“Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak Iblis: Setiap orang yang tidak berbuat kebenaran tidak berasal dari Allah; demikian juga setiap orang yang tidak mengasihi saudaranya.” (1Yoh 3,10)
BEBERAPA tahun yang lalu, seorang artis yang bernama CA, melaporkan ibunda VP ke Polda Metro Jaya. Ibu tersebut dilaporkan ke Polisi karena dituding telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan. Artis CA tidak bisa menerima perlakuan ibu tersebut, karena dalam sebuah acara ‘live’, CA dibilang anak setan, anak iblis, pakai dukun oleh ibu tersebut.
CA merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang pernah mendapatkan kata-kata kasar atau umpatan. Kata-kata kasar atau umpatan sering meluncur dari mulut pada saat seseorang marah dan tidak bisa mengendalikan diri serta emosinya. Kata-kata kasar yang keluar dari mulut, sering dimaksudkan untuk merendahkan, menghina atau melecehkan. Ada sekian banyak kata-kata kasar yang sering meluncur dari mulut, seperti: anak setan, anak iblis dan berbagai nama binatang.
Terlepas dari kasus atau peristiwa yang nyata, sebetulnya penting untuk direnungkan atau direfleksikan, “Kenapa orang marah dan tidak bisa menerima bahwa dirinya disebut anak setan atau anak iblis?” Hal-hal apa saja yang membuat seseorang disebut sebagai anak setan atau anak iblis? Tanda-tanda apakah yang bisa membedakan antara anak setan atau anak iblis dengan anak Allah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut nampaknya tidak mudah untuk ditemukan jawabannya. Jarang sekali orang melihat seseorang yang disebut anak setan atau anak iblis dengan taring panjang, mempunyai ekor, telinga besar, mata menyeramkan, warna hitam. Juga tidak pernah seseorang disebut anak Allah, karena berpakaian putih dan bersinar wajahnya. Tidak mudah untuk membeda-bedakan atau mengenali seseorang, apakah dia termasuk anak setan, anak iblis atau anak Allah berdasarkan kondisi fisik atau jasmani, penampilan, wajah atau rupa, pekerjaan, pakaian atau asesoris yang dipergunakan.
St. Yohanes membantu kita untuk mengenali dan membedakan antara anak iblis dengan anak Allah, yakni dengan dua tanda perbuatan benar dan perbuatan kasih. Seseorang disebut anak Allah kalau setia pada kebenaran. Kebenaran menjadi arah dan orientasi hidup; mewarnai pikiran, kehendak dan rasa; nampak dalam sikap, perilaku, perbuatan dan pelayanan. Selain itu, seseorang disebut Anak Allah kalau bersedia untuk mengasihi saudaranya. Dan St. Paulus menjelaskan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak somong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan; kasih itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu.
Sebaliknya, seseorang disebut anak iblis atau anak setan, kalau kebenaran sudah tidak ada di dalam diri dan hidupnya; kalau kasih terhadap saudara sudah digantikan dengan dendam dan kebencian, konflik dan permusuhan; kalau salah dan jahat telah berkuasa di dalam dirinya.
Sejauh saya melihat arah dan orientasi hidupku, pikiran, kehendak, perasaan, sikap, perilaku, perbuatan dan pelayananku selama ini, siapakah diriku ini: anak setan atau iblis, ataukah anak Allah? Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)