MENUMBUHKAN iman yang sebiji sesawi di hati anak-anak kecil rasanya perlu saya lakukan sebagai pastur desa. Hari Minggu (11/10) siang, saya sengaja mengajak 4 anak calon penerima komuni pertama mengunjungi stasi di luar kota Sidareja dimana saya akan memimpin misa mingguan.
Bersama anak-anak yang baru kelas 4 SD ini, saya pergi mengunjungi Stasi Gendiwungcagak yang lokasinya dekat Kalipucang, persis di wilayah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Paling “Barat”
Stasi Gendingwungcagak termasuk stasi paling “barat”. Bangunan kapelnya terletak di “pertigaan” sungai berdekatan dengan Kalipucang yang tak lain adalah jalur Segara Anakan-Pangandaran.
Umat di Stasi Gendingwungcagak ini kurang lebih 20 kepala keluarga. Mereka bekerja sehari-hari sebagai penderes nira (air kelapa) yang kemudian mereka olah dengan teknologi sederhana sebagai gula merah. Sebagian mereka berprofesi sebagai guru, nelayan, karyawan perhutani dan pedagang. Namun, mayoritas mereka orang-orang sederhana.
Perjalanan kami dari “pusat kota” Sidareja menuju Stasi Gendingwungcagak ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam dengan mobil. He…saya agak risih juga menyebut Sidareja sebagai “pusat kota”…lah wong hanya kota kecil saja.
Anak-anak yang ikut dalam misi pastoral ini tampak gembira “bertamasya” bersama romonya. Dalam perjalanan, kami bercerita ngalor ngidul ora karuan hingga tak terasa sampai juga perjalanan kami menuju stasi “terluar” di ujung paling barat Paroki Sidareja.
Polosnya anak-anak
Begitu sampai di lokasi, kami segera bersiap menggelar perayaan ekaristi.
Kepada empat anak kelas 4 SD yang sebentar lagi akan menerima Komuni Pertama ini, saya memberi tugas sederhana. Saya minta mereka “unjuk gigi” dan melatih mereka berani berkenalan dengan sejumlah umat dan para penatua lingkungan seperti ketua stasi, pelindung stasi.
Lucu juga mendengar coletahan mereka ini. Pas sesaat sebelum misa, salah seorang mereka berbisik sama saya, “Romo, sebentar ya, saya mau pipis….”
Umat stasi yang ikut mendengar bisikan itu kontak tersenyum…. melihat kepolosan anak-anak Tuhan ini.
Saat ekaristi berlangsung, ada anak remaja kelas 3 SMP dari Stasi St. Mikael di Stasi Gendingwungcagak didapuk menjadi lektor.
Misa berdurasi 1 jam dihiasi lagu-lagu dengan iringan yang sedikit blero-blero. Itu tak mengapa, yang kurasakan justru semangat membara umat menghayati perayaan ekaristi.
Syering iman
Usai misa, saya dan keempat anak anggota rombongan misi pastoral ini lalu mampir ke rumah salah satu umat stasi. Di sana kami disuguhi makan. Saat makan bersama itulah, sang tuan rumah dan sejumlah bapak lain berkisah tentang kondisi umat.
Menurut mereka, banyak anggota umat di stasi sudah mulai uzur dimakan usia. Ada bapak berkisah, dalam sebuah keluarga janda hanya ibu renta itu saja yang katolik. Anak-anaknya tak satu pun katolik.
Topik lain adalah ada umat yang sudah sekian lama tidak pernah “muncul” hadir dalam misa stasi. Yang mereka prihatinkan, bapak itu masih semangat mengklaim dirinya katolik, sekalipun tak pernah muncul dalam kegiatan apa pun –termasuk ekaristi. Sementara, anak-anaknya pun juga tidak ada yang katolik.
Ini adalah syering keprihatinan yang saya dengar dari umat terkasih. Yang meneguhkan saya justru permintaan dari para umat anggota katolik “napas alias natal-paska” ini. Jika mereka nanti mati, mereka tetap ingin didoakan secara katolik.
Kepada mereka pun, saya hanya berucap: “Sendika dhawuh. Manakala saya dipanggil mendampingi mereka di saat-saat kritis, saya siap,” begitu kata saya.
Respon uskup
Monsinyur Julianus Sunarka SJ merespon gembira misi pastoral Romo Vidi Pr yang mengajak anak-anak ikut mengunjungi stasi. Menurut Uskup Purwokerto, langkah ini jauh lebih “bijak” daripada mengajak ibu-ibu atau gadis dan membawa mereka dalam satu mobil.
“Langkah Romo seperti memupuk benih kerasulan awam di kalangan anak-anak. Ini menjadi pembibitan untuk panggilan rohaniwan atau religius. Kalau bawa ibu-ibu atau gadis, waah…bisa berabe nantinya,” begitu tanggapan Mgr. Julianus Sunarka SJ.
Saya ikut mendoakan perjuangan Romo di Kota Kecil ini.
menyimpang dari artikel ini.
Romo, saat ini saya di Batam dan rindu untuk pulang ke Kedungreja/Sidareja. Akses ke sana lebih dekat dari Jogja atau Jakarta? Sejak kelas 1 SD saya sudah meninggalkan kampung jadi tidak tahu akses untuk ke Sana. Saya berencana untuk membawa pulang istri dan anak saya yang masih kecil.
Terima kasih atas bantuannya Romo.