MEMPERINGATI 98 tahun kehadiran Bruder MTB (Maria Dikandung Tanpa Noda) di Indonesia, para bruder MTB Indonesia berkumpul di Komunitas DPU (Dewan Pimpinan Umum) Jl. Sepakat II, Pontianak, Kalimantan Barat.
Selama lima hari, mulai Kamis-Minggu (6-10) Maret 2019, perwakilan para bruder dari komunitas-komunitas di Indonesia datang berkumpul. Mereka datang dari Yogyakarta (Komunitas Kotabaru dan Gedong Kuning), Pati, Sekadau, Kualadua, Putussibau, Singkawang, Pontianak (Komunitas Pattimura, Sepakat, Siantan), dan Merauke, mengadakan rekoleksi, bakti social, olahraga dan Misa Syukur.
Berawal di Singkawang
Karya bruder MTB Indonesia berawal di kota Singkawang, Kalimantan Barat, 98 tahun lalu. Suatu daerah yang sama sekali tidak dikenali oleh kelima bruder yang pada tahun 1921 tiba “mendarat” dari lambung kapal di Kota Singkawang.
Setelah mengarungi lautan selama kurang lebih 49 hari, kelima bruder dari Huijbergen itu akhirnya mendarat berlabuh di Kalbar. Mereka adalah Br. Canisius van de Ven MTB, Br. Seraphinus van Tilborg MTB, Br. Maternus Brouwers MTB, Br. Longinus van Spreeuwel MTB, dan Br. Leo Geers MTB.
Mereka menjejakkan kaki mereka pertama kali di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, tanggal 10 Maret 1921. Perjalanan panjang dengan menggunakan kapal uap Patria, para perintis pertama bruder MTB itu dimulai pada tanggal 21 Januari 1921 dari Pelabuhan Rotterdam menuju Hindia-Belanda (baca: Indonesia).
Untuk beberapa tahun setelah kedatangannya di Singkawang, mereka tinggal di rumah reyot milik seorang keluarga Tionghoa dan itu berada di antara pohon karet dan kelapa. Pada tahun 1923, para bruder MTB itu baru bisa pindah ke rumah baru. Saat ini, rumah berlantai dua dengan dinding semen pertama di Singkawang itu masih ada dan terawat dengan sangat baik. (Rob Wolf, 162).
Sekarang rumah pertama yang asli itu kini difungsikan sebagai gedung Museum Bruder MTB.
Semangat ke-MTB-an
Sebanyak 45 orang bruder hadir pada kegiatan hari persaudaraan tersebut.
Dua hari pertama diisi dengan rekoleksi mengenang dan menemukan kembali semangat hidup para pendahulu yang kami bisa menyebutkanya Bruder-bruder dari Huijbergen atau sering disebut juga sebagai Bruder Guru dan Pendidik dari Huijbergen.
Kongregasi Bruder MTB ini didirikan oleh Mgr. Van Hooydoonk, Uskup Keuskupan Breda, Negeri Belanda waktu itu. Hari penting bersejarah itu terjadi pada tanggal 25 September 1854.
Itulah hari ketika Mgr. Van Hooydoonk menetapkan Anggaran Dasar dan Konstitusi dan resmi menamai kelompok religius lelaki yang baru itu dengan titel “Kongregasi Para Bruder Kristiani Santa Maria Perawan Suci dan Bunda Allah yang Dikandung Tanpa Noda”.
Di Indonesia saat ini, kelompok religius itu disebut Kongregasi Bruder Maria Tidak Bernoda (MTB).
Dalam kata pengantarnya, Br. Rafael D. MTB, kini Pemimpin Umum Bruder MTB Internasional, menjelaskan bahwa pertemuan ini sebagai upaya menyegarkan diri, mengenang kembali para bruder pendahulu, terutama para bruder yang mengawali karya dan pengabdiannya di Indonesia.
“Melalui pertemuan ini, kita mau menimba semangat para pendahulu yang dengan segala keterbatasannya pada saat itu tetap memiliki semangat yang besar dan tak kenal menyerah dalam hidup dan karyanya bagi pendampingan anak-anak,” tuturnya.
