Home BERITA Artikel Pencerah: Pemuridan

Artikel Pencerah: Pemuridan

0
Ilustrasi: Mengajar anak-anak Papua di pedalaman Sagare Keuskupan Agats. Lokasi stasi ini ditempuh selama hampir tujuh jam perjalanan dengan naik speedboat dari pusat kota Asmat. (Mathias Hariyadi)

BILL Hull menulis buku Jesus Christ, Disciplemaker (2004). Atau kata kuncinya yaitu pemuridan.

Inilah proses menjadi murid Yesus. Yang butuh mengenal-Nya dengan menembus mata indra, menuju mata budi berefleksi. Namun menetap di mata hati yang mengolah pengalaman-pengalaman jumpa dengan Tuhan melalui kehadiranNya.

Kadang mengejutkan, kadang mendidik. Namun dalam jalur proses pemuridan pada sang guru kehidupan dengan menapaki jalan hidup pemuridan.

Menjadi murid adalah pengalaman kita semua. Ada yang mulai PAUD atau TK, SD, SLTP, SMU, dan seterusnya.

Namun pemuridan di ‘sekolah’ ini lebih menekankan pemahaman kognitif mengenai sesuatu, mengetahui tentang sesuatu.

Untunglah berkat evaluasi para guru dan pendidik, akhirnya dengan bongkar pasang kurikulum, dicobalah proses yang oleh Bung Hatta sejak awal merdeka untuk bangsa ini, ia visikan sebagai ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Inilah warisan dahsyat bermakna. Lantaran arah pemuridannya itu menjadi cerdas (tidak cukup hanya pintar) dalam menghayati kehidupan. Namun berbuah dalam hidup ini dengan proses menjadi murid di tahap-tahap Pendidikan. Mengalami, menanam apa yang berharga dalam hidup ini.

***

Pepatah, peribahasa mengenai kebijaksanaan hidup sampai berkarakter cerdas memilih dan memilah, dikombinasi dengan kepekaan mengasah nurani hingga kehidupan menjadi warga bangsa diberi kontribusi olehnya.

Tak hanya itu. Kehidupan membangsa yang majemuk identitas suku, keunikan kepribadian Nusantara dengan local genius dan life wisdom dalam ranah apa yang indah, suci, baik dan benar dalam kebudayaan (baca: sistem makna yang dipakai untuk acuan hidup warga dan yang diungkapkan melalui sistem simbol), proses pencerdasannya terus menapak maju menjadi peradaban.

Ilustrasi: Suster ADM mengajar di kelas. (ist)

Peradaban adalah humanisasi kebudayaan. Kebudayaan, makna sederhananya yang setiap warga bangsa, mulai dari tukang sayur, simbok-simbok di pasar, sampai profesi lebih tinggi adalah sama penghayatannya. Yaitu laku tindak sehari-hari yang diberi makna. Keseharian manusia yang diberi arti dalam hidupnya. Itulah kebudayaan.

Di sini pemuridan lalu berarti sikap terbuka, rendah hati mau belajar menghayati kehidupan harian untuk diberi arti baginya, plus sesamanya.  

Dari mana makna atau arti hidup ‘diangsu’, ditimba?

Dari religiusitas religi-religi, dari ajaran kebijaksanaan hidup, dari contoh teladan gigih cucuran keringat ibu-ibu menggendong bejana tanah liat atau sayur mayur, yang dibawa ke pasar untuk biaya sekolah anak-anaknya. 

Itulah pemuridan, belajar manusiawi, lari dan bagi perhatian, mudah prihatin dan peduli akan duka derita kemiskinan sesama untuk cerdas mencipta struktur, laku tindak yang membuat sesamanya yang menderita lebih diorangkan, lebih dihormati harkatnya, lebih digandeng bersama di jalan proses humanisasi semakin berharkatnya manusia, yang dalam refleksi religius. Ia adalah citra Allah, khalifatullah Allah.

Pemuridan belajar menjadi murid dalam humanisasi kebudayaan itulah peradaban: hidupnya orang-orang dalam share ‘keadaban manusia-manusia bermartabat’.

