Home BERITA “Anak yang Hilang”: Mahalnya Rasa Sesal di Ujung Penantian yang Panjang (2)

“Anak yang Hilang”: Mahalnya Rasa Sesal di Ujung Penantian yang Panjang (2)

0
Ilustrasi: Drama perjalanan hidup dua orang 'Anak yang Hilang"yakni Markus dan Cindy. Karena pengalaman akan kasih, keduanya lalu meninggalkan pola hidup lama dan meniti hidup baru. Inilah inti kisah pergelaran drama seni teater berjudul "Anak yang Hilang" oleh Teater Angela besutan Panti Asuhan St. Angela Delitua - Medan bersama Teater Katak dan EforD dari Jakarta. (Mathias Hariyadi)

PANGGUNG itu dibiarkan tampil ‘rata’, meski di bagian belakang ada semacam dua panggung berbeda. Di bagian atas, ada seperangkat alat musik perkusi, sementara di bawahnya ada ‘bilik’ tertutup oleh tirai tipis warna hitam sebagai penyekatnya.

Di panggung atas dan di ruang ‘bilik’ itulah, sejumlah pemusik memainkan komposisi-komposisi musik dan nyanyian untuk mengiringi pementasan teater karikatural Anak yang Hilang di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail di Jl. Rasuna Said – Kuningan, Jaksel, Sabtu (6/1/2018) lalu.

http://www.sesawi.net/2018/01/09/anak-yang-hilang-kisah-keberhasilan-anak-panti-asuhan-st-angela-delitua/

 

Tarian khas Tapanuli

Serombongan pemudi lalu mengisi ruang panggung dengan beberapa tarian khas Sumatera Utara. Mereka adalah remaja-remaja penghuni “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela di Delitua – Medan yang lokasinya tidak jauh dari Bandara Internasional Kuala Namu. Dibalut dengan busana khas Tapanuli lengkap dengan semua aksesorinya, kaum remaja putri yang manis-manis ini menyanyikan sejumlah tembang berbahasa Batak.

Tembang Jangkrik Genggong yang ditenarkan oleh penyanyi Waldjinah ikut mereka nyanyikan di atas panggung. Kali ini, tentu saja, tembang Jawa dinyanyikan dengan citarasa Batak plus dengan lekukan ayunan tangan ketika para penyanyi Batak tengah membawakan tarian Tor-tor.

Itu tak mengapa, karena –seperti kata Sr. Bernadette Saragih FSE di awal pentas– para penonton drama teater karikatural Anak yang Hilang akan dibawa ke alam budaya Tapanuli yang amat kaya akan folklores berupa tarian, tembang, busana, dan warna. Itulah sebabnya, di awal acara Sr. Bernadette sempat mengalungi ulos khas Batak kepada Vladimir –sang penulis naskah dan sutradara. Ia datang bersama isterinya Edith Liu yang ikut manggung di dalam bilik tertutup bertirai hitam sebagai tim pemusik live.

Dunia preman yang serba diwarnai kekerasan, hedonisme, dan maunya hidup enak di atas penderitaan orang lain. (Mathias Hariyadi)

Mengemas karikatural dunia keras preman

Sebagaimana kita tahu semua, preman adalah dunia kehidupan penuh kekerasan. Markus  (Daniel Mangaraja) memasuki alam kekerasan ini karena tamak. Ia pergi begitu saja meninggalkan ayah kandungnya –seorang orangtua tunggal (Kristo Immanuel Caesar)– dan kemudian mengais hidup di dunia kejahatan bersama para preman cecunguknya (Sri Agustina, Ayu Irene Simarmata, Atika Julieta, Derinta Br Berutu, Maria Viani Br Sagala, Tri Siska Reuni Br Sitohang).

Mabuk-mabukan dan melakukan aksi pemerasan menjadi keseharian Markus selepas meninggalkan rumah, setelah tetangga sekitarnya mengusirnya karena kenakalan dan aksi premannya di lingkungan.

Dunia preman.

Kelompok preman lainnya meniti jalan hidup yang sama.

Kali ini, kekerasan ditampilan secara kocak –khas adegan karikatural—dimana sekelompok anak-anak usia remaja dan dini dikasting untuk  memerankan sosok para penjahat jalanan, lengkap dengan pernak-pernik busana khas preman. Berbeda dibanding preman sungguhan yang biasanya cowok, kali ini ‘preman gadungan’ di pentas Anak yang Hilang ini diperankan oleh anak-anak perempuan dari “Rumah Keberhasilan” PA St. Angela Delitua.

Dua kelompok preman itu berbenturan kepentingan.

Markus  sudah lama telah menjadi l’enfant prodique –anak jalanan hedonis yang hidupnya diisi dengan banyak foya-foya dan minum. Sementara, kelompok ‘bandit’ dengan pemeran anak-anak perempuan itu juga punya kepentingan sama: mereguk nikmat, tanpa harus bekerja keras.

Cindy (Alvina Dumingan), pemudi kaya tapi telah kehilangan citarasa kasih sayang seorang emak, menjadi titik persinggungan antara kedua kelompok bandit jalanan itu dengan ‘hasil’ positif: kiblat hidup Markus tiba-tiba saja berubah.

