Home KELUARGA “Aceh itu di Kalimantan, Pater!” ; Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (9)

“Aceh itu di Kalimantan, Pater!” ; Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (9)

0

Suatu hari saya pergi ke sebuah stasi. Saat itu adalah Hari Raya turunnya Roh Kudus. Pada awal kotbah saya mengajukan pertanyaaan kepada umat.

“Siapakah Roh Kudus itu, apakah Ia termasuk Allah Tritunggal?” semua diam sejenak….saya berusaha memancing mereka dan mengajak mereka untuk menjawab pertanyaan saya.

“Ayo siapa yang tahu?” Apakah Roh Kudus itu termasuk Allah Tritunggal?”

Saya mengulangi pertanyaan saya, namun semua masih diam,   Tak lama kemudian ada seorang yang memberanikan diri untuk menjawab,
“Saya pater,”

“Ya… silakan Pak Yakub” “Roh Kudus itu bukan Allah???”  Dengan mantap ia menjawab pertanyaan saya.

Mendengar jawabannya, saya tidak kaget dan hanya tersenyum kecut. Bisa dibayangkan…betapa minimnya pengetahuan iman umat. Terlebih lagi yang membuat saya heran adalah karena yang menjawab pertanyaan saya adalah seorang sekretaris dewan stasi. Lalu bagaimana dengan pengetahuan iman  umat pada  umumnya? Kiranya kita dapat menebaknya.

Masih sekitar… jawaban yang aneh lagi, suatu saat seorang bruder SCJ mewawancarai seorang anak SMP kelas tiga. Ia bertanya setelah lulus SMP kamu akan meneruskan kemana?”

“Saya akan meneruskan ke SMA, bruder” dengan mantap ia menjawab pertanyaan bruder.

Kemudian bruder bertanya lagi, “Kamu tahu apa kepanjangan SMA?” Dengan malu-malu dan berpikir keras ia seakan mencari jawaban… tak lama kemudian ia menjawab,
“Saya tidak tahu kepanjangan SMA bruder?”

Masih lagi seputar jawaban yang aneh. Suatu saat saya mengumpulkan mudika yang saya anggap memiliki pengaruh dan berpendidikan.  Undangan juga saya tujukan pada para pengurus harian mudika paroki. Ketika itu saya memberi materi berkaitan dengan politik dan  pemilu 2009. Seperti biasanya pada pengantar saya bertanya  pada rekan-rekan mudika berkenaan dengan materi yang akan saya berikan, agar mereka antusias untuk mengikuti pertemuan.

Menurut saya, pertanyaan itu amat sederhana dan pastilah mereka dapat menjawabnya, terlebih lagi ada banyak mudika yang masih sekolah di  SMA. Saya bertanya, “Dimanakah letak Provinsi Aceh?” di Kalimantan atau di Sulawesi.” Saya memancing dan menjebak mereka…dengan dua jawaban yang salah.  Sebagian besar menjawab dengan mantap di kalimatan, termasuk juga ketua mudika paroki. Sebagian lagi dengan keyakinan juga mejawab,
“Di Sulawesi…”

Setelah merasa yakin dan mudika terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menjawab bahwa Aceh di Kalimatan dan sebagian lagi menjawab di Sulawesi, barulah saya menegaskan dan menjawab bahwa Provinsi Aceh itu ada di Sumatra. Ger….r….r…ger….
Spontan saja… mudika protes…

“Pater tadi  jawaban atas pertanyaan pater hanya di Kalimantan dan Sulawesi… jadi kami tidak menjawab di Sumatra…”

“Kalian ‘kan sudah besar…. dan banyak dari antara kalian yang sekarang sekolah di SMA, masakan letak propinsi Aceh saja tidak tahu bagaiana sih?”

Saya tidak heran akan jawaban mereka yang salah, saya sudah menduganya. Karena mereka sering tidak datang ke sekolah, dan kalaupun datang terkadang gurunya yang tidak datang. Selain itu sekolah bukan menjadi budaya mereka. Kalau ada anak yang tidak sekolah dan mencari kepiting di sekitar pohon bakau, maka orang tua mereka membiarkan saja. Tidak mempersalahkan atau memperingatkan anaknya untuk pergi ke sekolah.

Hal ini terjadi karena kalau anak mendapat kepiting yang banyak maka ini juga menjadi makanan bagi keluarga dan juga menjadi pendapatan karena akan dijual di pasar. Dengan kata lain, membantu orang tua mencari nafkah sehari-hari lebih penting dari sekolah. Kebiasaan hidup dengan bebas tentu menjadi siksaan tersendiri kalau diminta untuk duduk lama di sekolah.

Lebih parah lagi anak-anak perempuan. Banyak dari mereka yang putus sekolah sebelum lulus SD,  kelas lima atau kelas empat SD. Salah satu motoris (sopir motor speed boat) saya lulus  SD. Tetapi ketika saya mintanya untuk  membaca, ternyata ia tidak dapat membaca. Malahan  ia berkata,  “Tungguh pater, saya pinjam buku ini dulu, lalu saya eja-eja di rumah”.

Motoris itu membawa  buku itu ke rumahnya selama seminggu, namun demikian hasilnya sama saja. Ia tetap tidak lancar membaca.

Refleksi:
Tanah Papua tercinta, salah satu belahan bumi, di bagian paling timur dari Negara Indonesia yang sudah meredeka ini, ternyata masih banyak yang belum dapat membaca. Di satu sisi ini merupakan suatu keprihatinan tersendiri bagi saya yang melayani mereka. Akan tetapi, di satu sisi saya dapat mengerti, karena sekolah bukan menjadi hal yang biasa. Kebudayaan yang bebas dan sulit mengikuti suatu aturan tertentu membuat mereka tidak mudah berkembang.

Masalah pendidikan memang menjadi masalah yang seharusnya segera ditangani dengan serius. Banyak anak di kampung-kampung yang tidak sekolah. Banyak juga kampung yang tidak ada sekolahan. Sementara anak yang sekolah pun belum tentu bisa membaca. Sementara anak ada, sekolah ada namun guru ada ada di kota. Untuk berbagai urusan, entah mengurus gaji, keluarga, kenaikan pangkat dan lain sebagainya. Semestinya mereka tidak perlu naik ke Timika hanya untuk urus gaji.

Karena dengan demikian para guru akan lebih sering meninggalkan tempat tugas, daripada di sekolah mengajar. Cukuplah mereka mengambil gaji di bank Papua, selain lebih dekat, tetapi juga menghemat waktu. Atau diamibil oleh kepala sekolah beru kemudian diberikan kepada guru di kampung.

Keprihatinan ini semestinya menjadi tugas kita bersama untuk mengentaskanya. Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat harus segera bertindak untuk mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan daerah terisolir seperti Papua. Jangan hanya daerah barat saja yang selalu dan terus dibangun, sementara mereka di sini mengalami keterbelakangan karena tidak ada perhatian. Pembangunan infrastruktur harus segera ditindaklanjuti agar mereka dapat mengenyam pendidikan seperti layaknya anak-anak Indonesia  di tempat lain.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version