KETIKA kata “Selamat Hari Ulang Tahun” (SHUT) secara tersurat, eksplisit diucapkan sebagai salam, maka di balik ungkapan-ucapan itu, senantiasa disertai doa bahagia, doa selamat.
Meski implisit, namun tetaplah tersirat dalam hati atau pun malah diucapkan eksplisit.
Menyalam hari jadi sesama yang berulang tahun adalah sekaligus HUT kita masing-masing. Dan itu merupakan hari syukur karena telah dilahirkan oleh ibu kita. Dan di balik itu, hari syukur atas anugerah-Nya yang paling berharga yaitu hidup itu sendiri.
Karena kesibukan dunia modern dan peradaban pusat diri hitung-hitungan ekonomis, efisiensi, maka semua itu malah kerap membuat kita ‘lupa’ pada ulang tahun sesama yang paling dekat pun.
Saya sering dicurhat-i sakit hati isteri, yang suaminya lupa menyalami hari ulang tahunnya. Begitu pula sebaliknya.
Apalagi ‘test uji’ untuk yang sedang berpacaran antara lain ditentukan apakah si pacar ingat akan hari jadi pasangannya dan memberi perhatian khusus dengan hadiah HUT. Dan hal itu dibaca sebagai sapa hati dari yang tercinta.
Banyak cara
Ada banyak cara untuk tidak melupakan hari ulang tahun dalam keluarga, komunitas atau kawasan profesional sekalipun. Salah satunya menjadi tugas sang sekretaris, atau ibu, atau anak yang ingatannya cerdas.
Dan pasti disediakan buku catatan tanggal-tanggal HUT anggotanya.
Ada wajah menarik dari tradisi Jesuit, saat budaya tulis dan sapa perhatian dibahasakan dicelah-celah kesibukan kerja atau karya dekade lalu.
Komunitas SJ, saat saya masih muda -baik di Tanahair maupun di manca negara- daftar tanggal HUT anggota komunitas diketik di kertas per bulannya untuk jadwal satu tahun. Malahan ditempel pasang agar tak jatuh di WC kamar mandi.
Menarik untuk dicatat mengapanya?
Agar saat “upacara” masing-masing di WC, sambil duduk, ia akan membaca siapa yang hari ini atau besok lusa yang berulang tahun?
Mengapa yang berikut? Cerdas cara pengingat ini. Di celah-celah “sok sibuk karya yang padat, pastilah kamar mandi dan toilet, sebelum kerja dikunjungi”.
Dan pasti dibacalah daftar siapa-siapa yang mesti disalami ulang tahunnya.
Saya berdecak kagum pada ide cemerlang untuk mengingatkan “di balik ulang tahun sesama”, ada niat mengingatnya, memberinya selamat, lebih-lebih ada “doa” mengiringi buat kegembiraan sesama itu.
Tradisi pengingat hilang
Sayang sekali dengan perubahan budaya tulis dibanding ke digital, maka model daftar di toilet ini kini melenyap.
Namun spiritnya diteruskan dalam buku agenda anggota dengan foto per angkatan dan di sana ditulis tanggal lahir masing-masing.
Ada foto, ada tanggal lahir, saat melihat lalu pasti teringat siapa yang SHUT hari-hari ini. Tetapi, karena dibukukan, maka bila buku agenda sedang terselip dan tidak dibuka, lebih mudah melupakannya karena rutinitas hidup yang menggerus.
Duc in altum
Di masa banyak tinggal di rumah dan WFH (work from home) ini, terbuka banyak pilihan untuk lebih banyak memaknai hari dengan hening batin dan perhatian ke kedalaman: “Duc in altum”: melemparkan jala ke kedalaman danau tempat ikan-ikan bermukim.
Atau bingung sibuk-sibuk di luar batin seperti disebut Martin Heidegger dalam manusia-manusia gerombolan: “Des Seindes”, yang serupa pula manusia-manusia kerumunannya Mochtar Lubis dalam novel Harimau-harimau yang sibuk memburu harimau ganas di luar.
