Kej. 2:18-24; Mzm. 128:1-2,3,4-5,6; Ibr. 2:9-11; Mrk. 10:2-16 (Mrk. 10:2-12)
- Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja
Allah dilukiskan sebagai tukang periuk yang membentuk tubuh manusia dari tanah liat. Lukisan ini bermakna bahwa Allah menghendaki manusia untuk menempatkan Dia sebagai nafas hidup, spiraculum vitae, bukan bahan dari mana manusia dibentuk. Terlebih, sebagai tukang periuk, Allah selalu menghendaki manusia melunakkan hati untuk dibentuk seperti kehendak-Nya; dan di tangan-Nya, Ia tidak pernah menghendaki apa yang dibuat tangan-Nya jatuh dan rusak. Allah tidak pernah menghendaki manusia memberontak melawan kehendak-Nya (bdk. Yes 29:16; Yer 18:6; Rm 9:20-21).
Allah tak henti menyelenggarakan, menopang hidup manusia, ciptaan-Nya. Pembentukan manusia dari tanah menandakan ia belum sempurna dan bergantung pada-Nya. Penciptaan manusia belum usai; ia harus hidup untuk mencapai kepenuhannya dan harus hidup dalam persekutuan dengan jenisnya.
Binatang juga diciptakan Allah, tetapi mereka tidak mampu hidup dalam persekutuan yang sempurna. Maka, Allah menciptakan perempuan, dengan menganugerahkan tubuh yang sama sebagai manusia. Sejak saat itulah, setiap manusia, laki-laki dan perempuan, mampu berkomunikasi. Maka, penciptaan perempuan menjadi puncak kasih Allah bagi manusia yang diciptakan-Nya.
Disingkapkan pula bahwa manusia harus sadar dalam lubuk hati kenyataan akan kesendiriannya. Allah bersabda (Kej 2:18), ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja”, Non est bonum esse hominem solum.
Kesendirian bukan berarti kesepian. Kesadaran akan kesendirian mengantar manusia menilai tinggi dan menjunjung tinggi persekutuan dengan orang lain. Persekutuan dengan orang lain dalam nama-Nya menjadi tanda Ia hadir di tengah umat (Mat 18:20), ”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”.
Ketika manusia dibuat tidur nyenyak (Kej 2:21), seolah-olah Allah menghentikan hidup yang dianugerahkan-Nya. Saat itulah Ia membentuk kembali manusia itu, agar mampu hidup dengan cara baru – menjadi dua, laki-laki dan perempuan, dan, pasti, tidak sendirian.
Dengan lukisan tentang pembentukan perempuan dari tulang rusuknya, para penulis suci menyingkapkan bahwa, berlawanan dengan cara pikir manusia sejamannya, laki-laki dan perempuan memiliki kodrat dan martabat setara, karena keduanya berasal dari tanah yang sama yang dibentukan dan diberi nafas hidup oleh Allah. Di samping itu, keduanya akan saling tertarik satu dengan yang lain.
Ketika manusia bangun, ia memiliki kesadaran akan kepriaannya dan mengenali perempuan itu sebagai pribadi yang setara dalam martabat dan kodrat. Ia menemukan dalam diri pribadi perempuan itu “ penolong baginya, yang sepadan dengan dia”, adiutorium simile sui (Kej 2:18). Kini lengkaplah penciptaan manusia, karena “manusia menjadi citra Allah bukan pada saat saat ia dalam kesendirian, tetapi pada saat ia dalam persekutuan” (Santo Yohanes Paulus II, Audiensi Umum, 4 November 1979).
Penghormatan laki-laki pertama pada perempuan pertama menunjukkan kemampuan keduanya untuk menjalin relasi intim dalam perkawinan. Perkawinan bukan hanya ditentukan oleh kehendak manusia, tetapi lembaga itu diciptakan, ditetapkan dan dikuduskan Allah (bdk. Konstitusi Pastoral tentang Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes, artikel 48).
Santo Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Familiaris Consortio, mengajarkan, “Istrinya dipandangnya sebagai pemenuhan maksud Allah, ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”_ (Kej 2:18). Lalu Ia mengabulkan seruan Adam, suami yang pertama, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23).
