakit’?”
“Orang ‘sakit’ (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu, sedangkan saya selalu berpikir ke depan. Yang gila itu adalah yang selalu mengharapkan perubahan, sementara melakukan hal yang sama dari hari ke hari…..,” katanya penuh semangat.” Saya pun mengangguk-angguk.
Berorientasi masa depan
“Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya, saya kira kita semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman saya tadi; kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari. Jadi omong kosong perubahan akan datang. Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya dengan omongan saja. Dulu, menjelang Soeharto turun, orang-orang sudah gelisah, tapi tak banyak yang berani bergerak. Tetapi sekali bergerak, perubahan seperti menjadi tak terkendali, dan perubahan yang tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan itu sendiri, yaitu perubahan yang menjadikan hidup lebih baik. Perubahan akan gagal kalau pemimpin-pemimpinnya hanya berwacana saja. Wacana yang kosong akan destruktif.”
“Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana menggerakkan orang-orang yang tidak cuma sekedar berfikir, tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan seterusnya. Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now. Just do it!. Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh oleh orang-orang yang bermental birokratik yang bisanya cuma bicara di dalam rapat dan cuma membuat peraturan saja. Makanya tranformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekedar struktural. Ia harus bisa menyentuh manusia, yaitu manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan berani maju. Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. “
Seperti kata Jack Canfield, yang menulis buku Chicken Soup for the Soul yang membedakan antara winners dengan losers adalah “Winners take action; they simply get up and do what has to be done.” Selamat bergerak![1] ‘Selama anda masih hijau, anda terus bertumbuh; segera setelah anda matang, anda mulai membusuk’ (Ray Kroc, pendiri Mc Donalds)
Tanda masih ada kehidupan
Bergerak dan berubah, adalah tanda kehidupan. Pohon, berapa pun umurnya, selama ia masih menumbuhkan daun-daun hijau, dia masih tumbuh. Masih ada yang baru yang akan terjadi dalam hidupnya; ia masih berbunga dan berbuah; yang akan dibagikan dan disebarkan kepada alam sekitarnya.; sehingga hidup itu tersebar dan membangun hidup yang baru lagi. Pohon yang berhenti berbuah, dia sudah ‘matang’, mulai membusuk dan siap mati.
Apa yang ditulis Rheinald Khazali tentang bergerak dan berubah juga merupakan tanda hidup orang Kristen. Kalau orang mengalami kehadiran Roh Kudus dalam hidupnya, ia akan mengalami semangat berkobar yang positif. Dia tidak dapat diam, dia akan mewartakan, menceritakan apa yang dialaminya, dia ingin berbagi dan perduli pada orang lain; ia menginginkan hal yang sama juga dialami orang-orang yang dikasihinya. Dan mereka akan tumbuh bersama; berubah menjadi lebih baik. Itu adalah pertobatan yang membangun manusia untuk semakin sedia mengikuti Tuhan Yesus yang sudah bangkit.
Maka pertanyaan kepada kita semua, apakah hidup kita masih bergerak dan berubah? Apakah kita masih menghasilkan buah-buah kasih dan kebaikan? Jika hidup kita berjalan rutin, tanpa ada perubahan dan pertumbuhan, jangan-jangan api Roh Kudus yang kita terima, sudah meredup tinggal bara yang tidak membakar lagi. Maka, mari pada hari ini, kita mohon lagi, agar Roh Kasih tercurah kembali secara melimpah dalam hati dan hidup kita. Sehingga kita dapat menunjukkan kepada siapa pun di sekitar kita, bahwa Roh Allah masih bertiup dan bekerja di dunia ini, melalui hidup, perkataan dan perbuatan kita yang menghasilkan buah-buah kasih dan kebaikan kepada sesama. Amin.
Romo Hans Handrianto Widjaja Pr, imam diosesan Keuskupan Denpasar.
[1] Bergerak oleh Rhenald Kasali