Home BERITA Artikel Pencerah: Kesadaran Kritis dan Aksi Literasi (Aksara)

Artikel Pencerah: Kesadaran Kritis dan Aksi Literasi (Aksara)

1
Ilustrasi --Wajah Tuhan hasil kreasi seniman instalasi (Ist)

PERUBAHAN sosial ditentukan oleh subjek manusia dengan kesadarannya. Atau, bisa juga oleh perombakan struktur yang mengungkung kemerdekaannya.

Pemikiran strukturalis mengasumsikan hal ini. Yakni, sejak manusia lahir, ia sudah dikonstruksi atau ditentukan oleh ada, sistem sosial, dan struktur. Maka dari itu,  kaum strukturalis lebih bersikap deterministis. Karena strukturlah yang menentukan gerak perubahan.

Akan tetapi pertanyaannya: Siapa yang sedari awal mula menyusun struktur? Atau, taruhlah adat-istiadat sudah berusia lama, sebelum kita lahir sebagai ‘anak kandungnya’?

Bukankah tetap subjek manusia pula yang telah menciptakannya?

Karena itu, sekolah kesadaran menempatkan manusia sebagai pembuat struktur hidupnya. Meski sekaligus saat lahirnya, ia sudah berada dalam struktur yang dibuat pendahulu-pendahulunya.

Maka pula, proses perubahan yang diandalkan oleh sekolah kesadaran atau mentalitas ini bermula dari kesadaran manusia. Dari debat mengenai posisi manusia sebagai pembentuk struktur atau ‘dibentuk’ oleh struktur beradalah, maka refleksi mendasar mengenai ‘kemerdekaan manusia’ untuk memperbaiki struktur yang sudah ada -saat ia lahir dan di tangan dirinyalah- ia mendekat. Untuk tetap dikonstruksi oleh struktur atau mengubahnya.

Strukturalis vs. Mentalis

Di titik inilah berada pertanyaan pokok antara kaum strukturalis dan kaum mentalis.

Yaitu, bagaimana kemerdekaan manusia itu tetap menjadi proses pemerdekaan, saat dirinya berhadapan dengan struktur yang mengungkungnya?

Atau, bagaimana ia tetap merawat menghidupi kemerdekaannya untuk melangsungkan hidup, meski tantangan struktural akan mengikatnya?

Di sini “pemerdekaan” lalu jadi kata kunci aktualisasi manusia dengan kesadarannya.

  • Bila kesadarannya tidur, pemerdekaan atas hambatan realitas tidak terjadi.
  • Bila kesadarannya ‘bisu’, maka ia akan mengiyakan saja kungkungan yang menindasnya.

Jadi kesadaranlah yang bisa pasif dan bisu dengan mengamini terus struktur yang tidak memerdekakannya. Atau bermula dari ‘perubahan kesadaranlah’, maka manusia menapaki proses ‘pemerdekaan’-nya.

Inilah transformasi sebagai proses perubahan kesadaran manusia untuk mentransformasi (baca: mengubahnya menjadi ruang hidup yang lebih merdeka dan lebih nyaman untuk hidup bersama). Dengan kata lain, transformasi oleh kaum mentalis kesadaran ditentukan oleh proses semakin cerah dan cerdasnya kesadaran budi dan kesadaran nurani untuk mengubah struktur masyarakat yang mengkondisikannya.

Itu berarti ‘hanya’ kesadaran yang sudah dicerahkan dan mentalitas nurani yang jernih akan melihat kenyataan hidup atau realitas dengan wawasan baru untuk trasnformasi masyarakat, entah pembangunan ekonomi, politik, sosial maupun kebudayaan.

Proses konsientisasi

Ini berarti, media pendidikan kesadaran atau proses konsientisasi menjadi penting transformasi masyarakat mulai dari orang-orangnya.

Di tangan pendidikan penyadaran dengan literasi: pengaksaraan Paulo Freire ditelitilah secara bahasa bagaimana kesadaran bisu pasif dan mengiyakan kenyataan sepahit apa pun diterima dan dihayati tanpa ‘reserve’.

Di tangan Paulo Freire yang kemudian menuliskannya di buku Pendidikan Kaum Tertindas Sampai Pendidikan Pengharapan, kunci proses pemerdekaan ada pada proses literasi, pengaksaraan yang menamai realitas sebagai kenyataan hidup orang-orangnya.