Pada awal berdirinya, para bruder itu tinggal di Huijbergen, sebuah desa kecil di Belanda, Brabant Utara. Desa itu terisolasi dan sepi. Para bruder perintis itu menempati sebuah rumah Pertapaan Rahib Wilhemitin yang telah dikosongkan pada tahun 1847 oleh Congregatio Propaganda Fidei (Kementerian Vatikan untuk penyebaran iman di daerah misi). Langkah itu terjadi, setelah kelompok itu tidak lagi memiliki anggota dan kemudian menyerahkannya kepada Mgr. van Hooydonk (Rob Wolf 2004, hal. 2-3).
Bukan sekedar nama
Bruder perintis awal itu hanya berjumlah tiga orang. Mereka adalah Piet Kerremans dengan nama Br. Fransiskus MTB, Jan Brouwels dengan nama Br. Antonius MTB, dan Henk Claeren yang memilih nama Br. Bonaventura MTB.
Pilihan nama ketiga bruder pertama mau menunjukkan bahwa mereka menempatkan dirinya dalam tradisi Fransiskan. Ketiga bruder ini menekuni pengabdiannya pada karya bidang pendidikan anak, khususnya mereka yang miskin dan yatim piatu.
Sejak diterima sebagai calon bruder pada tahun 1851, mereka langsung menangani anak-anak di panti asuhan yatim piatu, anak-anak terlantar korban perang antara Belanda dengan Belgia atau perang Belanda dengan Sepanyol sebelumnya, serta ketegangan antara umat Katolik dengan umat Protestan di Negeri Belanda.
Panti asuhan tersebut sebelumnya telah dirintis oleh Kongregasi Bruder Oudenbosch yang di Indonesia dikenal sebagai Bruder CSA. Selain kemiskinan, perang juga mengakibatkan pengangguran, kebodohan, kemerosotan kehidupan beragama dan perilaku kesusilaan yang menyimpang.
Para bruder muda itu dihadapkan pada masalah-masalah tersebut. Masalah-masalah itu sejak semula memang menjadi keprihatinan Mgr. van Hooydonk. Suatu tantangan bagi para calon bruder MTB perintis kala itu.
Br. Petrus H. MTB selaku pendamping rekoleksi memaparkan bahwa hidup dan karya awal para bruder di Huijbergen itu dibentuk oleh situasi zaman itu di antaranya yakni:
- Kenyataan bahwa banyak anak terlantar dan miskin.
- Tempat yang sepi dan terpencil. Sebuah bangunan yang pernah ditempati sebagai pertapaan para rahib Wilhelmitin dengan situasinya yang hening dan tenang. Kondisi yang tenang dan hening itu mampu menjadi media bagi seseorang masuk ke dalam situasi doa dan refleksi diri.
- Semangat “hamba Tuhan” dari St. Fransiskus Assisi.
- Semangat hidup Mgr. Van Hoojdonk yang terungkap dengan baik dalam pedomannya: “Simpliciter et Confidenter” (Dengan sederhana dan percaya). Dengan kesederhanaan dan kepercayaan mereka diharapkan mampu mendampingi anak-anak yang dipercayakan pengelolaanya kepada para bruder.
Solidaritas umat beriman
Dalam rekoleksi diingatkan juga bahwa salah satu ciri khas dalam Konstitusi Tahun 1888 Bruder Huijbergen adalah pendidikan yang baik. Misi untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik melalui pendidikan, terutama bagi mereka yang tersisih karena perang tertanam kuat dalam diri para bruder.
Hal itu pula yang mendorong para bruder mulai melebarkan karya pendidikan ke luar daerah Hujibergen. Tahun 1890, mereka membuka cabang pertama di Breda, tahun 1895 cabang kedua di Ousterhout dan kemudian cabang ketiga di Bergen op Zoom pada tahun 1901.
Selain sekolah-sekolah umum seperti yang ada di tiga kota tersebut dengan Sekolah Dasarnya, para bruder MTB perintis awal juga membuka Sekolah Guru (Normaal School).
Sesuai dengan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemampuan dan pengetahuan guna mejawab kebutuhan zaman, maka Normaal School ditingkatkan menjadi Kweekschool (SPG, Sekolah Pendidikan Guru).
Karena SPG itu, Bruder-bruder Huijbergen lalu mendapat julukan sebagai “Bruder Guru dan Pendidik”.
Perlu diketahui bahwa pada masa itu para bruder dari kongregasi lain juga memperoleh gelar yang sama, seperti Bruder Oudenbosch (CSA), Frater CMM dari Tilburg dan para Bruder FIC dari Maastricht. (Rob Wolf, Huijbergen dan Ujung-ujung Dunia, hal. 21).
