SABTU, 9 September 1922.
Hari itu, pasukan berkuda Turki yang baru saja memenangi perang Yunani-Turki, memasuki kota Smyrna. Kota yang terletak di sudut timur laut Teluk Hermaean, Pantai Anatolia, Asia Kecil Barat itu, dikenal sebagai kota terkaya dan paling kosmopolitan di Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) pada masa itu.
Smyrna atau Izmir adalah kota pelabuhan, kota bisnis, kota industri—ada banyak pabrik. Buruhnya dari berbagai ragam bangsa: Yunani, Armenia, Turki, dan Yahudi.
Berbagai sumber, misalnya Katherine Elizabeth Flemming, seorang profesor dari Universitas New York, spesialis sejarah Yunani moderen, mengungkapkan jumlah orang Yunani di Smyrna lebih banyak dibanding orang Turki, dengan perbandingan dua banding satu.
Waktu itu, jumlah orang Yunani sekitar 150.000 jiwa. Sumber lain menyebut, jumlah orang Yunani 130.000 jiwa dari sekitar 250.000 orang penduduk Smyrna.
Setelah orang Yunani, dari segi jumlah, urutan kedua adalah orang Turki, lalu Armenia, Yahudi dan komunitas orang-orang Levant: Lebanon, Suriah, Palestina, Yordania, dan Israel.
Mereka hidup rukun. Bersama-sama, mereka membangun kota dan tumbuh berkembang menjadi kota kaya. Semua warga, apa pun kebangsaannya, menikmati kemakmuran kota. Yang unik, mereka membangun Smyrna—yang didirikan sejak millennium ketiga sebelum Masehi– menjadi kota Kristen di tengah dunia Islam (Ottoman).
Jauh sebelumnya, cerita tentang masyarakat yang toleran ini juga muncul di Persia zaman diperintah Dinasti Achaemenid, yakni mulai Cyrus I (Cyrus Agung) hingga Darius III, antara 553–330 SM.
Kala itu mulai digunakan kata paradise; yang dalam bahasa Persia kuno disebut pairidaeza, yang dalam bahasa Yunani adalah paradeisos.
Kata paradise ini mengacau pada suasana taman kerajaan yang sangat menakjubkan indahnya, menyenangkannya, menenteramkan hati dan pikiran; bagaikan surga di Bumi (Amy Chua: 2007).
Di taman itu, tumbuh berbagai macam pohon buah-buahan; terkumpul tanaman bunga dari berbagai negara dari Libya hingga India; binatang-binatang eksotik yang berasal dari berbagai hutan di segala penjuru Bumi.
Ada unta Parthia (sebuah wilayah Iran timur-laut), biri-biri jantan Assiria, kuda Armenia, bagal Kapadokia, jerapah Nubia, gajah India, kerbau Babilonia, dan berbagai binatang lainnya temasuk singa. Mereka—binatang-binatang itu—hidup rukun.
Smyrna pun aman dan damai. Kebersamaan dan saling menghormati menjadi kekuatan dan pengikat antar warga kota. Ibarat kata, kekuatan mereka seperti kekuatan militer Achaemenid yang menggabungkan kehebatan bangsa-bangsa lain: para komandan militer adalah orang-orang Media, para pelaut orang Phoensia, pengemudi kereta perang adalah orang-orang Libya, kavaleri orang-orang Cissia, dan ratusan ribu tentara dari Ethiopia, Bactria, Sogdiana, dan seluruh wilayah taklukan Achemenid.
Akan tetapi, cerita kedamaian dan toleransi Smyrna—yang oleh Ottoman kala itu disebut sebagai kota kafir, Infidel Smyrna (Gavur Izmir)–berakhir empat hari setelah kavaleri Turki masuk ke kota itu.
Giles Milton dalam Paradise Lost, Smyrna 1922, The Destruction of Islam’s City of Tolerance, (2008) mengisahkan, 13 September 1922, Smyrna yang dikenal sebagai kota yang sangat toleran dan heterogen itu hancur lebur menjadi abu.
Dibakar. Dibakar tentara Turki. Digambarkan apa yang terjadi di Smyrna sebagai bentrokan peradaban antara Timur dan Barat yang pada tahun 1996 dikupas lagi oleh Samuel P Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Kota itu terbakar selama empat hari. Pada saat bara mendingin, lebih dari 100.000 orang Yunani dan Armenia, tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. “Paradise Lost,” tulis Giles Milton yang menyebut apa yang terjadi di Smyrna itu sebagai drama kemanusiaan abad ke-20 yang sangat dahsyat sekaligus mengerikan.