Selama proses menamai kenyataan dikonstruksi oleh rezim atau orang lain, maka kesadaran orang-orang di situ di bawah otoritas kaum bahasa yang oleh Antonio Gramsci dinamai hegemoni.

Orang-orang ini tidak hanya tidur kesadarannya atau bisu, karena tidak menamai sendiri realitasnya. Namun, kalau pun mau menamai, mereka ini dihegemoni oleh kuasa bahasa yang manipulasi warga tertindas seolah-olah bertindak sebagai subjek.

Namun berkesadaran ‘palsu’ lantaran kesadarannya mengalami manipulasi hegemoni penguasa. Mengapa kesadaran palsu mengendap dan menjadi konstruksi bentukan pada warga tertindas?

Pertama, karena ia mengalami keterasingan atau alienasi dari hasil kerja kreatifnya sendiri dan jerih payah keringatnya sebagai karyawan yang tidak bisa menikmatinya.

Para pekerja bangunan contohnya. Atau apartemen-apartemen bagus, dalam pengamatan kita, di hari akhir pekerjaan raksasanya, mereka berpesta minum teh dan kopi agak khusus; sambil bergembira di ruang-ruang bangunan atau lorong-lorong yang selesai dibangun. Namun apartemen itu tidak pernah menjadi milik mereka.

Ilustrasi – Para pekerja (Ist)

Keterasingan dunia pekerja

‘Pesta’ itu ungkapan ironi yang menandaskan, meski tetes keringat dan kucuran keringat mereka yang telah membangunnya.

  • Namun ‘hasil akhir karya mereka’ bukan menjadi milik mereka.
  • Kerja mereka adalah kerja upahan.
  • Masih lumayan bila UMR, tetapi bukan karya kreatif ‘seniman’ yang menikmati hasil karya dan dihargai dengan hormat sebagai ‘karya seni’.

Inilah keterasingan para pekerja dari hasil karyanya sendiri. Ini pula alienasi mereka dari hasil kerja, mana kala upah kerja tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya.

Lebih lagi, mereka merasa terasing. Karena buah karyanya yang seharusnya menjadi bahasa kehadiran eksistensinya secara budaya, kini telah dimaterialisasikan, diuangkan yang sebagian besar menjadi tuan pemodal yang memberi upah kerja mereka.

  • Inilah wujul pertama alienasi, yaitu ‘meterialisasi’ dari sesuatu yang tidak benda atau bukan benda. Sesuatu yang ‘intangible’ (kepuasan berkarya sebagai proses kreatif) diberikan dalam wujud ‘benda’ atau materialisasi, yaitu uang.
  • Wujud keterasingan kedua lebih mendasar, mana kala manusia subjek bertugas sebagai ‘homo significans’, si pemberi makna atas kerja, karya atau tindakannya tidak diberi ruang kemerdekaan untuk penamaan itu oleh konstruksi budaya (baca: kondisi budaya yang menindasnya sehingga tidak mengembangkannya menjadi dirinya yang otonom).
  • Inilah wajah utama alienasi budaya, yaitu rajutan pemaknaan hidup orang dalam ‘web of significance’ (C. Geertz, misalnya) tidak berada di tangannya.

Dunia makna benar, baik, benar dan suci dikonstruksi oleh ekonomisasi untung rugi dan kalkulasi uang-uang yang mereduksi harga manusia menjadi yang dibayar.

Ketika hak mereka untuk menamai jatuh bersama dengan hak merdeka untuk memilih wakilnya di parlemen demi tata demokrasi dan negara pasti hukum dalam hak politik, ternyata diasingkan. Itu karena lorong pilihan politiknya sudah dikonstruksi oleh partai. Akibatnya, wakil-wakilnya adalah wakil-wakil kepentingan partai dan bukannya wakil suara nuraninya, maka alienasi politik terjadi.

Bagaimana proses transformasi yang mendasarkan pemerdekaan manusia dengan kesadarannya bisa keluar dari alienasi-alienasi tersebut?

Inilah jalan panjang proses pendidikan kesadaran dalam konsientisasi, ketika sudah merasuk dalam kesadaran yang palsu akan dihayati seakan-akan sejati dan hanya semu saja.

