MENDADAK Hagia Sophia punya fungsi dan status baru sebagai masjid. Ini tentu menimbulkan pertanyaan dan sekaligus “gugatan” kritis.
Taruhlah itu, misalnya, mengapa baru terjadi sekarang? Juga oleh Presiden Erdogan dan bukan presiden-presiden sebelumnya? Juga mengapa Gereja-gereja Orthodoks di Rusia jauh-jauh hari sudah melayangkan protesnya terhadap rencana alih fungsi Hagia Sophia tersebut?
Terakhir, bahkan Paus Fransiskus pun, ikut menyuarakan keprihatinannya atas keputusan orotitas Turki mengubah status dan fungsi Hagia Sophia.
Mulai tanggal 20 Juli 2020 mendatang, Hagia Sophia akan resmi menjadi tempat ibadat bagi Umat Muslim, setelah sebelumnya mengemban status resmi sebagai museum dan berabad-abad sebelumnya menjadi sebuah Gereja Katedral.
Kilas sejarah
Nama “Hagia Sophia” ini diambil dari bahasa Yunani Ἁγία Σοφία. Dari kata Yunani inilah, kita semua mendapatkan versi modern-nya yakni Hagía Sophía yang dalam bahasa Latin disebut Sophia atau Sancta Sapientia dengan arti “Kebijaksanaan yang Suci”.
Bangunan dengan ciri arsitektur yang sangat indah ini mulai eksis berdiri pada tahun 537 pada zaman kekuasaan Kaisar Flavius Justinus I.
Basis kekuasaannya waktu itu ada di Constantinopel atau Istanbul sesuai namanya sekarang. Dua perancang Yunani mengerjakan bangunan ini yakni Greek Isidorus dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.
Sepanjang era Imperium Byzantium, bangunan nan indah ini difungsikan sebagai Gereja Katedral.
Hagia Sophia menjadi bangunan gereja terbesar di dunia sepanjang 10 abad lamanya. Kisahnya sebagai gereja katedral yang terbesar lalu “berakhir”, setelah Gereja Katedral di Sevilla, Spanyol, berhasil selesai dibangun tahun 1520.
- Namun di tahun-tahun kemudian, status dan fungsinya berubah menjadi Basilika Kristen Ortodoks Yunani.
- Berikutnya di tahun 1204, statusnya berubah menjadi Gereja Katedral Katolik Roma.
- Dan tak lama kemudian, tahun 1261, berubah lagi menjadi Gereja Katedral Ortodoks Yunani.
- Ketika Imperium Byzantium bubar karena kalah perang melawan Imperium Ottoman di tahun 1453, maka berubah pula fungsi dan status Hagia Sophia menjadi masjid. Sesuai era kekuasaan di Turki Kuno masa itu.
- Barulah ketika Kekuasaan Ottoman berakhir dan kemudian muncul pemerintahan “Turki Baru” yang sifatnya sekuler di bawah Mustafa Kemal Atatürk (1881 –1938), muncul maklumat yang menyatakan status baru bagi Hagia Sophia. Bukan lagi gereja atau masjid. Melainkan museum. Tok, selesai.
Keputusan politik Kabinet Attaturk ini berlaku sejak tahun 1934 sampai 2020. Berarti sudah selama 86 tahun lamanya, status resmi Hagia Sophia tenang-tenang saja sebagai museum. Tanpa banyak kehebohan.
Barulah pekan lalu, kehebohan baru secara tiba-tiba langsung muncul. Bisa menjadi begini, karenakeputusan pengadilan yang kemudian ditindaklanjuti oleh maklumat Presiden Erdogan. Hagia Sophia telah menjadi masjid kembali sejak 8 Juli dan akan menjadi rumah ibadat di mana orang bisa sembahyang mulai tanggal 20 Juli 2020.
Santa Sophia
Sebagai gereja katedral, Hagia Sophia secara resmi didedikasikan bagi Kebijaksaan Tuhan (baca: Roh Kudus). Perayaannya mengikuti jadwal Kalender Liturgi yakni tanggal 25 Desember –Hari Raya Natal—ketika Allah akhirnya hadir ke dunia dan menjelma masuk dalam sejarah dengan “menjadi manusia”.