Padahal yang harus disolusi adalah harimau di batin masing-masing yang harus ‘dibunuh’, ke-risau-ankah? Kesepiankah, hasrat ambisi serakah-kah?
Ada tatapan harapan, senyum, rengkuh jemari dan rengkuh perhatian orangtua atau yang tercinta, saat melepas anak akan “merantau”dalam arti: keluar gendong selendang orangtua untuk studi di lain kota atau bekerja di lain kota.
Di balik tatapan harap dan selamat jalan, “hati-hati di rantau”, itulah termuat doa restu orangtua untuk putera-puteri, yang harapan dan buah cinta orangtua.
Serupa renungan saya saat menyaksikan lambaian tangan guru-guru kami dari Driyarkara di bandara saat menghantar kami berdua dengan Romo Dipo SJ, pergi studi awal pertama kali mau keluar negeri bersama untuk studi.
Lambaian tangan itu dan ingatan saya pada alm. Romo Chris Verhaak SJ, alm. Romo J. Verhaar SJ, dan Romo Magnis SJ, yang pesan agar minta tempat duduk di deret jendela (window seat) yang isi pesan sahaja ini baru saya tahu saat duduk di jendela pesawat memang cakrawala mata menatap dan menikmati awan-awan dan keluasan angkasa bahkan kota-kota dari atas.
Rombongan pengantar dengan bis berderet untuk perpindahan romo paroki melengkapi upacara pisah sambut di setiap pergantian romo-romo yang pindah tugas.
Saya tercenung, merenung, bagaimana salam hangat terima kasih diwujudkan umat-umat kita begitu dahsyat dengan hadir menyertai romonya dan menghantar ke tempat karya “baru” berikutnya.
Pasti doa penyertaan dan selamat tugas bergaung di hati para pengantar romo itu.
Di sini langsung terfilmkan pula saat tahun 1983, Mas Didiet dan Detty isterinya, Mas Kusumadmo (Momok) dan isteri serta Mas Lukas dan isteri; berenam mereka menghantar saya ke Wonogiri untuk tugas pertama jadi romo paroki di kota jamu itu.
Berapa tahun sudah berlalu, bahkan para pengantar ini sudah bercucu semua, namun bayangan dan rupa selamat tugas dan doa menjadi “restu” untuk melangkah menapaki panggilan-Nya.
Terngiang senandung doa dan restumu yang diperluas jadi restu kalian yang mewujudi penulis lagu ini, bergetar, terus menggema tak lekang panas dan tak lumat edaran waktu.
Kreativitas masa kini
Kini, di abad digital ini, betapa kreatif generasi muda mengemas dalam meme, lagu dan visualisasi ucapan SHUT semakin membuat generasi tulis dan lisan dahulu menjadi speechless lantaran asri, menyapa dan membuat ucapan selamat itu menjadi benar-benar “shalom”.
Artinya, selamat bahagia lahir dan batin, bahkan celetukan yang kreatif menyeru: “selamat komplit”.
Kata-kata terucap, bila dirangkai dalam makna akan mewujud dalam sapa-sapa prosa yang “encouraging”, memberi semangat bila disumberi oleh doa, harapan dan perhatian demi memuliakan kehidupan.
Namun wujud puitis kata-kata yang berbisik pun bila disuarakan dari hati ikhlas untuk menguatkan “shalom” hati pada sesama pastilah akan memviralkan energi positif kehidupan di saat situasi pengab polusi energi negatif “distrust” sedang melanda negeri di saat pandemi ini.
Maka benarlah “adagium” yang mengucap: DOA adalah sapa dalam DIA. Kata-kata perhatian ucapan-ucapan yang dikatakan tulus pada sesama di tangan Tuhan, saat tulus dihunjukkan pasti menjadi “sapaan DOA”.
Di balik kata-kata yang kita ucapkan untuk SHUT antara lain memuat doa buat kebahagiaan sesama yang kita selamati.
Terutama tiga ucapan kunci yang oleh Paus Fransiskus diingatkan kembali untuk diucapkan dengan hati tulus karena terlalu banyak basa-basinya, yaitu: “Terima kasih, syukur dan maaf.”