***

Dari Nusantara yang bhinneka pemuridan-pemuridan mengenai nilai kehidupan dalam tari, ajaran kebijaksanaan, teks-teks lontar tradisi yang memuat serasi dengan alam semesta, yang harus dipelihara kalau mau terus hidup.

Bhinneka ‘sekolahan-sekolahan kehidupan’ yang saat kita kecil dahulu, di lingkungan katolik diajarkan semisal pemuridan menjadi katolik purna dalam stage of life melalui 7 sakramen perayaan hidup dan bekal untuk pentahapan hidup.

Pemuridan TK dan SD dalam sekolah iman, mulai sakramen inisiasi menjadi Katolik dalam Sakramen Pembabtisan. ‘Hidup lama’ atau lahir bayi baru, dianugerahi nama santo atau santa pelindung untuk seumur hidup menemani ‘nama’ yang disematkan orangtua atau keluarga.

Penerimaan Sakramen Penguatan atau Krisma adalah pemuridan tahap sekolah SMA dan yang dewasa untuk berkah Krisma penguatan agar beriman teguh dan menjadi dewasa sebagai murid Tuhan.

Menarik dicatat, dalam Sakramen Krisma ini, seorang katekis memberi contoh kisah panggilan awal murid-murid Yesus dari Injil Yohanes, manakala Natanael, karena ‘diajak’ kawannya, yang saudaranya yaitu Filipus, lalu karena disapa pribadi oleh Yesus, ia lalu ikut menjadi muridNya (Yoh 1: 45 dan seterusnya).

Padahal ia awalnya sangsi, apakah dari Nazareth akan muncul yang baik?

***

Pemuridan Natanael menarik karena Yesus mengatakan, sebelum ia bertemu Yesus, ia sudah dilihat Yesus duduk di bawah pohon ara. Ini menyapa sekali untuk Natanael, apalagi saat Yesus menegaskan karakter si calon murid ini: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya” (Yoh 1: 47).

Namun, cara didik Yesus sebagai guru untuk pemuridan calon-calon murid-Nya yang awal ini, tidak menggurui. Bahkan saat mereka bertanya, dimanakah guru tinggal?

Jawab Yesus, “Marilah dan kamu akan melihatnya” (ay. 39). Ini cara bertanya guru dan berjawab yang menghantar murid masuk ke rumah dan tinggal kerasan bersama guru, sampai Yohanes mencatat waktu proses pemuridan itu: “Hari itu, mereka tinggal bersama dengan Dia, dan waktu itu kira-kira pukul empat” (ay. 39). Murid-murid itu kerasan tinggal dengan guru mereka di awal perkenalan karena keterbukaan, welcoming yang tulus dari sang guru.

***

Nilai (sebagai yang berharga dalam hidup ini) mana yang menjadi daya tarik murid-murid pertama ini untuk berguru?

Pasti sapa pribadi manusiawi ke masing-masing, lalu ajakan mari datanglah ke rumah dan lihatlah.

Di sini seketika saya teringat sapa pemuridan Yesus untuk seorang Zakheus, yang menyandang dua keterbatasan manusiawi: fisiknya yang pendek, karena itu ia kreatif mau naik pohon untuk melihat orang macam apa Yesus itu.

Yang kedua, ia memikul beban berat sosial, dicap pendosa karena tukang tarik pajak, antek asing penjajah lagi, yaitu agen Roma.

***

Namun pertanyaan pemuridan pada Zakheus ini: mengapa Yesus tidak melakukan proses tobat pemuridan Zakheus di pasar? Mengapa di rumah Zakheus?

Rumah adalah tempat nyaman tanpa gincu, tanpa topeng, manusia tinggal di sana. Sementara pasar adalah tempat anonim, nobody, ruang sapa menyapa formal, “selamat pagi, belanja ya?”

Ilusrasi Mgr. Julius Mencuccini didampingi seorang Pomang pada penyambutan tamu agung para Uskup dan tamu undangan lainnya.

Rumah, bila Anda bertamu dan yang punya rumah masih berpakaian kurang pas untuk menerima tamu, apalagi kalau yang bertamu romo pastor, maka mereka dengan santai, enak akan menyilahkan duduk dahulu, lalu mereka ganti pakaian.