Cinta kasih sejati antara suami dan istri mengandaikan serta meminta adanya sikap hormat yang mendalam dari pihak suami terhadap kesamaan martabat istrinya. Tulis Santo Ambrosius, “Engkau bukan majikannya, tetapi suaminya; ia tidak diberikan kepadamu untuk menjadi budakmu, melainkan istrimu … Tanggapilah kepekaan hatinya padamu dan hendaknya engkau penuh rasa terima kasih terhadap dia atas cinta kasihnya” (Hexaemeron, 5, 7, 19 artikel 25).
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Sepanjang masa para penulis suci mengajak pembaca untuk merenungkan kebenaran akan penetapan Allah atas lembaga perkawinan, sejak penciptaan.
Santo Yohanes Paulus II dalam Anjuran Familiaris Consortio, mengajarkan, “Persekutuan suami-istri itu berakar dalam sifat saling melengkapi secara alamiah, yang terdapat antara laki-laki dan perempuan, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi suami-istri untuk bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka, saling berbagi apa yang mereka miliki dan seluruh keberadaan mereka. Karena itulah persekutuan itu merupakan buah-hasil dan tanda adanya kebutuhan manusiawi yang amat mendalam” (artikel 19).
Persekutuan suami-istri dalam perkawinan membuktikan bahwa perkawinan tidak dikehendaki Allah sejak awal mula penciptaan, tetapi juga monogam.
Saat mengajar tentang perkawinan, Yesus juga mengacu pada sabda Allah (Kej 2:24), ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”, Quam ob rem relinquet vir patrem suum et matrem et adhaerebit uxori suae; et erunt in carnem unam. Oleh sebab itu, Ia menarik kesimpulan (Mat 19:6; dan ayat paralel), ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”, Quod ergo Deus coniunxit, homo non separet.
2. Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan.
Markus tidak mencatat rincian kisah perjalanan Yesus dan para murid dari Kapernaum ke Yerusalem (bdk. Mat 8:19-22; 18:15-35; Luk 9:51-18:14; Yoh 7:2-11:54). Ia berangkat dari Kapernaum melalui Samaria dan menuju Yerusalem. Kemudian menyeberangi Sungai Yordan ke daerah Perea, di sebeleah timur laut Laut Mati. Dari Perea kembali ke Yerusalem lagi. Meninggalkan Yerusalem, Ia menuju wilayah Suku Efraim, berjalan jauh ke utara ke Samaria, terus ke timur ke Perea, dan, akhirnya, berakhir di Yerusalem untuk ketiga kalinya. Karya pelayananNya kali ini adalah rangkaian ketiga perjalananNya ke Yerusalem.
Apa perintah Musa kepada kamu?
Pertanyaan kaum Farisi, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” merupakan suatu jebakan atau pencobaan. Markus memakai kata πειραζοντες peirazontes dari kata kerja πειραζο: mencoba, mencobai seperti yang dilakukan iblis. Kata ini digunakan ketika Yesus menghadapi iblis di gurun setelah pembaptisan (lih Mrk 1:13; Mat 4:1-11; Luk 4:1-13).
Para Farisi pasti sadar dan paham betul bahwa Yohanes Pembaptis ditangkap, dipenjara dan dieksekusi mati karena mengecam perkawinan Herodes Antipas. Dan dengan menggiring Yesus untuk mengemukakan pendapat tentang halal tidaknya perkawinan, mereka hendak menjebak Yesus untuk juga menyatakan ketidak halalan perkawinan Herodes Antipas, yang juga seorang proselit, penganut agama Yahudi dari bangsa lain. Kalau Yesus terpancing, mereka berharap Yesus akan mengalami hal yang sama dengan sepupunya, karena kini Ia ada di Perea, wilayah yang dikuasai Herodes Antipas.
Yesus tidak langsung menanggapi pertanyaan yang secara jelas merendahkan martabat kaum perempuan. Ia justru bertanya pada mereka, “Apa perintah Musa kepada kamu?” (Mrk 10:3).
Yesus langsung menusuk jantung perdebatan di antara mereka sendiri tentang sah tidaknya perceraian seperti ditulis dalam Ul 24:1-4. Perintah ini muncul akibat kecenderungan manusia untuk memberontak terhadap Allah. Para Farisi itu lebih senang melestarikan pola pikir, tindak dan adat yang mendukung dominasi mereka atas kaum perempuan dan kaum lemah-miskin. Sementara, Yesus malah justru menukik pada inti perjanjian antara manusia dengan Allah.