Ternyata, drama kemanusiaan itu tidak berakhir di Smyrna, melainkan berlanjut ke kota-kota dan negara-negara lain. Sebut saja mulai dari kekejaman Nazi-Hitler, bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Gulag, Killing Fields, Sebrenica, Rwanda, Darfur, Rohingnya, konflik Gujarat, tentu tragedi Palestina, perang di Afganistan, Irak, Libya, dan juga Suriah; dan masih banyak lagi; jangan lupa tragedi kemanusiaan di negeri ini juga tak sepi.
Firdaus akan mudah hilang ketika ada orang atau kelompok, atau bahkan penguasa yang cenderung memutlakkan kekuasaan. Dengan memutlakkan kekuasaannya itu, mereka dengan mudah menyatakan bahwa pihak lain yang tidak sepaham, sealiran, sekelompok, sewarna sebagai pihak yang salah, yang pantas dan layak disalahkan; dan bahwa hanya dirinyalah—atau kelompok mereka lah–yang benar dan bahkan paling benar.
Orang atau kelompok atau bahkan penguasa yang sudah dikuasai oleh nafsu untuk memutlakkan kekuasaan dan memutlakkan kejahatan, dengan mudah akan—katakanlah—“mempersetankan” orang lain, pihak lain, kelompok lain, golongan lain.
Ada tanda-tanda masyarakat cenderung mengindentifikasi diri sebagai etnos, yakni sebagai warga komunitas lokal, atau sebagai bagian dari agama atau etnis daripada sebagai warga negara Indonesia (Gusti A B Menoh: 2015).
Semangat komunitarianisme seperti itu, masih menurut Gusti A B Menoh, menghasilkan situasi politik kewargaan yang mengkhawatirkan, karena Indonesia diam-diam sesungguhnya berada dalam bahaya tingginya politik berbasis identitas.
Kenyataan ini menimbulkan persoalan karena demokrasi mensyaratkan citizenship-politics, politik-kewarganegaraan dan bukannya religion/ethnicity-based politics, politik didasarkan agama/etnisitas.
Akhir-akhir ini yang sering disebut untuk menggambarkan situasi semacam itu adalah Pilkada DKI 2017, yang kemudian berpanjang-panjang hingga Pilpres 2019, dan bahkan hingga sekarang.
Komunitarianisme adalah paham yang beranggapan bahwa masyarakat diatur oleh nilai-nilai yang ada di dalam komunitasnya. Prinsip dasar dalam masyarakat diambil melalui nilai-nilai moral yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Menurut Gusti A B Menoh, kecenderungan komunitarianisme ini, tidak hanya melahirkan berbagai tindakan kekerasan dan teror di tanah air, melainkan secara formal berhasil meransek masuk ke sistem politik dan lalu melahirkan undang-undang dan peraturan-peraturan bernuansa religius dan etnosentris. Selain itu, juga bermunculan kelompok-kelompok fundamentalis.
Padahal, nyata-nyata tidak bisa dipungkiri pun pula tidak bisa ditolak, masyarakat Indonesia adalah majemuk. Kemajemukan adalah anugerah dari Tuhan yang tidak mungkin ditolak. Tuhan menciptakan manusia Indonesia majemuk dari segi apa pun—suku, etnis, agama, bahasa, budaya, adat istiadat, kebiasaan, dan banyak lain lagi.
Dengan kemajemukan itu, manusia Indonesia dituntut untuk saling mengenal, untuk saling memahami, dan untuk saling menghormati.
Karena itu, dalam masyarakat majemuk seperti yang ada di negeri ini, toleransi menjadi penting sebagai modal awal agar kita semua terbebas dari intoleransi. Itu berarti toleransi di Indonesia lebih sebagai peneguhan bahwa masyarakat di negeri ini majemuk.
Kegagalan memahami dan menerima kemajemukan adalah berarti kegagalan sebagai bangsa; Bangsa Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, kini di media sosial berseliweran wacana-wacana, pernyataan-pernyataan, video, foto, gerakan-gerakan yang mengingkari kemajemukan itu. Inilah awal-awal “runtuhnya pairidaeza,” kalau tidak ada tindakan pencegahan, dan langkah untuk menghentikan yang tegas dan tepat.
Ingat yang dikatakan Bung Karno, pada tahun 1947, “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, sesuatu golongan?…Sudah tentu tidak.…bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua untuk semua’.”
Ya, semua untuk semua. Semua memelihara pairidaeza ini agar tidak hilang, tinggal kenangan.
Ref: https://triaskun.id/2019/12/12/kenangan-akan-pairidaeza/