Kamis, 24 Oktober 2024
Ef. 3:14-21;
Mzm. 33:1-2.4-5.11-12.18-19; Luk. 12:49-53
MISTERI kehidupan, ada sebuah kenyataan yang sering kita hadapi bahwa tidak semua yang menyakitkan akan membuat kita terpuruk hancur.
Sebaliknya, hal-hal dan peristiwa-peristiwa hidup yang pahit dan menyakitkan, penubh pertentangan dan konflik justru bisa menjadi sarana dan jalan menuju kematangan diri.
Bisa dikatakan bahwa konflik adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Di setiap persimpangan hidup, kita akan bertemu dengan ketidaksepahaman, perbedaan pendapat, bahkan luka hati yang datang dari kata-kata dan tindakan orang lain.
Namun, dari setiap konflik, ada pelajaran yang bisa dipetik, karena sesungguhnya, tidak semua yang menyakitkan akan membuat kita terpuruk dan hancur.
Sering kali, rasa sakit membawa kita pada kedewasaan. Luka mengajarkan kita tentang batasan, tentang apa yang kita inginkan dan apa yang kita butuhkan.
Saat terluka, kita dipaksa untuk merenung, menata ulang prioritas, dan memahami lebih dalam tentang diri kita sendiri. Rasa sakit itu membentuk karakter, membuat kita lebih tangguh, dan menyiapkan kita menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
“Waktu kecil orang tua saya selain bekerja sebagai petani juga tukang membuat batu bata yang andal,” kata seorang bapak.
“Bapak pintar memilih tanah dan membuat campuran hingga bisa memghasilkan batu bata yang kuat, ringan dan tidak mudah pecah.
Bapak juga jago membakar batu batu hingga hasil pembakaran itu sempurna dan batu-batu bisa digunakan dengan baik. Batu bata itu memberi saya pelajaran bahwa tidak semua yang dibakar api akan hancur.
Justru ada yang memerlukan api untuk menjadi sempurna. Batu bata misalnya. Supaya batu bata akan sempurna dan bisa digunakan dengan baik justru harus dibakar api lebih dulu sampai matang,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala.”
Tuhan Yesus menyalakan api di bumi, di hati kita, di hidup setiap insan. Yesus mendambakan api itu tidak padam, tapi terus menyala dan makin berkobar.
Api itu akan membuat gerah bagi yang hidup sembarangan, hidup seenaknya sendiri, hidup yang diliputi niat dan perilaku jahat, iri, dengki, dan nafsu-nafsu kotor lainnya.
Api itu akan membuat kepanasan mereka yang mengagungkan ego sendiri, kesewenang-wenangan, arogansi kekuasaan dan kemunafikan.
Demikian juga dengan setiap konflik, kita punya pilihan.
Pilihan untuk merespon dengan bijaksana, dengan hati yang lapang, atau justru tenggelam dalam amarah dan kepedihan. Kita bisa memilih untuk melihat rasa sakit sebagai kesempatan untuk bertumbuh, atau membiarkannya menjadi beban yang membelenggu.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bisa mengelola konflik dengan baik?