KETIKA saya mengirim ke portal berita Katolik www.sesawi.net, sketsa Agustus dengan gambar pohon meranggas berbuah 17. Di sana saya tulis, meski meranggas semoga ada harapan tetap berbuah 17 di bulan Agustus, ada dua pertanyaan yang saya terima.
Pertama, mengapa buah 17, kok hanya 17? Yang kedua, pesan mimesis apakah yang ada di baliknya?
Untuk yang pertama, saya langsung memastikan bahwa yang bertanya, berasal dari mereka yang jarang bergaul dengan simbol angka sejarah kemerdekaan Proklamasi RI tanggal 17 agustus 1945.
Saya menjelaskan, “pohon meranggas adalah situasi prihatin perayaan peringatan proklamasi di tengah pandemi covid-19 ini, sehingga kering harapan dan pucat pasi merdekanya. Bamun masih ada harapan doa dan tumbuh suburnya solidaritas kepedulian yang membuat buah-buah Agustus 17 simbolik ini mewujud dalam spirit perayaan.
Meski bermasker dan berprotokol kesehatan, tetap membuahkan apa yang dalam kalimat Latin berbunyi meminische iuvavit: menolong memulihkan kembali ingatan (harapan).”
Untuk pertanyaan kedua, terutama mimesis pesan apa yang akan disampaikan? Sebagian baru saja saya tuliskan, namun urai berikutnya justru menjadi isi tulisan ini.
Ketika bulan Agustus mulai menapak, sudah muncul berbagai kegiatan memproses bangunnya kesadaran dari lupa-lupa peristiwa penting di Agustus ini. Semua perayaan 75 tahun direncanakan akan besar dan agung untuk mimesis lahirnya Indonesia.
Ini merupakan hasil perjuangan banyak pihak dan bukan kelompok tertentu saja, tetapi dari keberagaman taman warna-warni yang mau dirayakan melalui retrospeksi mimesis kebersamaan dalam keberagaman dari Nusantara ini. Persis seperti proses tenunan, rajutan warna-warni kain songket tenun yang dikerjakan para ibu dengan keringat dan darah.
Meski begitu, sudah sejak Presiden Jokowi, perayaan 17 Agustus-an selalu ditampilkan oleh presiden dan para menteri, serta undangan-undangan dan rakyat untuk berpakaian menurut identitas baju suku lokalnya masing-masing yang bhinneka. Hingga tampil ika, bersatu dalam kebhinnekaan di saat upacara peringatan maupun presiden sendiri saat sidang DPR, secara khusus berbaju.
Tahun lalu, berbaju model busana Klungkung Bali dan tahun ini berbusana model Timor Tengah Selatan: sawu.
- Warna merah: simbol keberanian.
- Ikat kepala (pilu) raja melindungi yang disimbolkan dengan dua tanduk kecil.
- Tas sirih pinang dan kapur yang diselendangkan, melambangkan ‘makan sirih pinang persatuan, saling hormat dengan tas yang dibawa kemana-mana mewartakan saling hormat temu saudara’.
- Kain kaif merah nunkolo yang tengah berbatang, berarti sumber air dan pinggiran bergerigi ekspresi wilayah berbukit dan berkelok NTT.
Bulan Agustus dirayakan melalui tampilan pakaian-pakaian adat khas Nusantara untuk Indonesia. Di sini sebenarnya yang mau dibangkitkan dan dihidupi, saya maknai sebagai berikut: “yang paling indah dari Nusa Tenggara Timur, khususnya Timor Tengah Selatan, disumbangkan bahkan diberikan untuk Indonesia”.
Saya melanjutkan mimesis ini, “bahwa ke-Indonesia-an hanya akan terus hidup dan sejahtera, adil, maju, bila yang tersuci, paling benar, dan paling baik serta paling indah dari keJawaan, ke-Bali-an, dari NTT, Aceh, Minang, Batak disumbangkan untuk Indonesia”.
