Renungan Harian
Rabu, 21 September 2022
Pesta. St. Matius Rasul
Bacaan I: Ef. 4: 1-7. 11-13
Injil: Mat. 9: 9-13
“ROMO, saya tidak tahu harus berbuat apa. Maaf sebenarnya saya tahu apa yang harus saya lakukan, tetapi saya malas untuk melakukannya bahkan setiap kali diminta melakukan saya menjadi marah.
Romo, sejak masih bayi, saya diasuh oleh nenek dari pihak bapak saya. Menurut cerita nenek, saya ditinggal oleh ibu saat saya masih berumur 40 hari.
Masih menurut cerita nenek, ibu meninggalkan saya dan bapak untuk mengikuti laki-laki lain. Entah masalahnya apa dan dimana saya sampai sekarang tidak pernah tahu, bahkan juga tidak mau tahu. Saya merasa bahwa bapak saya ada di pihak yang benar, karena sampai sekarang bapak saya tidak pernah menikah lagi.
Setelah ditinggal ibu, bapak saya bekerja di luar negeri sebagai TKI. Bapak pernah bercerita bahwa keputusan untuk pergi sebagai TKI sesungguhnya sebagai pelarian bapak karena sakit hati ditinggal ibu.
Bapak selalu mengirim uang ke nenek untuk kepentingan hidup saya dan setiap dua tahun bapak pulang ke Indonesia. Secara ekonomi kami hidup berkecukupan, kami punya rumah yang baik, punya sawah dan kebun yang lumayan luas; semua itu hasil kerja keras bapak sebagai TKI.
Ketika saya kelas 4 SD, ibu saya datang ke rumah, dan itu pertama kali saya melihat wajah ibu saya. Namun saya ingat persis bahwa pada saat ibu datang, tidak ada pelukan atau pembicaraan dengan ibu.
Saya tahu pada saat itu terjadi perang mulut antara bapak dan ibu.
Menurut cerita nenek, ibu menuntut pembagian harta. Dan entah bagaimana terjadinya harta yang dikumpulkan bapak dibagi dua, padahal semua itu hasil kerja keras setelah ditinggal ibu.
Namun menurut nenek, bapak tidak mau ribut-ribut maka harta dibagi dua dan sejak saat itu mereka resmi bercerai.
Romo, saat saya kelas 5 SD nenek meninggal, dan sejak saat itu saya diasuh oleh bibi, (adik bapak). Jadilah sekarang saya menjadi “anak bibi” dan ketemu bapak hanya dua tahun sekali.
Romo, sejak pembagian harta itu, setiap bapak pulang ke Indonesia, ibu selalu datang dan minta uang, akibatnya selalu terjadi keributan antara ibu dan keluarga bapak.
Sementara bapak lebih banyak diam. Dan kemudian bapak selalu memberi sejumlah uang kepada ibu.
Romo, sekarang ini bapak sudah tua, dan sakit-sakitan. Bapak selalu meminta saya untuk mencari ibu, dan memastikan ibu baik-baik serta saya diminta untuk selalu memberi sedikit uang kepada ibu.
Romo, saya amat membenci ibu, bukannya hanya karena ibu telah meninggalkan kami dan sering merongrong bapak, tetapi saya tahu “kelakuan” ibu.
Saya malu mempunyai ibu seperti itu. Apalagi beberapa teman sambil berkelakar mengatakan bahwa saya orang hebat, karena anak “pelacur” bisa jadi orang. Kelakar itu menyakitkan dan membuat saya semakin benci.
Romo, apakah saya memang harus menemui ibu dan menerima ibu seperti permintaan bapak? Sulit Romo, amat berat dan amat menyakitkan,” seorang bapak muda bercerita.
“Mas, saya tahu itu amat berat dan mungkin kalau saya jadi mas juga akan bersikap yang sama. Namun mari kita melihat dan belajar dari bapak, yang mempunyai hati dan cinta yang luar biasa.
Kiranya bapak lebih sakit dan lebih menderita karena sikap ibu, tetapi cintanya yang luar biasa selalu menyediakan maaf dan perhatian yang luar biasa. Tidak melihat soal kejahatan yang telah dilakukan tetapi hanya ingin bahwa ibu dapat hidup layak,” jawab saya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius, Allah selalu mencari dan menyelamatkan setiap dari kita.
“Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa.”