KETIKA tahun lalu, 24 Maret 2019, Italia menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) dengan Tiongkok berkait dengan Inisiatif Jalan dan Sabuk (Belt and Road Initiative– BRI), banyak pihak—termasuk sesama negara Uni Eropa dan bahkan rakyat Italia—kurang mendukungnya.
Italia menjadi negara pertama dari G-7 yang menandatangani kerja sama dengan Tiongkok berkait dengan BRI tersebut.
Penandatanganan MOU tersebut seakan menghidupkan kembali cerita lama: cerita tentang perjalanan dan petualangan Marco Polo.
Adalah Marco Polo yang dikenal sebagai pedagang dari Italia (lahir di Venesia), penjelajah, dan penulis yang pernah pergi sampai ke Tiongkok yang waktu itu di bawah Dinasti Yuan, menyusuri Jalan Sutera antara 1271 dan 1295.
Kisah perjalanan Marco Polo dibukukan dengan judul Perjalanan Marco Polo.
Menurut Mercy A Kuo, sekurang-kurangnya ada tiga alasan, mengapa Italia mendukung BRI.
- Pertama, untuk mendapatkan kembali landasan yang hilang dalam hubungan perdagangan dengan China.
- Kedua, adanya niat dari Tiongkok untuk investasi di Italia, di saat perusahaan-perusahaan dan pemerintah Italia membutuhkan suntikan modal.
- Ketiga, alasan yang lebih berorientasi politik. Pemerintah Italia terinspirasi oleh sentimen anti-kemapanan dan Uni Eropa diidentifikasi memiliki tatanan tradisional (The Diplomat, 24/4/2019).
Sebenarnya, Italia mengikuti jalan Jerman dan Perancis yang lebih dahulu menjalin hubungan bisnis dengan Tiongkok. Yang lebih mendasar, pendorong utama Italia menandatangani MOU BRI adalah “alasan komersial” dan “keuntungan ekonomi.”
Akan tetapi, hampir setahun setelah penandatanganan MOU tersebut impian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan hubungan perdagangan dengan China, belum menjadi kenyataan.
Bahkan, hubungan Roma dan Beijing berisiko memburuk. Apalagi, defisit perdanganannya dengan Tiongkok juga makin melebar.
Menurut data yang dikeluarkan Januari lalu, ada ketidak-imbangan dalam hubungan dagang dengan Tiongkok: defisit perdangangan dengan Tiongkok tercatat 18,7 miliar Euro atau 20 miliar dollar AS (Bloomberg).
Investasi kecewa, Italia telah mengeraskan pendiriannya pada catatan hak asasi manusia Tiongko dan membatasi akses Huawei Technologies Co. ke jaringan data.
Kebijakan Italia untuk mempertimbangan untuk melarang Huawei Technologies Co. Dan pemasok-pemasok peralatan-peralatan teknologi jaringan mobile 5G, didasarkan rekomendasi dari komite keamanan dan intelijen parlemen Italia. Tentu, kebijakan itu mengecewakan Beijing.
Ketika wabah virus corona merebak, muncul kebijakan baru dari Italia. Mereka menghentikan penerbangan ke dan dari Tiongkok, Hong Kong, serta Macau, mulai 31 Januari 2020. Langkah tersebut diambil untuk mencegah meluaskan serangan virus corona.
Italia menjadi negara pertama di Eropa yang melakukan penghentikan penerbangan itu. Beijing meminta agar Roma “menahan diri untuk tidak melaksanakan keputusan tersebut.”
Italia memiliki pengalaman pait berkait dengan penyebaran virus dari Tiongkok. Sekurang-kurangnya, menurut catatan sejarah, Italia empat kali (termasuk sekarang ini dengan Covid-19) dihantam gelombang serangan virus dari Tiongkok.
- Gelombang serangan pertama terjadi pada abad ke-6 di zaman Justinianus I (Flavius Justinianus), menjadi Kaisar Byzantium (527-565).
- Serangan gelombang kedua-– Black Death–terjadi pada abad ke-14. Black Death atau yang dalam bahasa Italia disebut La Pestilenza.
- Gelombang serangan ketiga terjadi pada abad ke-19. Wabah penyakit yang menyerang daratan Eropa—berasal dari Propinsi Yunan China (1894).
- Sekarang, pandemi Covid-19 adalah gelombang serangan keempat ke Eropa, juga lewat Italia dan menjadi negeri yang terparah di seluruh daratan Eropa.
“Kemenangan” China
Akan tetapi, merebaknya wabah Covid-19 telah mendorong pemerintah Roma mengambil kebijakan baru dalam hubungan dengan Tiongkok. Serangan Covid-19 terhadap Italia demikian cepat dan dahsyat.
Pada tanggal 20 Maret 2020, Covid-19 telah menewaskan lebih dari 3.400 orang, lebih banyak dari jumlah korban tewas di Tiongkok, tempat pandemi itu mulai meledak pada akhir 2019.
