TUHAN memanggil Samuel yang masih muda dan sedang melayani bersama Imam Eli di Bait Allah (1 Samuel 3:1-10,19-20). Suasana dan lingkungan tempat dia berada amat mempengaruhi proses panggilannya untuk menjadi nabi.
Waktunya dini hari dan sepi. Lampu Bait Allah belum padam. Imam Eli sedang tidur. Dalam suasana sepi, suara sekecil apa pun seperti detak jarum jam pun terdengar. Demikian pula panggilan Tuhan. Samuel juga sedang tertidur di tempat pembaringannya. Ketika manusia tidak sepenuhnya sadar panggilan Tuhan datang.
Waktu itulah Tuhan memanggil Samuel. Karena masih muda (belum berpengalaman), Samuel tidak mengenal suara itu secara jelas dan tepat. Maka ia lari kepada Imam Eli. Tiga kali. Baru setelah ketiga kalinya, Imam Eli menyadari bahwa Tuhanlah yang berbicara dengan Samuel.
Mengapa sampai tiga kali Imam Eli baru menyadari panggilan Tuhan itu? Rupanya dia sendiri tidak amat akrab dan dekat dengan Tuhan. Kepekaannya dalam menangkap suara Tuhan lemah.
Panggilan Samuel menegaskan panggilan setiap orang. Prosesnya terjadi dalam hidup sehari-hari yang diwarnai pelbagai suara, pandangan, pilihan, dan tawaran. Dalam sitpuasi demikian, orang bisa bingung. Karena itu, mereka membutuhkan pembimbing.
Pembimbing itu membantu mengidentifikasi panggilan atau kehendak Tuhan atas dirinya. Pembimbing berpengalaman membantu dengan cepat dan tepat. Sedang yang kurang berpengalaman agak lambat. Rupanya Imam Eli termasuk yang kedua ini.
Kisah ini mengingatkan bahwa setiap orang menerima panggilan dari Tuhan. Sejauh mana orang mendengarkan panggilan itu? Jawabannya menentukan perjalanannya mencapai tujuan hidupnya.
Yesus dalam injil hari ini (Markus 1:29-39) mendengarkan panggilan Tuhan. Meskipun orang- orang mencari Dia, Yesus melanjutkan perjalanan-Nya, mewartakan injil ke tempat-tempat lain. Itulah panggilan hidup-Nya (Markus 1:38). Bersama Dia orang dapat menjawab panggilan Tuhan, “Ya Tuhan, aku datang untuk melaksanakan kehendak-Mu” (Ibrani 10:7).
Rabu, 10 Januari 2024
Alherwanta O.Carm