SEPANJANG hari ini, dunia dibuat terkejut dengan berita besar yang terjadi di Timur Tengah. Tiba-tiba saja –tanpa banyak “dideteksi” media dan pengamat Timur Tengah lainnya, Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) sudah berhasil membukukan catatan sejarah penting di panggung politik Timur Tengah. Membuka lembaran baru antardua negara dengan menjalin hubungan diplomatik.
Tentu ini berita besar. Tidak hanya bagi Israel dan Uni Emirat Arab. Tapi juga negara-negara di Kawasan Timur Tengah yang secara politik masih dalam “status perang” dengan Israel. Negara-negara Arab di Kawasan Timur Tengah ini praktis masih bermusuhan dengan Israel.
Kecuali, tentu saja, Mesir dan Yordania. Kedua negara Arab ini sejak lama sudah berdamai dengan Israel dan membukukan hubungan diplomatiknya dengan Tel Aviv. Kini, jalan damai yang sama telah ditoreh oleh Uni Emirat Arab (UEA).
UEA adalah negara kecil namun super kaya karena punya deposit sumber daya alam berupa minyak dan gas alam dalam jumlah sangat besar. UAE terdiri dari enam “entitas” berjuluk emirat dan bersama-sama membentuk sebuah nation bernama Uni Emirat Arab.
UEA menjadi negara Arab ketiga yang akhirnya memilih “berdamai” dengan Israel. Buktinya ya hari ini: diumumkan resmi akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Dirintis sejak lama tapi diam-diam
Hubungan diplomatik yang akan segera terjalin antara Israel dan UEA ini tentu saja –di atas kertas—tidak datang tiba-tiba. Bukan tanpa rencana dan perjalanan “diplomatik” sangat panjang. Presiden AS Donald Trump –broker utama babak baru sejarah—berulang kali mengklaim upaya ini akhirnya gol, usai dilakukan lobbying diplomasi selama tiga pekan terakhir ini.
Dalam arti tertentu, klaim itu ada benarnya juga. Washington berdiri di balik kisah sukses catatan sejarah itu. Namun, sejarah juga mencatat beberapa upaya serius selama setahun terakhir ini.
Upaya “pedekate” itu sudah dilakukan Tel Aviv sejak beberapa tahun terakhir. Kadang-kadang melalui gerakan rahasia melalui dinas rahasia Mossad. Kadang juga terang-terangan dan media meliputnya.
Seperti yang terjadi di Dubai di hari terakhir bulan Oktober 2018 lalu. Menteri Olahraga Israel Ny. Miri Regev terlihat ditemani para petinggi UAE mengunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed di Abu Dhabi, Ibukota UEA.
Menjadi lebih mengharukan lagi, ketika lagu kebangsaan Israel Hatikvah sampai diperdengarkan di Abu Dhabi dalam sebuah kesempatan event olahraga judo internasional di Ibukota UEA.
Konon, Menteri Olahraga Israel Ny. Miri Regev sampai menitikkan air mata. Pun pula, sungguh susah dibayangkan, ketika sejumlah official delegasi tim olahraga Israel ikut dalam perhelatan pertandingan olahraga ini. Dan ini terjadi di sebuah negara Arab yang secara politik masih “bermusuhan” dengan Israel.
Haktivah bukan hanya sekedar lagu kebangsaan. Ini adalah jeritan orang-orang Yahudi yang merindukan Tanah Terjanji yang kemudian disebut Zion.
Dan mengidungkan seruan akan Zion di sebuah negara musuh bagi segenap orang Yahudi di event di Abu Dhabi itu tentu saja menggetarkan jiwa. Tidak saja karena kerinduan akan Zion ini akhirnya terpenuhi dengan berdirinya Negara Israel di tahun 1948. Mungkin juga menjadi lebih syahdu.
Bisa jadi ingatan mereka tertuju pada insiden pembunuhan 9 atlit Israel oleh kelompok teroris di arena ajang Olimpiade Munich di Jerman tahun 1972 silam.