Bila manusia menjadi umatNya dan Yahwe menjadi Allahnya (Kel 6:6), seluruh ketetapanNya harus dipenuhi. Oleh sebab itu, Yesus menekankan maksud Allah pada saat menciptakan dunia dan manusia. Ia menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan (Kej 1:27); manusia laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya menjadi satu daging (Kej 2:24), karena yang satu merupakan belahan atau sisi dari yang lain – tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (Kej 2:23).
Dengan cara ini Yesus mengembalikan institusi perkawinan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Maka, Yesus menghapus hak istimewa kaum laki-laki untuk menceraikan istrinya dan memulihkan martabat kaum perempuan. Keduanya memiliki martabat yang sepadan. Dalam perjanjian antara Allah dan umatNya, perkawinan hanya dilakukan antara laki-laki dan perempuan.
Yesus ternyata sangat memahami hukum sipil Romawi, yang membolehkan perempuan menceraikan suami, seperti Herodias (Mrk 6:17-18). Maka, bagiNya, perkawinan yang timbul karena perceraian tetap merupakan perzinahan (Mrk 10:11-12).
Karena ketegaran hatimulah
Yesus tidak pernah menyetujui perceraian. Ia menyebut dispensasi Musa itu sebagai akibat dari σκληροκαρδιαν, sklerokardia, ketegaran hati (Mrk 10:5). Beberapa kali Yesus menggunakan ungkapan kedegilan hati (Mrk 3:5; 6:52; 16:14). Orang yang tegar hari tidak pernah mau dan mampu menangkap makna sabda Allah serta melaksanakan sabdaNya, termasuk dalam perkawinan.
Di tempat lain, Yesus ternyata menuntut orang untuk hidup murni bagi Kerajaan Allah (Mat 19:11-12). Maka baik perkawinan maupun selibat merupakan panggilan untuk menghayati kesucian hidup. Karena hidup mereka yang menghayati perkawinan dan hidup mereka yang selibat adalah milik Allah. Manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan; jadi hidup dan mati kita milik Allah (bdk. 1 Kor 6:19b,20; Rm 14:7-8).
Murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu
Para ibu membawa anak-anak mereka pada Yesus. Mereka ingin agar anak-anak itu diberkatiNya. Namun para murid melarang mereka. Markus tidak menjelaskan alasan mengapa ada larangan itu. Tetapi, apabila melacak cara pikir para murid, larangan mereka berlandaskan pada Hukum Tuhan tentang kenajisan karena menstruasi. Para perempuan yang mengalami menstruasi dipandang najis; orang-orang yang berhubungan dengan mereka dan segala benda yang terkena sentuhan mereka dianggap najis (lih. Im 15:19-27).
Untuk menjadi tahir, ia harus mempersembahkan dua ekor burung tekukur atau merpati dan menghadap imam untuk mengadakan upacara pentahirannya (Im 15:28-31). Jadi dalam waktu tertentu kaum perempuan dan anak-anak yang langsung bersentuhan dengan mereka pasti terpinggirkan, paling tidak secara ritual keagamaan. Dengan mengusir anak-anak, mereka tidak ingin Sang Guru najis. Mereka lupa bahwa mereka tidak boleh menolak orang yang bukan golongan mereka, tetapi mengusir setan demi nama Yesus (Mrk 9:39).
Yesus menunjukkan kemarahan pada para murid atas penolakan mereka pada anak-anak. Markus mengungkapkan dengan kata ηγανακτησεν, eganaktesen, dari kata kerja aganakteo: marah, jengkel (Thayer, Greek Lexicon, hal. 3). Sisi perasaan manusiawi Yesus disingkapkan Markus (Mrk 10:14; bdk. 1:25. 41. 43; 3:5; 7:34; 8:12; 9:19).
Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku
Pada jaman kuna, anak-anak berusia kurang dari 12 tahun berada di laposan terbawah lapisan sosial masyarakat, seperti gembala, pemungut cukai, janda miskin, pelacur, dan pendosa lainnya. Mereka tidak memiliki hak atau sumber daya untuk menopang hidup mereka sendiri. Mereka tergantung sepenuhnya pada orang tua.
