Home BERITA Artikel Politik: Kekuasaan Itu Licin, Analisis “Polisi Tidur”

Artikel Politik: Kekuasaan Itu Licin, Analisis “Polisi Tidur”

0
Ilustrasi: Dengan kekuasaan dan pistol di tangan, Willy Herod menjadi penguasa bengis dan tiran memainkan kekuasaannya.

“ONE can easily slips while in power.” (Aviv Murtadho, 2020)

Seorang sahabat yang lama tak kontak mengirim pesan melalui WA. “Payah. Jalan masuk ke rumah dipasang banyak ‘polisi tidur’. Berdekatan, tinggi dan curam.”

Pengurus RT berinisiatif memasangnya, karena ‘keamanan’ jalan mulai terusik. Lalu-lintas hiruk-pikuk, motor ngebut, dan mobil berlenggang seenaknya.

Lantas apa yang salah dengan ‘polisi tidur’? Jawabnya adalah cara memasangnya.

Ketika pemuda-pemuda RT diberi wewenang untuk memasang ‘polisi tidur’, terjadilah  ‘penyalah-gunaan kekuasaan’. 

Mereka merasa bisa berbuat semaunya, tanpa batasan, tanpa aturan, dan tanpa tenggang-rasa. Dendam kepada pengguna lalu-lintas yang mengganggu kenyamanannya selama ini, terlampiaskan.

Membangun ‘polisi tidur’ memang perkara sepele. Tapi, kisah di atas mengajarkan bahwa kekuasaan, besar atau kecil, bila tak disertai mekanisme kontrol yang memadai, mudah melahirkan kekeliruan.

Fenomena ini sudah lama diungkapkan oleh seorang tokoh sejarah, politisi dan penulis terkenal dari Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton (1834-1902). 

Lord Acton menulis surat kepada Uskup Anglikan Mendell Creighton, pada tahun 1887. Nadanya mengingatkan pemimpin agama itu.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”

Mungkin Lord Acton berlebihan. Tetapi kepekaannya dalam melihat “bahaya” kekuasaan, pantas dicermati dan diwaspadai.

Drama ‘polisi tidur’ sekaligus membuktikan bahwa “kekuasaan” tak dibedakan oleh besar atau kecil. 

“Kekuasaan” tanpa kontrol, tanpa checks-and-balances, tanpa pengawasan, tanpa penegakan aturan hampir pasti membuahkan penyelewengan.

“Kekuasaan” membuat orang gamang, sekaligus membingungkan. “Power is absurd”. Orang mudah tergelincir karena menerjemahkan sekehendak hatinya.

Plato (428-348 SM), pemikir terkenal asal Yunani, berpendapat bahwa dari power yang digenggamnya, orang bisa ditandai sikapnya. Ini sangat tergantung kepada tata-nilai yang berada di dalam dirinya.

“The measure of a man is what he does with power.”

“Kekuasaan” dibayangkan sebagai musuh yang senantiasa mengancam. Bersama “harta”,  ia digambarkan bak dua bayangan hitam yang siap menerkam si pemegangnya. 

Ironis, meski menakutkan, ketika mendapatkannya, kebanyakan orang malah bersuka-cita.  Lengah dan kemudian terjerumus karenanya.

Seharusnya ia digenggam dengan hati-hati, prihatin atau malah “ketakutan”. Sedikit alpa, berubah malapetaka. 

Power is a mandate. Amanah, tanggungjawab, tetapi gampang berubah menjadi beban dan harus dikembalikan kepada si pemberi, pada saatnya.

Pembuatan ‘polisi tidur’ adalah contoh “kekuasaan” sederhana yang melenceng. Tapi jangan lupa, “kekuasaan” baru saja menerjang tiga perwira yang diduga menyalahgunakannya. 

Pak Harto diturunkan dari tahta setelah 32 tahun berkuasa. Begitu pula banyak pemimpin dunia yang jatuh karena alasan yang sama. 

Suami atau isteri, bisa berlaku tak semestinya kepada pasangannya. Untuk urusan yang simpel sekali pun, seperti petugas admin dari sebuah grup WA atau pengurus dari sebuah kumpulan sosial, “kekuasaan” bisa berubah bentuk menjadi monster yang menakutkan.

“Kekuasaan” biasanya identik  dengan jabatan.  Jabatan adalah pengabdian.  Posisi adalah melayani. 

Tahta adalah menghamba. Itu yang ditulis oleh Robert K Greenleaf dalam buku Servant Leadership (1977). 

Greenleaf, seorang ahli yang passion di bidang  people development and leadership, mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mendapat tanggungjawab memegang kekuasaan.  

Tugas utama dan pertamanya adalah melayani yang dipimpinnya.

Spirit kekuasaan bukan menguasai, bukan mencari keuntungan untuk pribadi, bukan menyilakan materi masuk ke dalam pundi-pundi, tapi melarut bersama komunitas yang dipimpin. Kemudian, tumbuh bersama-sama dengan seluruh anggota. 

“The servant-leader is servant first”. Prinsip itu menghilangkan kondisi licin dari sebuah “kekuasaan”. 

Pemegangnya tak mudah tergelincir.

Dalam konteks itulah, “kekuasaan” akan aman, sejahtera dan bermakna. Kekuasaan akan berkah bila punya hati bersih dan tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. (Mat 10;16).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memaknainya dalam buku Tahta untuk Rakyat (1982). Ia mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. 

Memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. ”Memayu hayuning bawana. Ambrasta dur hangkara.”

Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Muhamadijah dan pergerakan nasional, serta Pahlawan Nasional mengungkapkan dengan kata-kata yang berbeda, dengan arti yang senada. “Leiden is lijden.” (Memimpin adalah menderita). 

Robert Greenleaf, Sri Sultan Hamengubuwono IX, dan Mr. Kasman Singodimedjo berasal dari tempat atau zaman yang berbeda. Mungkin mereka tidak pernah mendiskusikan hal ini. 

Tetapi konsep tentang pemimpin dan power yang digenggamnya, tak berbeda. Tahta adalah menghamba. Baru kepemimpinan bisa dirasakan.  

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Mat 20;26)

@pmsusbandono – 24 Juli 2020

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version