INI masih melanjutkan tulisan Sr. Aloysia BKK, suster dari Biarawari Karya Kesehatan (BKK)
Saya hanya ingat,Mas Soesmono dan Mas Soesmadi sekolah di MULO Ambarawa (Sekolah Menengah Pertama pada zaman Pemerintahan Belanda di Indonesia).
Setelah itu, mereka meneruskan ke Kweekschool (Jenjang pendidikan untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda, dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda) di Muntilan. Ini sekolah guru yang didirikan dan diasuh oleh Romo van Lith SJ.
Mas Soesdarjono tidak melanjutkan sekolah. Kemudian bergabung dengan para pejuang dan melanjutkan kariernya menjadi tentara.
Karena jarak yang jauh karena berlainan kota, ditambah sarana komunikasi yang masih sulit, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan adik-adik.
Yang saya tahu, setelah lulus SR, Dik Soesmojo ikut Mas Soesdarjono di Surabaya. Ia bekerja di sana dan menikah.
Kemudian kembali ke Ambarawa untuk menemani ibu yang sudah ditinggal Bapak.
Dik Soesdarjanto, setelah selesai SMA, melanjutkan ke Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Jakarta. Kemudian bergabung dengan TNI AL.
Setelah lulus HIS (Hollandsch Inlandsche School adalah sekolah Belanda untuk bumiputera yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda.
Anak asrama di Mendut
HIS diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli yang pada umumnya anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri), saya melanjutkan ke Kweekschool Mendut.
Tinggal di asrama susteran menjadi pilihan karena pertimbangan keamanan, lebih-lebih sebagai perempuan. Pada waktu itu, di Ambarawa tidak ada sekolah lanjutan.
Di Mendut saya mulai mengenal agama Katolik.
Sayang, baru satu tahun di sana, sekolah ditutup karena Perang Asia Timur Raya di mana pasukan Jepang mulai menduduki kawasan Asia Tenggara; termasuk Jawa di Indonesia.
Karena ditutup, maka saya pulang dan tinggal beberapa waktu di rumah Ambarawa.
Jalan hidup selanjutnya mulai terkuak, ketika diajak Mas Soesmono ke Semarang, untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Kepandaian Putri (SKP).
Kemudian meneruskan ke Sekolah Perawat Bidan. Lulus sebagai perawat bidan, saya bekerja di CBZ Semarang. Sekarang menjadi RSUP Dr Karyadi, Semarang.
Menjadi Katolik
Titik hidup yang paling istimewa bagi saya adalah ketika saya memutuskan untuk menjadi Katolik. Tak ada alasan penting yang bisa diceritakan. Semuanya berjalan begitu saja. Tak juga ada sesuatu yang khusus yang melatarbelakanginya.
Itulah yang dinamakan Jalan Tuhan. Roh Kudus bisa masuk ke dalam hati seseorang lewat jalan apa dan siapa pun. Saya hanya pasrah kepada kehendak-Nya.
Saya dibaptis tanpa izin bapak maupun ibu. Minta izin melalui surat tidak dijawab.
Kemudian hari, waktu saya tanyakan mengapa tidak dijawab, bapak bilang bahwa beliau percaya bahwa anak yang mursal (menyimpang dari aturan), tidak taat pada orangtua, tidak akan masuk surga.
Beliau tidak ingin anaknya tidak masuk surga, maka suratnya didiamkan saja. Menyedihkan, tapi penuh ungkapan cinta orangtua yang sungguh mulia.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan bapak, karena anak perempuan satu-satunya beralih menjadi Katolik.
Setelah dua tahun di CBZ, saya pindah ke RS Panti Rapih – Rumah Sakit yang dikelola oleh Kongregasi Biarawati Carolus Boromeus (CB) Jogja.
Sebagai perawat, relasi saya dengan Suster-suster CB, baik sekali. Saya begitu dekat dengan kehidupan para suster. Kehidupan berdoa dan melayani sesama menjadi nafas hidup kami sehari-hari.
