Home LENTERA KEHIDUPAN Aku Bertemu Malaikat (3)

Aku Bertemu Malaikat (3)

1

Cerita unik lain terjadi di hutan jati. Usai menghabiskan satu hari satu malam melintasi Blora, tibalah kami di hutan jati Randublatung.

Saat itu, matahari sudah mulai menua. Sinarnya pun mulai redup. Siluet di mana-mana. Malam di ujung jalan. Di depan mata, berjejer ribuan pohon jangkung dengan batang mengelupas, cabang-cabang kering, dan daun-daun mulai menguning disengat panas. Kami sepakat meneruskan perjalanan.

Tapi, ada sesuatu yang membelokkan langkah kami ke sebuah gubuk kecil. Gubuk itu tak lain adalah sebuah posko perhutani. Seorang polisi hutan duduk di depan gubuk sambil memelintir rokok.

Usai perkenalan singkat, sang polisi pun mendesak kami bermalam di gubuk. Hutan jati terlalu panjang untuk disusuri. Katanya, kami masih harus menempuh 25 kilometer dari hutan seluas 32 ribu hektare itu. Akhirnya, kami putuskan menginap.

Malam pun menyergap. Bohlam 5 watt menerangi ruangan tempat kami ngobrol. Polisi tua itu memberi kami nasi bungkus dengan lauk tempe goreng, sambel, dan kerupuk. Lumayan buat menghalau dingin udara hutan. Di pagi buta kami terbangun oleh kesibukan si polisi mempersiapkan tugas. Kami diberitahu tentang sebuah mata air cilik yang letaknya menjorok ke dalam hutan. Dengan diterangi senter kecil milik si polisi, kami berjalan menyusur jalan setapak.

Di bibir telaga mini itulah tangan kami menggayung air dan menyiramkannya ke muka-muka kumal kami. Usai cahaya bola langit menelusup di rerimbunan jati-jati, kami pamit dan meneruskan perjalanan. Polisi itu membekali kami dengan beberapa potong lepet.

Dusun ganjil
Di sekitar Blora, kami juga pernah mampir di sebuah dusun beraroma ganjil. Jalan masuk ke jantung desa sungguh terjal. Lantaran lolongan perut, kami nekat masuk ke dusun aneh itu. Di perkampungan, banyak pasang mata mengawasi kami. Tatapan mereka aneh. Aku mencium bau mistis. Kami menghampiri sebuah rumah. Kami minta makanan untuk makan siang. Seorang ibu ditemani seorang anak kecil memberi kami sepiring kacang rebus dan dua gelas air putih. Ia bilang sayurnya belum matang.

Tapi, mendadak aku terkejut. Astaga! Tangan si ibu itu tanpa jari. Sontak hatiku menciut. Apalagi jari-jari kaki anak kecil di sampingnya juga raib. Sepertinya ada virus misterius atau hewan buas yang memereteli jari-jari mereka. Lalu tatapanku menyapu seluruh arah mata angin. Lihat, seluruh orang di sini cacat! Tubuhnya tidak lengkap. Namun, si ibu itu menyilakan kami dengan ramah. Kami pun memakan kacang rebus itu dengan lahap. Kami pun mengucapkan terimakasih lalu sayonara.

Orang-orang di dusun itu juga menyapa kami dengan ramah. Aura ganjil itu pun tanggal. Di ujung jalan, kami melihat sebuah papan bertuliskan “Wireskat: Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik.” Di bawahnya, ada keterangan bahwa dusun itu dikhususkan bagi rehabilitasi mantan para penderita kusta. “Tuhan sendiri yang membelokkan kaki kita ke dusun itu. Kita memang harus berjumpa dengan orang-orang terbuang itu,” kata temenku sok religius.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version