Paulo Freire

Pendidikan kesadaran Paulo Freire dengan konsientisasi menunjuk tahap-tahap jalan prosesnya. Dimulai dengan pendidikan sadar mengenai kedudukan manusia di dunia ini.

Berkat kesadarannya, ciri bedanya manusia di dunia ini adalah sadar ia ada di dalam dunia, tetapi juga bersama dengan dunia baik realitas alam maupun sesama (Freire, Cultural Action for Freedom, 1970, hal. 51).

Namun, berkat kesadarannya pula, ia berhubungan dunia secara kritis. Ini ditandai oleh kemampuan ‘refleksi’, yaitu mampu menaruh data-data objektif satu per satu dalam kaitan dengan fakta lain.

Malaikat saja perlu refleksi by Royani Lim

Berada dan menghadapi dunia, berkat kesadarannya, lalu melakukan langkah tindakan baru. Kesadaran kritisnya membuat ia mampu menyadari edaran waktu: sadar hari lalu, jumpai hari ini dan melangkah ke hari esok (Freire, Education for Critical Consciousness, 1973).

Posisi kesadaran kritis ini memberi manusia peran aktif dalam realitas yang membuahkan sejarah. Dalam kondisi alienasi, baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan, kesadaran refleksi kritis manusia ‘tidur’.

Ia tenggelam dalam hari ini yang tidur panjang monoton. Bagaimana kita dibangunkan kesadaran kritis yang tidur ini?

  • Melalui dialog dengan sesama untuk bersama-sama memberi arti, menamai dunia dan mengolahnya.
  • Melalui literasi dalam hal pokoknya adalah pengaksaraan yang menyingkap kesadaran palsu atau tidur itu.

Misalnya dalam penamaan kata BUI, di baliknya kondisi penjara mengkonstruksi manusia sebagai ‘tahanan’ yang tidak merdeka. Dalam aksara UBI, terungkap kondisi makanan dari ketela, sebuah kondisi yang beda dengan makan nasi. Sedang dalam kata IBU, muncul uangkapan ekspresi literasi rahim hidup di balik IBU atau si pelahir dan perawat kehidupan bernama ibu.

Dengan alur logika literasi yaitu konsientisasi dengan mengeja, memberi hidup dan bermaknanya kata kunci, maka ditunjukkanlah tiga wujud kesadaran dari yang masih hidup sampai ke yang aktif kritis yang harus menjadi proses pendidikan kesadaran konsientisasi.

Tahapan

Tahap pertama adalah kesadaran setengah intransitif. Ciri kesadaran ini, manusianya berada dalam kesadaran yang masih tenggelam dalam proses sejarah.

Tahap kedua, kesadaran transitif masih naif bercirikan: orang mulai mengenali soal-soal realitas sosial yang menyederhanakan permasalahan secara bukan main.

Menggampangkan perkara, belum menggunakan kesadaran kritis untuk meneliti sendiri, menganalisis sendiri sehingga lebih suka terima resep jadi. Menarik menganalogikan tahap-tahap ini dengan ekspresi bahasa kalimat transitif adalah kalimat yang sudah punya objek.

Sedangkan kalimat intransitif belum ber-objek.

Tahap ketiga adalah kesadaran transitif kritis. Cirinya, menangkap situasi permasalahan dengan matang, lengkap berbagai dimensi tetapi sekaligus mampu kritis untuk tidak jatuh dalam ‘truism’: benar secara naif diiyakan.

Kesadaran transitif kritsis ini tidak puas menerima pendapat begitu saja, tetapi mau mengkritisi sampai memembus ‘raison d’ être  kenyataan atau pendapat itu.

Menapaki setapak demi setapak tahap-tahap kesadaran dari paparan di atas, maka pendidikan berbasis kesadaran memang merupakan proses sabar konsientisasi dengan essensi atau inti proses mau ‘rendah hati’.

  • Pertama-tama menemukan dahulu apa saja alienasi-alienasi yang menghambat pemerdekaan manusia dari kesadaran naif ke intransitif separuh.
  • Kemudian menapak proses konsientisasi ke kesadaran transitif naif, baru kemudian menuju kesadaran transitif kritis.

Inilah jalan panjang proses transformasi masyarakat berpijak pada pentingnya edukasi kesadaran orang.