Merajut Indonesia adalah proses menenun dari ke-bhinneka-an agama, ke-Islam-an, ke-Kristen-an, agama bumi, kearifan-kearifan lokal, ke-Hindu-an, ke-Budha-an, ke-Tionghoa-an yang dirajut, diberikan yang terbaiknya demi rajutan menjadi Indonesia yang secara bhinneka identitas lokal, religi. Saat mencari format politiknya oleh pendiri bangsa yang cerdas, dikonstruksi dalam sistem demokrasi.
Bahaya keragaman demokrasi yaitu anarki. Oleh pendiri bangsa, hal itu sudah langsung didampingi format hukum negara konstitusi, yang dengan kepastian hukum konstitusi sebagai acuan bernegara demokratis.
Mengingat kembali adalah proses berjalan setapak demi setapak ke sebagian situs sejarah menjelang proklamasi.
Ada situs gedung penulisan naskah proklamasi di Jl. Imam Bonjol Jakarta Pusat. Tentang detilnya, Anda bisa buka Google.
Yang mau kita garis bawahi adalah rumusan proklamasi ringkas, dan padat. Menjadi demikian ini, karena waktu itu kita masih dalam bayang-bayang Jepang. Mereka sudah menyerah, namun masih dalam suasana transisi ke Sekutu dan menunggu.
Di sinilah rahmat Tuhan Yang Maha Esa benar merupakan dasar dan sumber spiritual dari berkah Tuhan, karena di celah masa transisi itulah, para pendiri bangsa ‘berani’ menyiapkan, menuliskan naskah proklamasi yang merupakan kombinasi antara yang mendiktekan, memikirkan naskah dari Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta, proklamator.
Saat siapa menandatangani, yang muda-muda kelompok Sukarni cs meminta diwakilkan ke Soekarno dan Hatta sebagai ‘wakil’ bangsa Indonesia. Soal diskusi intern yang menarik antara yang muda-muda versus yang tua, sehingga terjadi Peristiwa Rengasdengklok, silahkan baca buku Bung Hatta yaitu Sekitar Proklamasi.
Versi lain untuk memperkaya, baca pula buku Akmad Soebardjo. Masih banyak sudut tafsir peristiwa proklamasi yang ditulis. Semua itu, bagi saya, merupakan kekayaan sudut pandang tafsir peristiwa bersejarah dalam hermeneutika yang memperkaya penulisan teks dalam konteks-konteks situasi nyata historisnya. Demi satu tujuan cinta negeri yang sudah diperjuangkan dengan keringat, darah dan pikiran serta dengan diplomasi dan perjuangan bersenjata yang saling memperkaya pemahaman peristiwa.
Karena itu pulalah, Agustus mesti diheningi dengan kidung Indonesia Raya tia stanza, yang intinya dengan lagu kebangsaan ini, W.R. Soepratman mau mengajak bangsa ini untuk saling menjadi pandu buat pertiwi, pandu ibuku dengan tetap merawat pulau-pulaunya, tanah dan airnya, bahasa persatuannya dalam semangat dan tekad terus bangkit, bangun jiwanya dan bangun raganya untuk Indonesia Raya.
Di celah ode, nyanyi suci ini, ‘meminisce’ pengingatan kembali, mengajak saya menuliskan janji atau sumpah Bung Hatta (nama dari kakeknya untuk si Bung ini adalah Atta) yaitu beliau (Bung Hatta) berikhrar suci, “belum akan menikah, sebelum Indonesia merdeka”.
Janji ikrar sungguh Hatta jalani sampai Indonesia merdeka, lalu beliau menikah. Yang menyentuh hati, pak comblangnya adalah Bung Karno sendiri.
Sumpah penuh nilai buat pertiwi sebagai tugas jadi pandu pendidik yang menuliskan kalimat esensi “mencerdaskan kehidupan bangsa” ini, sedang direncanakan untuk dibuat film. Ini demi generasi-generasi muda selanjutnya yang oleh keluarga Bung Hatta bersama Invasi Picture diberi judul Janji Hatta: Unbreakable Commitment of Life and Love.