Pada saat yang hamper bersamaan, Menteri Transportasi Israel Yisrael Katz juga akan segera bertolak ke Oman untuk menghadiri acara konferensi transportasi. Salah satu isu penting yang akan dipresentasikan oleh Yisrael dalam event ini adalah gagasan Israel untuk membangun jaringan rel KA yang bisa menghubungkan seluruh negara Teluk.
Kehadiran orang-orang Israel di sebuah negara Teluk Arab tentu saja tidak saja simbolis. Melainkan di sini sudah ada perasaan “ingin bersahabat”. Buktinya, tanggal 26 Oktober 2018, PM Israel Benjamin “Bibi” Netanyahu bahkan bisa mampir mengunjungi Muscat –Ibukota Oman—dan bertemu dengan mendiang Sultan Qaboos, penguasa Oman sepanjang 50 tahun terakhir.
Karena belum ada hubungan diplomatik antara Tel Aviv dan Muscat, tentu saja kunjungan PM Israel Netanyahu ke Oman ini tidak diumbar ke media. Akhirnya foto pertemuan kedua pemimpin negara ini memang muncul di media pemerintah Oman.
Inilah peristiwa penting di negara-negara Teluk –khususnya di Oman—ketika seorang pemimpin Israel bisa datang berkunjung setelah 20 tahun terahir ini hal itu tidak pernah terjadi.
Sudah pada saat itu, PM Israel Netanyahu berani sesumbar bahwa negara-negara lain juga akan menyambut kedatangan delegasi Israel. Dan kalau hari ini, UEA membukukan catatan sejarahnya akan membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel, maka itulah bukti “sesumbar” Bibi Netanyahu ini menemukan kebenarannya.
Abraham Accord
Presiden Trump yang berdiri di balik kisah suksesnya diplomasi mempertautkan UEA dengan Israel dalam jalina hubugan diplomatik ini menyebutnya sebagai “Abraham Accord”. Dan kita tahu, lahirnya “Abraham Accord” ini tidak tiba-tiba.
Media Israel sepanjang hari ini menyebut bahwa upaya diam-diam meretas lahirnya “Abraham Accord” itu tidak terlepas dari sepak-terjang Yossi Cohen. Ia adalah direktur dinas intelijen Israel –the Mossad. Sepanjang bulan-bulan lalu, Cohen banyak melakukan penerbangan diam-diam mengunjungi sejumlah negara Teluk dan salah satunya adalah Uni Emirat Arab (UEA).
Beberapa bulan lalu, dua pesawat kargo UEA “Etihad” berhasil mendarat di Bandar Udara Ben Gurion Tel Aviv untuk membawa bantuan obat-obatan dan APD di masa pandemi covid-19 untuk Palestina. Sayang, Otoritas Palestina di Ramallah malah menolak kiriman bantuan amal kemanusiaan tersebut.
Tentu kita bertanya, mengapa UEA menjadi begitu penting bagi Washington dan Israel sehingga –katakanlah—“Abraham Accord” secepatnya mesti bisa diretas kelahirannya.
Secara geografis, UEA yang berlokasi di Kawasan Negara Teluk menempati lokasi sangat strategis bagi “kepentingan” politik dan militer Amerika Serikat dan Israel. Demikian pula Oman. Posisi kedua negara ini boleh dikatakan “langsung berhadapan muka” dengan Iran –musuh bebuyutan Amerika dan Israel.
Dengan memiliki hubungan diplomatik dengan UEA, maka sudah barang tentu Israel akan mendapatkan akses lebih gampang untuk “mengamati” Iran dengan lebih “dekat”.
Kalau babak sejarah baru yang sama nanti akan terjadi dengan Oman, maka lalu lintas pelayaran kapal-kapal tanker yang melalui Selat Hormuz juga pasti tidak akan lewat begitu saja tanpa “dipelototi” oleh Israel.
Yang juga amat berkepentingan dengan Iran –dalam artian perlu “terus memoloti” sepak terjang Teheran adalah Arab Saudi. Kedua negara ini berseberangan dalam banyak hal. Juga bersaing ketat untuk menjadi pihak paling “berpengaruh” di kawasan Timur Tengah.