Di sini ditaruhlah harapan besar pendidikan di Indonesia pada transformasi kesadaran manusianya dari yang ‘tidur’ pasif, ke yang intransitif main generalisasi menyederhanakan soal secara naif sampai ke kesadaran menemukan masalah dasar bangsa ini dalam kesadaran transitif, namun terus menerus mengujinya dengan kritis.

Ilustrasi: Mendidik anak-anak sejak usia dini agar punya kepedulian kepada orang lain. Inilah yang dipraktikkan di PAUD St. Theresia di Wedi, Klaten, Jateng. (L. Sukamta)

Di sini dirangkum visi futuristik visioner pendidikan menurut Bung Hatta menjadi kata kunci untuk diwujudi laku pendidikan, kurikulum, evaluasi dan tes uji buah-buah pendidikan dalam proses yang Bung Hatta dengan tinta emas merumuskan ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Saat kecerdasan atau intelligence dalam perkembangan ilmu dan sciences semua bidang begitu maju dan dikenal ada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, spiritual, seksual serta kecerdasan budaya (meme), maka tugas pendidikan kesadaran memuat pekerjaan rumah pencerdasan kehidupan bangsa yang bukan main-main.

Kesadaran untuk belajar mengembangkan ilmu pengetahuan hingga mampu menempatkan karya-karya robotik yang ‘mengganti’ tangan-tangan manusia, yang manusia tetap harus ditaruh kritis untuk perkembangan kemajuan adab manusia.

Apalagi menurut Harari Juwal Noah (2017, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow). Ketika kecerdasan manusia dengan budi otaknya sudah diganti lebih canggih, lebih efisien dan menambah tata dunia ‘total’ oleh alogaritma yaitu ‘artificial, mechanical intelligence’ yang merupakan ‘computerized intelligence’, maka si subjek yang menamai atau yang berkisah sebagai narator (the narrating self) dengan pengalaman-pengalaman kesadarannya dalam diri subjek sebagai ‘the experiencing self’ akan menggoncangkan proses pencerdasan manusia (p.303-306).

Ilmu-ilmu kehidupan

Itulah kecangihan ilmu-ilmu kehidupan (life sciences) terutama biologi.

Ketika ilmu-ilmu kehidupan (biologi utamanya) menyimpulkan bahwa organisme-organisme merupakan alogaritma, maka termasuk ‘intelligence’ (kecerdasan) bisa dikomputerisasikan dengan ‘alogaritma’.

Terjadilah perubahan (tidak hanya transformasi) dari revolusi komputer yang awalnya ‘powerly menchanical affair’ menjadi bilogis, di mana otoritas manual ditangan individu manusi bergeser diganti menjadi jejaring alogaritma. Pertanyaan mendasarnya tetaplah di mana manusia cerdas cerah bila ia sudah digeseser kecerdasannya secara mekanik dan komputer dalam alogaritma yang kini sudah ditengah kita dalam wajah-wajah ‘start up’?

Apakah kemajuan ilmu dan teknologi manusia yang membuatnya menjadi ‘super power’ dalam kelompok elit pengguna alogaritma masih berkesadaran ‘etis’ yang menempatkan hasil perkembangan ilmu untuk peradaban?

Padahal pertanyaan dasar ini mengandaikan (adanya asumsi) subjek manusia memiliki nilai dan etikanya untuk hidup ini! Bila itu tidak ada dan pengembangan ‘the life sciences’ merupakan keasyikan ‘homo ludens’ semata-mata eksistensi manusia bermain-main, mencari tahu dan berinovasi demi keasyikan permainan dan pemenuhan ingin tahu dan ilmu itu sendiri semata-mata, maka manusia akan kehilangan nilainya sebagai makhluk berkesadaran penuh.

Apalagi bila kesadaran kritisnya sudah dimekanisasikan oleh ia sendiri. Dengan kata lain, manusia akan kehilangan otoritas (otonomi dirinya) individualnya dan akan diataur oleh algoritma-algoritma di luar dirinya dalam menapaki kehidupannya.

Lalu pendidikan kesadaran macam apakah atau pencerdasan kehidupan yang bagaimana harus dilakukan bila tindakan menamai dunia dengan makna dan literasi pelan dan pasti diganti oleh kecerdasan artifisial, mekanis?

‘Alienasi’ era pasca liberal-kah?

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version