Kantor berita BBC hari Jumat (27/3) memberitakan, 969 orang meninggal pada hari itu saja. Dengan tambahan itu, jumlah orang yang meninggal sudah mencapai 9.134 orang.
Sebagai negara anggota Uni Eropa dan juga NATO, pada awal Maret Italia meminta bantuan negara-negara anggota Uni Eropa lewat Mekanisme Perlindungan Sipil Uni Eropa. Akan tetapi, tidak ada satu pun negara Uni Eropa yang menanggapan permintaan bantuan itu.
Apalagi, Perancis dan Jerman, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor masker. AS pun sebagai sekutunya, tidak mengulurkan tangan. Memang, negara-negara Eropa lainnya juga mulai diserang Covid-19. Ketika itu, banyak orang Italia merasa dihina oleh Uni Eropa.
Pemerintah Italia meratap bahwa “tak satupun negara Uni Eropa” yang “memberikan tanggapan permohonan bantuan alat-alat kesehatan.”
Ironisnya, justru Tiongkok yang segera tanggap akan “teriakan” dan ratapan Italia tersebut dan segera mengulurkan tangan.
Menurut berita yang tersiar, Beijing mengirimkan 30 ton alat-alat kebutuhan medis ke Roma dan dokter ahli.
Menlu Italia Luigi Di Maio lantas memposting video kedatangan pesawat yang mengangkut bantuan dari China itu di laman Facebook-nya.
Secara tidak langsung, postingan tersebut, semacam pengumuman kemenangan diplomasi publik Tiongkok, yang segera tanggap teriakan Italia yang membutuhkan bantuan.
Postingan tersebut bagaikan arak-arakan pasukan Romawi yang masuk ke kota Roma lengkap dengan jarahan dan tentara musuh yang diikat, setelah mereka berhasil memenangi peperangan, pada zaman dulu.
Tiongkok—yang lebih dahulu didera Covid-19 dan berhasil mengatasinya– telah tampil sebagai penyelamat Italia; sementara negara-negara Eropa masih ragu-ragu mengambil tindakan. Tidak bisa dihindari, tidak bisa dicegah, kalau kemudian muncul narasi: Uni Eropa meninggalkan Italia dan Tiongkok datang sebagai penyelamat.
Tanda bahaya
Ini adalah pertanda tidak baik dari solidaritas Uni Eropa, memang negara lain juga tak luput dari serangan Covid-19. Tetapi, Tiongkok masuk, ketika sesama negara anggota Uni Eropa telah gagal memberikan bantuan medis. Dan, Tiongkok mengisi kekosongan itu.
Bukan kali ini saja, Italia merasakan “kurangnya solidaritas” sesama negara anggota Uni Eropa. Selama krisis pengungsi 2015, sekitar 1,7 juta orang tiba di wilayah Uni Eropa sebagian besar di Italia dan Yunani (Jerman dan Swedia sebagai tujuan paling umum).
Tetapi, pada 2017 beberapa negara anggota Uni Eropa masih menolak untuk menerimanya di bawah skema solidaritas. Padahal, krisis Covid-19 ini adalah ancaman global. Karena itu, sebenarnya Eropa membutuhkan respon Eropa, hanya saja hal itu tidak terjadi.
Tentu, keegoisan Eropa secara moral pantas disesalkan. Sikap tersebut adalah tidak bijaksana. Sebab, seperti manusia, sebuah negara yang tengah dilanda duka pun membutuhkan kawan.
Kehancuran Italia, pasti akan berpengaruh terhadap negara-negara Eropa lainnya. Tidak mungkin, hanya Italia saja yang hancur. Akan tetapi, ketika Italia meratap dan berteriak mintak pertolongan, negara-negara lain memberikan tanggapan dingin.
Pertanyaannya adalah bagaimana kalau terjadi krisis yang lebih parah dibanding krisis karena Covid-19 yang sekarang mendera Eropa? Misalnya, serangan cyber besar-besaran yang merobohkan Eropa untuk jangka waktu lama?
Pandemi Covid-19 ini memberikan bukti nyata, bahwa tidak ada satu pun negara yang bisa mandiri, hidup sendiri, memikirkan diri sendiri. Bahkan, negara super sombong seperti AS pun akhirnya minta bantuan Tiongkok untuk mengatasi Covid-19.
Semoga, apa yang terjadi di Italia, semakin memperkuat kerja sama regional—termasuk kerjasama ASEAN—kerjasama antarnegara, di masa depan.
Pandemi Covid-19 ini benar-benar menguji solidaritas antar-negara.
PS: Artikel ini sudah dimuat Kompas.id, hari Sabtu 28/3 dan selengkapnya ada di https://triaskun.id/2020/04/01/covid-19-antara-beijing-dan-roma