SEMUA pada dasarnya bermodalkan niat kuat dan nekat. Bener-bener bonek.
Perjalanan ke Lisabon, Ibukota Portugal, merupakan perjalanan pertamaku ke Eropa. Aku sangat deg-degan ketika akan melakukan pendaftaran mengikuti World Youth Day (WYD) dan Magis Gathering 2023.
Yang terpikir pertama kali adalah bagaimana aku bisa mendapatkan izin dari atasanku dan teman teman di tempat kerja.
Aku sungguh takut untuk bicara dengan teman-teman dan atasanku, ketika Romo Koko SJ, pendamping Magis Indonesia memberi pengumuman penting dan menarik. Yakni, bahwa semua anak Magis Indonesia yang mendaftar World Youth Day dan Magis Gethering 2023 akan berangkat ke Portugal.
Sempat ragu, tapi akhirnya nekat
Akhirnya dengan tekat bulat dan melawan ketakutan, aku berani bicara. Respon Romo Ferry SW Pr, ketua yayasan di tempat kerjaku, justru mendorong agar aku ikut serta. Yang penting, kata dia, yayasan nantinya tidak bisa memberi bantuan dana. Oleh karena itu, keputusan akhir sepenuhnya diserahkan kepadaku.
Jawaban tersebut sempat membuatku berpikir ulang untuk berangkat. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk tetap ingin berangkat mengikuti Magis Gathering dan WYD 2023.
Aku hanya berpikir, “Yang penting dapat izin terlebih dahulu. Masalah uang bisa dicari nanti. Jika Tuhan mengijinkan, pasti Tuhan akan memberikan jalan.”
Tuhan kasih jalan keluar
Ternyata benar. Tuhan memberi jalan dengan berbagai macam usaha seluruh tim yang berangkat. Kami berhasil mendapatkan dana sesuai kebutuhan kami; bahkan berlebih melalui jualan barang-barang yang berbau Ignatian dan mendapat donatur.
Tidak hanya itu. Tidak disangka juga. Apa yang sebelumnya di awal telah dikatakan oleh Romo Ferry SW ternyata dalam perjalanan waktu bisa berubah. Ia malah memberi uang perjalanan padaku atas nama yayasan dan pribadi. Bahkan turut mencarikan dana lain dari donatur.
Oleh karena itu, sudah selayaknyalah bahwa aku pertama-tama harus mengucapkan banyak terimakasih kepada Romo Ferry Pr dan seluruh karyawan Eco Camp Bandung yang telah memberiku izin serta dukungan dana dan semangat.
Juga berterimakasih untuk para donatur yang telah membantu. Terkhusus Bapak Eng Liang Tan dan Bapak Bambang Hartono yang telah memberikan dana amal kasih secara pribadi dan juga diberikan ke komunitas.
Terbatas bisa bicara bahasa asing
Sebenarnya, bukan hanya soal izin dan dana. Aku juga memiliki kekuatiran tentang bahasa. Sebelum berangkat ke Portugal, aku pernah belajar Bahasa Inggris; namun jujur aku masih tidak percaya diri bicara Bahasa Inggris.
Bertemu dengan orang bule saja sudah takut duluan. Akan tetapi aku nekat saja, tetap memaksa diri untuk berangkat dengan persiapan Bahasa Inggris yang sangat terbatas. Berkomitmen belajar Bahasa Inggris setiap hari namun sering gagal.
Sering kali tidak komitmen karena alasan capai. Namun masih beuntung karena tempat kerja juga sedang menggalakkan belajar Bahasa Inggris untuk para karyawan, sehingga cukup lumayan menolongku. Paling tidak satu pekan sekali belajar bahasa inggris selama dua jam.
Hal lain lagi yang memaksaku untuk tetap belajar Bahasa Inggris adalah Romo Koko SJ yang memberikan bahan pengolahan sebelum berangkat.
Semua peserta wajib membaca dan melakukan refleksi autobiografi Santo Ignatius, catatan harian Santo Ignatius dan surat-surat Ignatius dari buku Personal Writings – Ignatius Loyola.
Hal lain adalah menonton video YouTube tentang Latihan Rohani Santo Ignatius dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh Romo Ramon Bautista SJ seorang Jesuit Filipina.
Jumlah video adalah 10; dengan durasi masing-masing sekitar satu jam. Tidak hanya mengajarkan Latihan Rohani, namun juga secara tidak sadar melatih listening Bahasa Inggrisku. Bahasanya sangat sederhana dan mudah dipahami.
Tuhan sungguh baik dengan mengatur keberangkatanku ke Portugal dengan cara yang baru ku sadari setelahnya.
Perjalanan menuju Lisbon dilakukan dengan melakukan transit dua kali: Abu Dhabi (Uni Emirat Arab) dan Brussels (Belgia). Saat dalam pesawat menuju ke Abu Dhabi, awalnya aku merasa deg-degan ketika melihat pramugari yang wajahnya sudah tidak “Indonesia banget”.
Aku takut jika selama di Portugal, aku tidak dapat berbicara Bahasa Inggris sama sekali. Namun ternyata saat pramugari bicara, aku paham apa yang ia katakan. Ia bicara sangat jelas. Ketika aku bicara, dia juga dapat mengerti apa yang aku katakan.
Pengalaman itu menjadi pengalaman “AHA-ku” berbicara bahasa Inggris.
Rasanya bangga bisa bicara bahasa Inggris walau hanya percakapan kecil.