Sebuah janji pada hidup total mengabdi Indonesia jadi bapak bangsa dan janji cintanya.
Dwi Tunggal itu saya maknai kombinasi peran pokoknya yang saling melengkapi antara nation building dengan edukasi gerakan rakyat Bung Karno melalui orasi. Dan dikombinasi lengkap oleh peran mengatur dengan pemikiran, strategi organisasi dan visi pencerdasan bangsa dari Bung Hatta dalam detil teliti, tepat waktu dan dingin berpikir merancang dan mengeksekusi.
Saya merasa bahagia, secara kebetulan oleh Tuhan diberi tanggal lahir yang sama dengan Bung Hatta yaitu 12 Agustus. Sama-sama berbintang Leo (terserah pada tafsir bintang, he.he).
Namun, dahulu saya punya kebiasaan untuk ‘nyekar’, berdoa di makam Bung Hatta di Tanah Kusir, di hari 12 Agustus itu. Saat itu pula, pada salah satu hari di bulan Agustus, tertuang puisi berjudul Doa di tahun 2006.
Doa
andai kata serangkai ini dimaknai arti andai ucap sederet ini dihidupi andai diam hening ini diseberangkan perlahan menuju samadhi doa-mu jadi nafas sehari-hari lakumu jadi sentuh sapa terpilih dalam NYA, dari NYA, atas NYA. 1 Agustus 2006
Doa di atas saya rasakan setiap kali menatap upacara bendera sang saka Merah Putih dalam pengibarannya di Istana Negara, maupun di seluruh Indonesia.
Justru dengan pandemi covid-19 ini, semua ‘mengibarkan’ Merah Putih di hati rumah masing-masing, melalui online dan komunikasi jarak jauh yang melintasi temu-temu fisik, malahan mempertemukan di ranah yang batin yaitu ‘hati’ setiap warga negara.
Itu karena Tuhan hadir di rumah-rumah penghuni Nusantara ini dan syukur atas kemerdekaan, meskipun berwajah pasi (pucat) karena situasi sulit berat covid-19 ini.
Namun toh menggerakkan solidaritas peduli ke sesama yang terdampak, apalagi wujud dedikasi dokter, tenaga medis yang sudah 78 orang dokter RIP untuk jadi pandu sehat pertiwi.
Yang muda relawan, yang tulus peduli menolong dalam setia kawan untuk bersama-sama bisa mengatasi situasi berat ekonomi dan kesehatan, namun melihat dan merasakan solidaritas modal bangsa peduli kasih sesama ini, membuat kita tetap bersyukur atas negeri yang bernama Indonesia.
Jalan peduli kemanusiaan punya musuh nyata, yaitu jalan pemakaian politik untuk sukar bersyukur dan malahan terus ke arah arus benci dan death culture.
Namun, dalam ujian-ujian perjalanan membangsa yang 75 tahun merdeka, yang dilandasi proklamasinya oleh dan atas nama berkat Tuhan Yang Maha Esa.
Aemogalah nyanyi harapan di situasi sulit mampu mengalahkan suara-suara sumbang. Prinsip memilih antara optimis versus pesimis, kidung syukur Agustus mengajak memilih ‘realisme’.
Artinya, laku hidup riil dalam situasi sulit ini dengan bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya, saling peduli.
Untuk memberikan apa yang dimiliki, meski hanya semangat, melainkan laku tindak sebagai pandu-pandu ibu Indonesia: ibu pertiwi untuk realis menapaki jalan sulit dan tidak mudah ini.
Artikel yg menyentuh hati untuk mampu mendengarNya untuk selanjutnya mewartakanNya bagi siapapun yg bernama umatNya.
Salut dan tabik sobatku. Romo Mudji.