Inilah kisah perwahyuan Allah paling sempurna, ketika Ia hadir sebagai manusia sama seperti kita semua.
“Sophia” ini sebenarnya merupakan bunyi lafal sebuah kata bahasa Yunani untuk menyebut “kebijaksanaan”. Orang lalu sering mengaitkannya dengan Santa Sophia, seorang Kudus menjadi martir. Padahal tidak ada hubungannya sama sekali.
Nama lengkap bangunan gereja ini dalam bahasa Yunani adalah Ναός της Αγίας του Θεού Σοφίας yang menurut lafal huruf Romawi menjadi Naós tis Hagías tou Theou Sophías. Artinya, Temple of the Holy Wisdom of God.
Bangunan gereja “Hagia Sophia” ini menjadi saksi bisu atas terjadinya Skisma Gereja Barat (Roma) dan Gereja Timur (Ortodoks), ketika Patriark Michael I Cerularius diputus “bersalah”.
Ia kemudian menerima hukuman ekskomunikasi yang dijatuhkan oleh Humbertus dari Silva Candida yang saat itu menjadi utusan Paus Leo IX di tahun 1054.
Ambisi Erdogan
Erdogan tampil berkuasa di Turki menggantikan Presiden Abdullah Gül. Mulai tahun 2014 dan berhasil terpilih kembali untuk kedua kalinya di tahun 2018.
Sebelum tampil sebagai presiden, ia mengampu jabatan PM Turki (2003-2014), Walikota Istanbul (1994-1998). Tampil ke panggung politik nasional dari Partai Justice and Development Party di mana dia juga menjadi salah satu pendirinya. Ini terjadi di tahun 2001.
Sebelumnya, Erdogan maju sebagai wakil National Salvation Party (sebelum tahun 1981), Welfare Party (1983–1998), dan Virtue Party (1998–2001). Semua parpol di mana Erdogan ikut bergabung masuk ini berhaluan ideologi agama.
Di hadapan publik dan simpatisan partainya, Erdogan tak sungkan mendeklarasikan dirinya sebagai politisi dengan basis agama sebagai kiblatnya. Bahkan ia pernah masuk penjara, karena didakwa telah melancarkan persekusi yang meretas kebencian pada kelompok penganut iman berbeda.
Yang bagi kita aneh adalah sejarah persahabatannya dengan Fethullah Gülen. Dulu sekali, kedua orang ini menjadi teman baik satu sama lain.
Namun belakangan, Erdogan secara terang-terangan telah menuduh Gülen Movement sebagai “teroris” dan kemudian melabeli mereka sebagai penggerak upaya kudeta militer terhadapnya di tahun 2016 lalu.
Lebih aneh lagi, mulai tahun 2012, Erdogan pernah mau berunding dengan PKK guna menghentikan perang saudara antara Etnis Kurdi di Turki dan Pemerintah Turki (yang berlangsung sejak 1978 sampai sekarang).
Namun, perjanjian damai ini akhirnya kandas di tahun 2015. Sejak itu, Ankara kembali memerangi PKK –tidak hanya berbasis di Turki namun juga di Suriah— atas alasan labeling sebagai “teroris”.
Banyak pihak menilai rezim Pemerintahan Turki di bawah Presiden Erdogan ini ini beraliran Neo-Ottoman yang menggunakan agama sebagai basis gerakan politiknya. Turki yang semula sangat sekuler kini perlahan-lahan “berubah haluan” menjadi “agamis”.
Sejak itu, panggung medsos dan pers dikontrol. Erdogan juga mulai “galak” dengan konten YouTube, Twitter, dan Wikipedia.
Sejak muda
Erdogan lahir di Kasımpaşa, sebuah kawasan miskin di Istambul. Ayahnya Ahmet Erdoğan (1905–1988) adalah seorang tentara berpangkat kapten di jajaran Turkish Coast Guard. Sedangkan ibunya, Tenzile “Mutlu” Erdoğan (1924–2011) hanyalah seorang ibu rumahtangga biasa.
Erdogan menghabiskan masa kecil dan remajanya di dua tempat berbeda. Di Rize dan Istanbul. Usai menyelesaikan pendidikan dasarnya di Kasımpaşa Piyale tahun dan kemudian İmam Hatip school di 1973 di mana dia belajar banyak agama. Di sini dia mendapat nama karaban (panggilan) sebagai Hoca yang artinya Guru Agama.
