Home BERITA Artikel Pencerah: Kritik itu Seperti Vitamin, Menyehatkan

Artikel Pencerah: Kritik itu Seperti Vitamin, Menyehatkan

0
Ilustrasi: Kekuasaan dan kritik politik by Ist

BANYAK orang setuju dengan ungkapan di atas. Jarang yang menolak pendapat itu. Akal-sehat pun mengatakan demikian.

Kritik itu bermanfaat. Banyak faedahnya. Saya mendukung dan setuju sepenuhnya. Kritik adalah masukan, nasihat, dapat mengubah seseorang mengetahui kekurangannya. Kelemahan dikuak, ruang untuk perbaikan dibuka.

Tapi, tak semudah itu menerapkannya. Sering berbeda jauh antara pendapat normatif dan implementasinya. Orang bisa mudah mengucapkan, tapi sulit berbuat. Termasuk soal kritik. Omong kosong memang gratis. “Talk is cheap”.

Saat menerima kritik, biasanya timbul resistensi, perlawanan dari dalam, pengingkaran fakta. Alhasil, kritik sering tak bikin sehat, justru membuat sakit. Sakit hati.

Itu saya alami beberapa tahun lampau, saat harus memimpin “feedback forum”. Acara yang memberi kesempatan kepada seluruh anggota tim, mengomentari kinerja, perilaku, sikap, praktik, yang berkenaan dengan kepemimpinan saya. Ada sekiranya 70 orang,

Tiga hal disepakati. Pertama, tak membawanya ke ranah personal. Kedua, saya tak menjawab masukan yang disampaikan. Ketiga, tak ada dendam, setajam apa pun masukan itu.

Dalam hati saya berdoa: Puji Tuhan, saya kuat memenuhi kesepakatan itu.

Termin pertama berlangsung 15 menit, diperpanjang sampai 25 menit. Tak ada satu pun peserta yang mengangkat tangannya. Acara nyaris gagal.

Bisa dipahami, ini sesuatu yang belum lazim. Timbul ewuh-pakewuh kepada atasan, orang yang lebih tua atau mungkin takut tak “selamat”. Melontarkan kritik kepada atasan adalah tabu. Sebaiknya tak dilakukan.

Terpaksa, cara diganti dengan gaya setengah memaksa. Dibagikan lotere, dengan tiga yang bertulisan “harus memberi masukan”.

Mulai terlihat hasilnya. Tiga peserta (terpaksa) bicara. Dua yang pertama masih gamang, suaranya datar saja. Yang ketiga mulai berani. Nadanya lebih gandang. Sesuai janji, saya hanya mencatat, tak menjawab dan terus berharap agar kuat mendengar semua itu.

Tahap pertama usai, kemudian, orang keempat, kelima, keenam sampai kedelapan mulai mengangkat tangannya.

Nadanya mulai tegas. Isinya menusuk persis ke ulu hati.

Posisi duduk mulai goyah. Di akhir acara, tercatat 15 peserta “berani” tampil. Satu-dua memberi pujian, sisanya sebaliknya. Waktu habis, “saved by the bell”.

Acara yang bagai madu dan racun berakhir sudah.

Sepanjang acara, enam kali saya melirik jarum jam. Duduk serasa di atas bara. Kuping merona, banyak darah mengalir ke kepala. Dan yang paling terkesan, sepanjang waktu terus ndremimil berdoa, agar mampu mengelola hati supaya tekanan darah tak naik ke ubun-ubun.

Silakan bilang kritik itu sehat. Rasio saya setuju.

Tapi yang saya alami, tidak. Kritik baru sehat bila beberapa persyaratan dipenuhi. Meleset sedikit, malah membuat sakit.

Saya tak siap mendengarnya dan “hukuman” ini pantas diterima.

Kritik memang benar menyehatkan, apabila orang siap untuk menerimanya. Cara mengkritik sering dijadikan alasan untuk menolaknya.

“Cara” sangat menentukan apakah kritik itu gula yang manis atau asam yang kecut.

Katanya, kritik itu sehat. Tapi orang lebih senang dan gampang mengeluarkan kritik daripada menerimanya.

Tukang kritik sepedas apa pun, bila ganti dikritik, biasanya juga ikut-ikutan berang.

Ingat, kritik itu seperti vitamin yang menyehatkan. Jadi, si pengkritik harus siap gantian menerima kritik.

Kalau tak siap, dia bukan memberi vitamin, tapi sekedar menyerang orang yang tak disukainya.

Istilah sekarang yang sering digunakan adalah “pembunuhan karakter”. Kejam bukan?.

Mengapa kritik sering ditangkis dengan vulgar dan serta-merta?.

Pertama, karena adanya defense mechanism yang berlebihan. Sudah galibnya bahwa manusia cenderung mencintai dirinya dan tak mau diusik kenyamanannya. Tak rela dinyatakan bersalah. Lantas dengan spontan melemparkan ini ke orang lain.

Orang mudah terjebak blame trap, atau “jebakan menyalahkan orang lain”. Menolak kritik, bahkan dengan emosional, membuat perasaan seolah-olah lega dan bebas dari tanggung jawab.

Padahal, itu semu.

If other people are responsible for the bad things that happen in life then the individual can avoid feelings of culpability”. (alcoholrehab.com)

Kedua, menolak kritik bisa seakan dirinya benar, aman dan hebat. Itu perasaan semu belaka.

Ironis, sikap ini makin kental dimiliki orang yang semakin tua, pintar, kaya, terkenal atau tinggi posisinya. Di masa kini, mereka yang menguasai media juga mudah terjebak dalam perasaan ini.

Ketiga, menolak kritik identik dengan mengutamakan kepentingan diri. Ini sama dengan egosentris. Sering subjektif dan irasional.

Zaman egaliter dan demokratis seperti sekarang, orang bisa mengkritik satu sama lain. Tak hanya kalangan bawah yang menjadi sasaran. Pejabat malah sering jadi bulan-bulanan, oleh siapa saja.

Sering kritik menjadi tameng suatu agenda lain yang tersembunyi. Kritik menjadi pedang bermata banyak. Kritik begitu mudah menjadi cerca atau hina. Meski tetap saja, konon, kritik itu seperti vitamin, menyehatkan.

Untung, saya punya sahabat muda. Saya memanggilnya Uda Ustad Shauqi. Dia paham ilmu agama dan sering memberi rujukan bila saya menghadapi masalah yang cukup pelik.

Kali ini,dia mengirim resep bagaimana cara menyampaikan kritik kepada atasan atau pejabat. Bahkan, konon, berlaku juga kepada siapa saja. Nasihatnya saya nilai ces pleng.

(Mungkin, pengasuh talkshow di salah satu stasiun TV yang saat ini sedang “viral”, bisa mengambil manfaat dari sini.)

Simak nasihatnya:

“Barang siapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya.

Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.”

@pmsusbandono
7 Oktober 2020

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version