Yang meradang
Muncul reaksi pro dan kontra atas teretas lahirnya “Abraham Accord” ini. Sudah barang tentu, meski belum merilis pernyataan politiknya menyikapi “Abraham Accord”, Iran adalah pihak yang paling “meradang” dengan keputusan UEA menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Yang juga ikut meradang adalah Turki.
Ankara menuduh UEA telah sengaja “menjual” isu batalnya rencana pencaplokan Israel atas sebagian wilayah Palestina dengan konsensi bisa menjalin hubunngan diplomatik dengan Israel.
Memang, dalam pengumuman resmi yang disampaikan oleh Presiden Trump di Gedung Putih, disebutkan bahwa untuk sementara waktu “isu aneksasi” wilayah Palestina ini ditinggalkan. Namun, Dubes Israel untuk AS Ron Dermer yang juga hadir dalam pengumuman “Abraham Accord” ini tegas menyebutkan, isu aneksasi tidak “ditinggalkan”.
Melainkan untuk sementara waktu, “rencana” itu ditangguhkan saja. Jadi bukan tidakjadi, tapi ditangguhkan. Alias kapan-kapan akan dieksekusi.
Dalam hal ini, tentu saja Otoritas Palestina yang merasa sangat berkepentinga dengan isu “aneksasi” yang bersuara paling keras. Juga meradang paling sakit.
Otoritas Palestina konon akan berusaha serius membujuk sejumlah negara Arab lainnya –termasuk negara-negara di Teluk—agar tidak mengikuti “langkah tidak setia” UEA ini.
Menekuk Iran di akses pintu utamanya
Karena UEA dan Oman secara geografis berada tidak jauh dari Selat Hormuz, maka “Abraham Accord” ini tentu saja akan “melukai” Iran.
Selat Hormuz punya arti sangat strategis bagi Teheran. Melalui selat yang “pintu keluar-masuknya” sangat kecil ini, pasokan minyak Iran bisa keluar untuk dijual keluar negeri.
Sudah barang tentu, nantinya, gerak-gerik Teheran di mulut Selat Hormuz ini akan bisa dipantau lebih mudah oleh Israel, ketika sudah bisa menempatkan “orang-orangnya” di Abu Dhabi.
Apalagi di UEA juga tinggal sebuah komunitas orang-orang Yahudi namun berkewarganegaraan UEA. Bahkan laporan media Israel edisi terbit hari ini, misalnya, berani mengatakan bahwa banyak kegiatan perdagangan Teheran yang penting dan strategis sejauh ini malah terjadi di Ibukota Abu Dhabi.
Mendekatnya UEA kepada Israel dan Amerika ini tidak bisa dianggap enteng bagi negara-negara Teluk dan juga Teheran. Menurut laporan media Israel, kapasitas kekuatan militer UEA dianggap paling top di antara sejumlah negara Teluk lainnya: Oman, Bahrain, Kuwait, Qatar, dan lainnya.
Kini sejak hari ini, dalam beberapa pekan mendatang kita akan melihat bagaimana kedua delegasi dari UEA dan Israel ini akan bertemu –entah di mana—untuk membahas kerangka kerjasama di banyak bidang yang akan diretas oleh kedua negara.
Lalu, juga dalam beberapa pekan mendatang, kita juga akan melihat di Gedung Putih, Presiden AS Donad Trump akan menjadi saksi atas diretasnya “Abraham Accord” ketika PM Israel Benjamin “Bibi” Netanyahu dan Sultan Mohammed Bin Zayed akan menandatangani dokumen penting tersebut.
Dulu sekali, tepat persisnya tanggal 13 September 1993, Presiden Clinton menjadi saksi sejarah ditandatanganinya Oslo Accord antara mendiang PM Israel Yitzhak Rabin dan Pemimpin Palestina mendiang Yasser Arrafat di Gedung Putih.
Lalu, di tahun 1994, Presiden Clinton juga menjadi host bagi pertemuan penting antara PM Rabin dengan Raja Yordania mendiang Hussein untuk mengukir sejarah damai antara kedua negara bertetangga di Timur Tengah, setelah leduanya terlibat perang tanpa akhir selama 46 tahun.
PS: Diolah dari sejumlah media terbitan Timur Tengah