Suster-suster biarawati mayoritas berkebangsaan Belanda. Suster pribumi masih langka. Tapi di situlah saya mulai belajar segalanya.
Tapi mengapa saya tidak menjadi biarawati CB?
Itu misteri kehidupan. Diam-diam, tangan Tuhan kembali bekerja dengan perkasa. Sering tak bisa digambar dengan nyata dan masuk akal manusia.
Jadi suster Biarawati Karya Kesehatan (BKK) tanpa izin dan restu orangtua
Yang terjadi, terjadilah.
Sewaktu kecil sampai remaja, saya tak punya cita-cita untuk menjadi biarawati. Bahkan bermimpi pun tidak. Tapi siapa yang bisa menolak kalau Dia sudah bekerja dengan kekuatan-Nya yang digdaya dan tak terbantahkan.
Saya tahu hal ikhwal kongregasi BKK dari homili seorang pastor. Beliau bercerita mengenai kelompok suster yang datang ke Indonesia untuk membangun Indonesia yang porak poranda karena perang.
Mereka melayani masyarakat dalam bidang kesehatan; terutama kesehatan ibu dan anak.
Titik hidup yang istimewa yang kedua adalah ketika saya berangkat mengetuk pintu biara BKK. Juga tanpa tanpa izin orangtua. Bahkan mereka tidak tahu bahwa saya mempunyai rencana untuk itu.
Mereka tahu, karena ibu mulai curiga mengenai sikap anak perempuannya yang tidak seperti biasa. Seorang anak perempuan yang menjadi biarawati tentu mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dibanding ketika masih awam.
Mereka mengecek ke Semarang. Dan keadaan yang sebenarnya mulai terbuka. Anak perempuan satu-satunya, yang mungkin juga di-gadang-gadang untuk membuat pesta pernikahan yang meriah, ternyata malah ingin menjadi suster biarawati. Hidup selibat dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan dan sesama.
Keluarga besar heboh. Yang terkena getahnya Mas Soesmono. Sebagai anak tertua yang bertanggungjawab atas kehidupan adik-adiknya. Tugas untuk membesarkan dan mendampingi adik perempuan satu-satunya dinilai gagal.
Selama masa postulat selama satu tahun dan novisiat selama dua tahun (masa-masa pendidikan awal bagi calon suster, bruder atau pastur) saya teratur mengirim surat kepada bapak dan ibu.
Sayang seribu sayang, surat selalu dikembalikan tanpa dibuka. Amplop yang saya kirim, dimasukkan ke amplop lain yang lebih besar dan dikembalikan ke alamat saya.
Saya terima ini sebagai “hukuman” atas “kesalahan” saya yang dinilai “mengacaukan” keluarga. Bapak-ibu dipersalahkan keluarga besar karena dianggap tak dapat mendidik anak.
Miris memang. Tapi panggilan Tuhan melambai demikian kuat dan nyata. Tak ada satu kekuatan yang bisa mengabaikan dan menolaknya; termasuk saya.
Kaul pertama untuk menjadi biarawati dihadiri dan disaksikan oleh Mas Soesmono dan Mbakyu Sudari. Sekali lagi, restu dari bapak dan ibu belum secara gamblang saya terima.
Diplomasi salak lumerkan hati orang
Tetapi ada sesuatu yang memendam isyarat. Mbakyu Sudari dititipi oleh-oleh salak dari ibu.
Bendera “rekonsiliasi” mulai dikibarkan, meski masih samar-samar. Diplomasi salak melegakan hati saya. Atas berkat Tuhan, buah salak menjadi lebih sering datang.
Setelah kaul pertama, saya pulang. Puji Tuhan, kehadiran saya di rumah Bejalen diterima dengan baik. Masih nampak kekakuan di sana-sini.
Meski lama-lama keadaan berkembang menjadi lebih baik dan terus membaik.
Kemudian, berkembang dan saya menjadi puteri kesayangan mereka. Puteri kesayangan yang kini adalah seorang suster, biarawati Katolik. (Berlanjut)
Baca juga: HUT ke-95 Sr. Aloysia di Solo (1)