Rumah adalah ruang manusiawi kita apa adanya, tanpa topeng dan tidak pura-pura. Karena itu menjadi dahsyat, Yesus masuk bertamu ke rumah Zakheus dan mengubah Zakheus menjadi manusia baru dengan janji tobat dan tindak nyata akan memberi ke orang yang miskin.

Pemuridan di rumah ini mengingatkan kita pada doa-doa komuni: menerima tubuh Tuhan dalam rupa hosti dan saat jamuan paska Ekaristi bersama pemecahan roti dan piala darah kehidupan yang dianugerahkan untuk keselamatan manusia.

Maka ada kidung menyentuh yang dinyanyikan saat komuni, untuk mohon menjadikan hati kita menjadi ‘istana yang pantas bagi tubuh dan darah Tuhan’.

Karena itu, dikidungkan mohon sebelum Tuhan hadir terlebih dahulu, sudi mengampuni dosa, mengampuni kelemahan-kelemahan agar pantas menerima kasih Tuhan. Dan bila Tuhan semayam di hati yang sudah didiami kasihNya, maka doa permohonannya adalah menjadi pewarta kasih Tuhan.

***

Ada model pemuridan dalam tafsiran ‘memilih dari 12 kepada 3 rasul’, yang selalu diajak masuk ke ‘lingkaran dalam’ (ini bahasa politis) Yesus sebagai guru.

Lihatlah, mereka dikuatkan mengalami peristiwa Tabor, yang jadi ‘bekal tahan uji’ menapaki jalan salib guru mereka, meskipun di Taman Getsemani, mereka tertidur justru saat Yesus sedang pucuk ‘doa’ pengutusan, meminum piala tugas berat dari Bapa-Nya.

Lihatlah pula, bagaimana mereka dididik, utamanya saat murid-murid ‘berkelahi’, karena ibu Yohanes dan Yakobus meminta Yesus posisi kursi ‘kanan’ dan ‘kiri’, yang penting untuk ‘kerajaan bayangan mereka’.

Jawaban pemuridan Yesus: “Yang mau menjadi terbesar adalah yang mau rela melayani dan bukan didorong hasrat ambisi will to power (bahasa kini) tetapi will to serve.”

Pemuridan yang untuk saya mengesankan dalam renung saya adalah akhir Injil Yohanes, saat persaingan antara Yohanes Rasul, penulis Injil dan Petrus di saat-saat akhir.

Petrus mau tahu, nanti Yohanes akan dapat ‘perutusan khusus apa dari Yesus’?

Jawaban Yesus telak menegaskan: “Soal masa depan Yohanes, kau Petrus, tak usah campur tangan, entah ia akan hidup sampai nanti, itu ‘wilayah guru’. Tapi kau, Petrus, lakukanlah dan kerjakan serta ikutilah aku dan laksanakan pesanku dan perintahku”, kira-kira begitulah bila dibahasakan enak. (Yoh 21: 20-23).

“Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (Yoh 21: 22).

Namun menarik dicatat, tiga rasul pokok ini: Petrus, Yohanes dan Yakobus, semuanya meminum piala kemartiran demi Sang Guru (lihat tradisi Gereja Purba dan kisah para rasul serta riwayat orang-orang kudus para rasul).

Sejenak tertulis beberapa renung mengenai pemuridan Yesus Sang Guru, masih banyak yang nanti bisa ditulis, namun pertanyaan untuk kita, cara pemuridan seperti apakah yang menjadikan kita kini murid-murid-Nya yang berikhitiar tahan uji dalam beriman seperti hari dalam laku hidup dan tindakan?

Doa:

“Mahaguru Engkau ya Tuhan,

dalam pemuridanmu,

ajarilah kami untuk membaca dengan mata iman,

dalam buah-buah kebaikan yang saling dibagikan iklas pada sesama yang membutuhkan,

membaca dengan mata iman: buah-buah kebenaran dalam teladan laku tindak yang jujur,

menolak korupsi dan laku hidup yang diikhtiarkan untuk setia menuruti nurani,

dan menyadarinya bahwa hal ini adalah proses pemuridanmu yang tidak mudah.

Amin.”

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version