Saatnya bertobat dan menemukan jalan yang benar kembali.
Metanoia berarti berbalik 360 derajad ,meninggalkan pola hidup yang lama dan merintis jalan hidup baru.

Metanoia alias berbalik 360 derajad adalah kata paling tepat untuk melukiskan ‘kisah pertobatan’ Markus ini. Namun,  itu tak berlaku bagi Cindy. Ia  tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu kandungnya (Jeanette Lianda Olga) sendirilah yang telah mencampakkannya dari panggung hidup penuh kasih.

Dendam itu senantiasa membakar Cindy. Terutama ketika mendapati ibunya tak lebih sebagai penjaja cinta yang selalu diuber-uber oleh Rosalinda (Gabriela Excelci Agnes) dan Lasma (Yohana Katharina Siena Monita).

Kekerasan sebagai banyolan

Tak selamanya, adegan kekerasan selalu harus tampil berdarah-darah. Justru, “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela yang memboyong Teater Angela dari Delitua – Medan berhasil menghadirkan kekerasan itu dalam balutan banyolan yang meretas gelak ketawa.

Bersama mitranya dari Jakarta –Teater Katak dan EforD— di tangan kelompok pecinta seni teater dari kalangan anak-anak penghuni panti asuhan ini, kekerasan itu tampil menawan. Bukan menakutkan, tapi lucu dan menggemaskan.

Lihat saja ini.  Sangat lucu menyaksikan bagaimana si bandit cilik itu (diperankan dengan apik oleh anak bernama Bellina Maria Sidabutar) dengan lagaknya yang sok pede abis rupanya bisa langsung habis nyali,ketika harus  berhadapan dengan preman senior.

Bandit cilik ini lalu beringsut melarikan diri –dan masih pakai terpeleset segala— ketika ia meninggalkan gelanggang daripada harus berhadapan dengan Markus.

Aksi preman cilik yang secara lucu diperankan oleh anak perempuan bernama Bellina Maria Sidabutar.

Lihat juga Markus yang sebelumnya sok jagoan dan keras hati tiba-tiba saja ‘dilemahkan’ oleh kekuatan seorang perempuan bernama Cindy yang membutuhkan pertolongan. Rupanya, pertobatan dan metanoia itu kadang terjadi,  lantaran di situ ada ‘cinta’ – atmosfir  yang mampu menjadikan hidup ini bisa kembali tenang, damai, dan rukun.

Kematian dan perjumpaan

Sekali waktu, almarhumah Presiden Filipina Corazon “Cory” Aquino pernah berucap seperti ini: “I would rather die a meaningful death than to live a meaningless life.”

Maknanya sangat dalam, bila dicerna dengan perspektif iman.

Kematian Ibu (Jeannette Lianda Olga) ditangisi dengan penuh haru dan sesal oleh Cindy. Kedatangan kembali Markus ke rumah bapaknya disambut dengan tangisan penuh air mata bahagia.

Perjumpaan yang menggetarkan antara anak dan bapak setelah Markus mengalami pengalaman tersentuh oleh rasa belas kasihan memlihat Cindy menjadi korban pemerasan preman.

Ini dua ‘jenis’ tangis yang berbeda, namun berujung pada kebahagiaan yakni pertobatan total alias metanoia. Kematian telah mengubur rasa dendam dan emosi negati itu telah tersingkirkan dalam diri Cindy. Sementara,  kedatangan kembali Markus  itu telah menghentikan langkah Ayah (Kristo) menuju sakit dan kematian.

Happy ending mengakhiri kisah pementasan drama teater Anak yang  Hilang yang tampil menghibur dibanding persepsi awal yang mengisi batin saya tentang sombre-nya atmosfir kisah biblis ini. Kocak dan menyenangkan, itulah kesan yang terbangun setelah menyaksikan tarian dan pentas teater gabungan anak-anak Teater Angela besutan “Rumah Produksi ” Panti Asuhan St. Angela Delitua dengan mitranya dari Ibukota Jakarta: Teater Katak dan EforD.

Memperbincangkan kehidupan yang lebih bermakna.

Pentas Anak yang Hilang ini adalah kisah sukses “Rumah Keberhasilan” Panti Asuhan St. Angela di Delitua – Medan di atas panggung pertunjukan. Dan anak-anak panti hasil didikan para suster biarawati Kongregasi Fransiskanes St. Elisabeth (FSE)  ini  sekali lagi membuktikan,  panti asuhan itu bukanlah ‘rumah penitipan’ melainkan ‘rumah pendidikan’ untuk meraih keberhasilan.

Di sinilah catatan pemimpin Panti Asuhan “Rumah Keberhasilan” St. Angela Delitua sebagaimana dikatakan Sr. Bernadette Saragih FSE di awal pertunjukan lalu menemukan kebenaran dan legitimasinya.

Dekonstruksionisme Sr. Bernadette telah menemukan rasionalitasnya di sini. (Berlanjut)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version