Aku sedikit bingung, ketika berada dalam pesawat. Aku tidak tahu fungsi semua fitur yang tersedia dalam pesawat. Beruntung ada temanku -Magis Jakarta- yang sudah terbiasa dengan perjalanan luar negeri sehingga aku dapat belajar banyak darinya.
Melanjutkan perjalanan kembali, aku semakin deg-degan setelah sampai Abu Dhabi International Airport. Wajah orang semakin banyak perbedaan lagi dengan wajah orang Indonesia. Apalagi saat turun di Brussels Airport. Wajah orang sudah berubah bule semua. Deg-degan semakin nyata.
Namun aku mencoba tetap tenang dan berusaha baik-baik saja.
Namun lagi-lagi aku menemukan “AHA moment” ketika di Brussels International Airport. Ada pasangan suami isteri dari Australia mengajakku bicara. Aku terpaksa melawan diri untuk mendengar dan berbicara dengan Bahasa Inggris.
Walau beberapa pembicaraan kehilangan kata, namun kami tetap dapat saling berkomunikasi dengan baik. Aku merasa bangga kembali. Ternyata aku bisa.
Tapi, aku mengalami deg-degan lagi ketika berada di dalam pesawat penerbangan rute Brussels-Lisabon. Semua orang memiliki wajah bule, kecuali rombongan kami.
Namun lagi-lagi mencoba tenang. Kami dijemput oleh panitia saat sampai di Lisabon International Airport. Aku masih diam.
Magis Gathering di Lisabon, Portugal
Pada awal ketemu orang-orang dari negara lain di Magis Villa Lisabon, aku masih banyak terdiam. Namun aku merasa dipanggil untuk melawan diriku.
Magis Gathering memiliki jumlah 2.000 peserta. Banyak perjumpaan yang memaksaku untuk berbicara dengan teman-teman dari negara lain.
Pada intinya, disposisi batin selama mengikuti Magis Gathering dalam hal bahasa adalah kadang deg-degan dan kadang lega, karena dapat melawan diri dan berhasil berbicara dengan orang dari negara lain.
Sungguh ini progress yang sangat baik untukku dalam melatih bicara Bahasa Inggris. Aku sering berhasil melawan diriku untuk berkomunikasi dengan orang lain, walau dengan keterbatasan.
Pengalaman AHA moment
Ada banyak hal lucu dan “AHA moment” dalam hal berkomunikasi. Saat bertemu teman dari Vietnam, ia bertanya padaku: When? Namun dengan pengucapan yang aku dengar adalah Wheee? Aku kira where?; ternyata when?
Banyak orang Korea, China, dan sekitarnya berbahasa dengan intonasi khas mereka sehingga terdengar lucu. Mungkin juga ketika mereka mendengar kami orang Indonesia bicara, juga terdengar lucu.
Berbeda dengan orang Perancis dengan khas intonasinya yang bagiku susah dipahami. Berbeda dengan orang Amerika yang lebih fasih, karena Bahasa Inggris merupakan bahasa ibu mereka.
Pada akhirnya aku menjadi lebih percaya diri. Berbahasa dengan jurus “yang terpenting aku tahu dan kamu tahu”.
Semua orang belajar Bahasa Inggris di momen ini kecuali orang Amerika yang memang menjadi bahasa keseharian mereka.
“AHA moment” lain, terjadi ketika aku memutuskan memisahkan diri dari teman-teman Magis Indonesia. Aku mencoba sendiri mengajak bicara salah satu biarawati dari Spanyol. Aku hanya random mengajak bicara ternyata kami dapat berbicara dengan lancar.
Pengalaman lain lagi ketika dapat berbicara secara personal dengan Pedro, salah satu panitia experiment Magis saat kegiatan outing di Santo Tirso. Ada banyak pembicaraan lain yang akhirnya membuatku bangga karena berhasil berkomunikasi dengan baik.
Namun di sisi lain, aku sempat merasa minder kembali saat welcoming ceremony WYD. Ada seorang teman Magis Indonesia yang kemudian mengomentari penggunaan kata tanyaku yang secara tata bahasa salah.
Aku merasa dipatahkan. Aku rasa ini yang sering kali terjadi, ketika kita belajar Bahasa Inggris. Orang baru belajar bicara, namun sudah dikomentari masalah tatanan bahasa.
Hal itu dapat dilakukan jika ada kesepakatan untuk saling belajar. Namun jika itu dilakukan sepihak, akan membuat orang lain terpatahkan.
Semesta mendukung
Dari proses ini aku belajar bahwa jika kita mempunyai niat akan suatu hal dengan sungguh, maka Tuhan akan memberi jalan bahkan mempermudah. Semesta akan mendukung apa yang kita niatkan.
Hal lain adalah ternyata berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris tidak serumit yang aku bayangkan sebelumnya. Hanya butuh kepercayaan diri dan mental yang berani. Tidak perlu takut; apalagi dalam pertemuan di mana sebagian besar peserta belajar Berbahasa Inggris.
Oleh karena itu, aku merasa diajak Tuhan untuk lebih yakin dan niat ketika menginginkan sesuatu karena Tuhan pasti menyediakan yang terbaik untukku.
Hal lain lagi adalah aku merasa diajak lebih menginternasional.
Belajar Bahasa Inggris harus terus dilanjutkan karena akan menjadi kebutuhan di masa yang akan datang.
Dalam hal belajar berbahasa, jangan patahkan orang lain yang sedang belajar berbicara Bahasa Inggris. Misalnya dengan mengomentari tatanan bahasa atau grammar, kecuali memang ada kesepakatan belajar bersama.
Biarkan orang lain tumbuh berkembang; sesuai proses kemajuan masing-masing. (Berlanjut)