Home BERITA Ada Apa Antara Maria dan Elisabeth?

Ada Apa Antara Maria dan Elisabeth?

0
Maria dan Elisabeth dalam sebuah hiasan kaca. (Ist)

PERJUMPAAN

Kita senang berjumpa dengan orang lain. Apalagi kalau orang itu kita sukai. Kita cari. Kita rindukan.

Perjumpaan juga ada macamnya. Ada jumpa fans. Jumpa teman lama. Jumpa relasi. Entah jumpa apa lagi namanya.    

Setiap hari. Setiap saat. Kita pasti berjumpa dengan orang lain. Siapa pun. Di mana pun. Tanpa kenal waktu. Bahkan, masa pandemi ini, bukan menjadi penghalang untuk mengadakan perjumpaan. Di media sosial semakin marak jumpa virtual. Zoom. Online.

Kita ini mahluk sosial. Butuh perjumpaan. Di sapa. Menyapa. Dikunjungi. Mengunjungi. Ditanya. Bertanya. Tentang kabar. Keadaan. Kesehatan. Pekerjaan, dan lain sebagainya. 

Diatur Allah

Injil Lukas 1:39-45 menceritakan tentang Maria mengunjugi Elisabeth, saudarinya. Adakah sesuatu yang menarik dari perjumpaan dua perempuan itu? 

Saya merenungkan bagaimana perasaan yang lahir natural di hati Maria dan Elisabeth. Mereka pasti sangat bahagia. Suatu momen yang fenomenal. Memberi inspirasi bagi dunia. Dua orang perempuan, yang saling menyapa dan disapa dalam kesederhanaa. Kerendahan hati.     

Percakapan mereka bermakna. Bernas. Lugas. Apa adanya. Karena keduanya dipenuhi dengan Roh Kudus. Perjumpaan yang tidak diisi dengan gosip, yang digosok semakin sip. Tidak ‘ngerasani’ kelemahan orang lain. Tidak melitani kekecewaan, ini itu.  

Perjumpaan mereka itu sudah diatur Allah. Malaikat Tuhan membuka kesempatan terjadinya perjumpaan dua orang ibu itu. Dan kepada Maria dinyatakan tentang berkat yang dilimpahkan Tuhan untuk saudarinya, Elisabeth.

Sukacita iman

Beberapa waktu sesudah kedatangan Malaikat Gabriel, bergegaslah Maria ke pegunungan. Ia masuk ke rumah Zakaria dan memberi salam kepada Elisabeth. (Lukas 1:39-40)

Maria melakukan kunjungan kepada Elisabeth itu merupakan perjalan panjang. Butuh waktu lama. Ia telaten melewati kontur tanah yang turun naik. Berbukit. Pegunungan.

Maria tidak mengeluh. Tidak merasa lelah. Tidak ada pula kamus: sia-sia.Maria tidak pula merasa kehilangan waktu karena pekerjaan atau urusan rumahnya ia tinggalkan.

Maria memilih yang lebih tinggi. Lebih penting untuknya.  Ia mengunjungi saudarinya, Elisabeth. Maria mengambil sikap kebalikan yang terjadi umumnya di masyarakat. Yakni: yang  muda, berkunjung ke tempat yang lebih tua. Ala senioritas.  

Tidak pandang status

Bagi Maria, berbagi sukacita kepada orang lain itu lebih penting, daripada sibuk dengan urusan diri sendiri.

Di sini kita bisa belajar dari Bunda Maria. Maria tidak memandang status. Jabatan. Maria berani menarik diri sejenak untuk bergerak keluar. Mengunjungi orang lain. Ini juga bukan sekedar kunjungan.  Tetapi kunjungan dengan membawa sukacita iman.   

Pertemuan antara Maria dan Elisabeth, sungguh-sungguh diliputi kebahagiaan iman. Salam yang disampaikan Maria kepada Elisabeth, dan berkata bahwa ia datang untuk mengunjunginya.

Mengetahui keadaannya. Bersukacita bersamanya. Demi menegaskan tentang iman mereka, tentunya. Lalu, terjadilah hal yang luar biasa. Maria mengetahui bahwa Elisabeth sedang mengandung seorang bayi.

Efek perjumpaan

Perjumpaan Maria dan Elisabeth itu memberi pelajaran besar bagi kita. Menginspirasi.

  • Harus kita sadari, Di mana ada dua atau tiga orang berkumpul atas nama Tuhan. Tuhan hadir di sana. Maka, kita belajar menahan diri untuk tidak membawa berita hoaks. Gosip. Ngerasani. Ketika kita mampu berbagi sukacita, memberi semangat kepada orang yang kita kunjugi, berkat Tuhan turun melimpah atas kita. 
  • Belajar bersyukur untuk segala berkat Tuhan, besar atau pun kecil. Apa pun itu. Dengan bersyukur, mengimani bahwa Allah sungguh luar biasa.
  • Pentingnya kehadiran kita dalam keluarga-komunitas, dengan segala cinta, akan membawa sukacita besar. Maka, sesibuk apa pun kita, luangkanlah waktu. Untuk keluarga dan komunitas kita. Jangan lari dari kebersamaan, menyibukkan diri. Sebab kehadiran kita merupakan kekuatan bagi keluarga dan komunitas. Kita pun terkena imbasnya. Menjadi kuat.
  • Saling meneguhkan satu sama lain. Kita butuh teman. Sahabat. Berkat kehadiran mereka, saya merasa dikuatkan.
  • Saling menyapa. Salam. Senyum. Mendoakan. Sukacita akan mewarnai hidup kita. Itulah ciri khas orang yang beriman, selalu bersukacita. 
  • Maria mengunjungi Elisabeth, tidak memandang status atau jabatan. Sementara, kita, orang dewasa, cenderung memandang orang dari status dan jabatannya. Kita sering memperlakukan seseorang berdasarkan jabatannya. Kalau jabatannya tinggi, apa pun akan kita usahakan. Kita  layani sedemikian rupa. Apakah kita juga memperlakukan dan melayani yang sama kepada saudara-saudari kita yang kecil, lemah, tak berdaya?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version