Ia menikahi Emine Gülbaran tahun 1978. Dua anak lelaki lahir dari keluarga ini yakni Ahmet Burak dan Necmettin Bilal. Lalu kemudian dua anak perempuan yang bernama Esra dan Sümeyye.
Sejak masuk kancah politik di tahun 1976, Erdogan selalu mengasosiasikan dirinya anti Komunisme dan berasal dari organisasi berbasis agama. Saat muda, ia menjadi Ketua National Salvation Party (MSP) yang juga berbasis ideologi agama. Di tahun 1983, ia mengikuti jejak Necmettin Erbakan dan bergabung masuk dalam Welfare Party yang juga berbasis agama.
Pemerintah Turki di tahun 1998 mendeklarasikan Welfare Party sebagai organisasi politik yang terlalu “kanan” –sangat fundamentalis sehingga dianggap membahayakan sistem politik negara yang sekuler.
Tahun 1977 Erdogan dikenai sanksi tahanan dan masuk penjara karena dengan sengaja telah memelintir teks puisi karya Ziya Gökalp yang dibacakan dengan teks plintiran yang memerahkan telinga pemerintahan sekuler.
Isu pembunuhan massal orang-orang Armenia
Semasa menjabat PM Turki, Erdogan berhadapan dengan isu “Armenian Genocide” dengan korban setidaknya 1,5 juta orang sipil Armenia yang tewas dibunuh oleh serdadu Turki semasa Perang Dunia I.
Ia dengan keras menolak tuduhan ini, sebelum tim gabungan Turki –Armenia berhasil melakukan penyelidikan tuntas atas kasus yang sensitif bagi kedua negara ini.
Erdogan mengritik keras kaum intelektual dalam kampanye publik “I Apologize” Turki yang minta maaf atas terjadinya kasus ini. “Saya tidak menerima atau mendukung kampanye ini. Karena kita memang tidak (pernah) melakukannya, maka juga tidak perlu minta maaf,” kata Erdogan di tahun 2008.
Bahkan di tahun 2011, Erdogan memerintahka patung perdamaian Turki-Armenia di Kars yang dibangun tahun 2016 untuk segera dibongkar dan dimusnahkan.
Alasan pembongkaran itu, demikian argumen Erdogan, karena lokasi patung itu berdekatan dengan makam tokoh intelektual Muslim abad ke XX –hal yang dibantah keras oleh Dewan Kota Kars karena tak mungkin membangun artefak patung dekat dengan lokasi bersejarah.
Tentang kasus “Armenian Genocide” ini, bahkan Paus Fransiskus di bulan April 2015 mengatakan bahwa pembunuhan masyarakat sipil Armenia kurun waktu tahun 1915-1922 itu merupakan fakta sejarah yang mengisi jilid buku sejarah di awa abad ke XX.
Atas komentar Paus ini, Erdogan langsung memanggil pulang Dubes Turki untuk Tahta Suci dan memerintahkan Kemenlu Turki untuk menyampaikan nota protes diplomatik kepada Nuncio di Ankara.
Reporters Without Borders mencatat bahwa Turki di bawah kekuasaan PM dan kemudian Presiden Erdogan mengalami masa suram di bidang kebebasan pers dan pernyataan pendapat.
Erdogan dan politik nasional
Tahun 2019, partai Erdogan kalah dalam pemilihan Walikota Istanbul meski pemilu ini digelar untuk kedua kalinya. Padahal, selama 25 tahun terakhir, partai Erdogan selalu merebut kemenangan di kota bersejarah di Turki ini.
Jagonya yang bernama Binal Yildirim gagal merebut kemenangan untuk memimpin Kota Istambul yang penuh gengsi di peta politik nasional Turki.
”Dengan ini saya mengucapkan selamat kepada Ekrem Imamoglu yang berdasarkan polling perhitungan suara pemilu layak disebut memenangkan pilkada ini,” kata Yildirim sebagaimana dilansir harian beken The New York Times edisi 23 Juni 2019 lalu. (Berlanjut)