Seperti di daerah asalnya, di Singkawang itu para bruder MTB perintis misi awal di Indonesia (baca: Kalbar) itu juga merasa terpanggil untuk mendampingi anak-anak yang membutuhkan pendidikan. Untuk mewujudkannya, maka para bruder menangani dua sekolah yakni HCS (Hollandsche Chinese School) dan satu lagi sekolah berbahasa Tionghoa.
Kedua sekolah tersebut berasrama. Di asrama anak-anak diajari memasak, menyiapkan meja makan dan merawat pakaian mereka sendiri. Selain pengetahuan, anak-anak dilatih untuk mandiri dan bertanggungjawab. Melalui sekolah berasrama ini, para bruder menyebarkan pengetahuan dan menebarkan iman.
Tentang hal ini, Br. Petrus MTB, mengatakan sebagai berikut. “Para bruder pendahulu itu memiliki misi mengembangkan pendidikan anak dan menambah anggota gereja. Untuk itulah, mereka menjadi datang ke Kalbar sebagai misionaris,” ungkapnya. (Rob Wolf, 163).
Misa Syukur
Hari Sabtu, 9 Maret 2019, diadakan kegiatan bakti sosial. Bersama dengan OMK Stasi Videlis Sei Ambawang Pontianak, para bruder membersihkan lingkungan gereja dan kegiatan penanaman pohon di lingkungan stasi.
Pastor Paroki Lukas Ahon CP, pastor paroki, menyambut baik kegiatan tersebut dan mengucapkan banyak terimakasih.
Acara puncak dari rangkaian kegiatan “Hari persaudaraan Bruder MTB” dalam rangka memperingati 98 tahun Bruder MTB di Indonesia adalah Misa Syukur di Gereja Paroki St. Sesilia Pontianak, Minggu,10 Maret 2019. Dalam perayaan Misa syukur ini, petugas liturgi dilakukan oleh para bruder MTB. Petugas koor dibantu mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Sepakat Pontianak.
Dalam homilnya, Pastor Paulus Kota OFMCap, pastor rekan di Paroki St. Sesilia, mengatakan dia banyak mengenal bruder-bruder MTB di Indonesia. Terutama, kata dia, karena ia pernah tinggal di Komunitas Kotabaru Yogyakarta, lokasi tempat tinggal para bruder muda yang sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi di kota itu. Dan itu terjadi selama hampir lima tahun.
“Para bruder MTB ini berpenampilan sederhana, gembira, ramah, dan ringan tangan,” demikian ungkapnya.
Selanjutnya Pastor Paulus Kota OFM Cap mengajak umat yang hadir dalam Perayaan Ekaristi tersebut untuk bersedia mendoakan bruder–bruder MTB dan para biarawan dan biarawati pada umumnya agar cara hidupnya mampu menjadi tanda kehadiran Tuhan. Juga agar mampu menjadi berkah dan tanda keselamatan.
Pastor juga mengajak umat berdoa agar para pemuda dan pemudi bersedia menjawab panggilan untuk menjadi pastor, suster atau bruder. “Mari kita juga berdoa agar benih panggilan untuk menjadi pastor atau biarawan-biarawati makin subur,” ajaknya.
Menu khas daerah
Acara Hari Persaudaraan Bruder MTB selama empat hari itu diakhiri dengan makan bersama. Hadir pada acara itu para bruder, karyawan komunitas yang ada di Pontianak dan karyawan Yayasan Pendidikan Sekolah Bruder.
Sebagian makanan untuk santap siang itu dimasak dan disajikan oleh para bruder.
Maka di meja makan tersedia aneka menu kuliner rasa lokal dari berbagai daerah. Misalnya, Ruporampe dan ikan arsikmasakan khas asal Flores dan Sumut, gudeg”dan “daging ayam krispi masakan khas Jawa, serta emang dan ikan bumbu tempoyak yang dimasak oleh para bruder dari Kalimantan.
Yohana Retno Utami salah satu karyawan Yayasan PSB ketika mencicipi makanan yang tersaji lalu bergumam begini. “Pandai ya brudernya masak”.
Sedangkan Helena van Aert mengatakan bahwa ia mencicipi semua masakan yang diolah para bruder itu dengan lahapnya. “Enak juga,” demikian komentarnya.
Pontianak, 10 April 2019.
Br. B. Sukasta MTB
Editor: Mathias Hariyadi