Yesus mengemukan apa yang seharusnya dilakukan paa murid. SabdaNya, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14). Maksud sabdaNya
(a) anak-anak menerima segala sesuatu dari orang tua mereka. Mereka tidak bisa menuntut, karena mereka hidup hanya dari belas kasih; dan
(b) Para orang tua menerima anak mereka sebagai anugerah dari Allah dan merawat mereka dengan kasih sebesar mungkin. Orang tua tidak mendikte anak, tetapi mengasihi mereka, mendidik mereka sedemikan rupa, agar mereka tumbuh dan dewasa dalam iman.
Santo Basilius Agung, 329-379, mengajarkan, “Sang Rasul memuji Timotius yang telah mengenal Kitab Suci sejak kanak-kanak (2 Tim 3:15). Ia juga meminta agar anak-anak dididik “dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:4). Maka, kita mempertimbangkan tiap saat usia hidup kita, bahkan dari usia paling muda, selalu siap sedia menerima setiap orang ke dalam komunitas iman” (dikutip dari The Long Rules 15).
Barangsiapa menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil
Menyambut Kerajaan Allah seperti anak kecil bermakna bahwa hidup para murid Yesus selalu bergantung kepadaNya, seperti anak kecil yang bergantung pada kebaikan hati orang tua atau seperti ranting anggur yang mati bila tidak menempel pada pokok anggur (bdk. Yoh 15:16).
Tanda-tanda penyambutan Kerajaan Allah nampak dalam hal-hal berikut:
- menyambut mereka yang lemah, miskin, kecil, sakit dan difabel serta tidak menyesatkan mereka_; yang menyesatkan patut diikat lehernya dengan batu kilangan dan dibuang ke laut (Mrk 9: 42; Luk 17, 2; Mat 18, 6);
- seperti Yesus, mengidentitikasi diri dengan yang kecil; Barang siapa menyambut seorang anak, “menyambut aku” (Mrk 9:37); “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40);
- menjadi seperti kanak-kanak, menggantung kan diri pada belas kasih Allah_ (Mrk 10:15; Mat 18: 3; Luk 9, 46-48);
- membela hak-hak anak, kaena merekalah yang paling lantang berteriak “Hosana Putera Daud!_” (Mat 21: 15); saat dikecam oleh para imam agung dan ahli Taurat karena teriakan kanak-kanak Yerusalem, Ia membela dengan mengingatkan para pengecam akan sabda Allah (Mat 21:16);
- orang-orang kecil yang bergantung padaNya lebih mengenal dan peka akan kehadiran Kerajaan Allah; “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” (Mat 11:25-26); dan
- Yesus menerima, menyembuhkan dan membangkitkan anak-anak: anak perempuan Yairus, 12 tahun (Mrk 5: 41-42), anak perempuan dari perempuan Kanaan (Mrk 7:29-30), anak laki-laki dari janda di Nain (Luk 7:14-15), anak laki-laki yang sakit ayan (Mrk 9:25-26), anak laki-laki perwira Romawi (Luk 7:9-10), anak laki-laki dari pegawai istana Herodes Antipas (Yoh 4:50), dan anak laki-laki yang memiliki lima roti dan dua ikan (Yoh 6:9).
- Pada kita ada tantangan
- Mengapa aku setia pada pasangan hidupku? Atau mengapa aku setia dengan panggilanku sebagai imam/bruder/suster?
- Apa yang perlu kulakukan untuk terus menerus menjadi suci dan setia pada-Nya?
- Tuhan Yesus Kristus, panggilanMu untuk hidup suci menggema di seluruh sudut corak hidup. Kuduskanlah hidup kami – sebagai pasangan suami-istri atau sebagai selibater – agar kami pantas hidup suci bagiMu. Kuatkanlah kami untuk menjadi saksiMu di tengah masyarakat yang abai akan kesetiaan dan kemurnian serta kuatkanlah janji setia kami untuk hidup selibat bagiMu.”
Propter hoc relinquet homo patrem suum et matrem et adhaerebit ad uxorern suam, et erunt duo in carne una; itaque iam non sunt duo sed una caro – Marcum 10:7-8