Home BERITA Artikel Politik: Penyakit Lama

Artikel Politik: Penyakit Lama

0
Ilustrasi - Surat Suara dalam Pemilu tahun1955. (Ist)

I

MANUEL Kaisiepo, sahabat lama saya, mengirimkan tulisan pendeknya lewat WhatsApp (WA)

“Konflik dan dinamika internal partai politik yang menyebabkan perpecahan, atau bahkan memunculkan partai baru, sesungguhnya bukan hal baru. Konflik, partai baru ‘pecahan’ dari partai sebelumnya, atau partai baru hasil fusi beberapa partai adalah fenomena lama politik.”

Sejarah bercerita tentang hal itu.

Pada zaman pergerakan, dari PNI lahir dua partai baru: Partindo dan PNI Baru. Ini terjadi pada tahun 1929, setelah empat tokoh teras PNI—Ir Soekarno, R. Gatot Mangkoepradja, Markoen Soemadiredja, dan Soepiadinata—dipenjara.

Atas inisiatif Mr. Sartono digelar Kongres Luar Biasa (KLB) ke-2 (25 April 1931).

Dalam KLB itu, PNI dibubarkan. Lalu, Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Tetapi, langkah Sartono itu menyebabkan perpecahan, karena ada yang tidak setuju PNI dibubarkan.

Mereka yang tidak setuju menyebut dirinya “Gerakan Merdeka” dan membentuk partai baru juga yang diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. T

okoh dari PNI Baru adalah Sutan Syahrir. PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader.

Pada zaman revolusi, Desember 1945 dalam kongres fusi di Cirebon, dua partai yakni Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang dipimpin Sutan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) yang dipimpin Amir Syarifudin, bergabung.

Gabungan dua partai ini menjadi Partai Sosialis.

Namun, tak lama kemudian Amir Syarifudin menarik faksinya dari tubuh Partai Sosialis dan bergabung dengan Musso dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Sedangkan Sutan Sjahrir membentuk partai baru pada tanggal 12 Febuari 1948 dengan nama Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Tiga tahun sebelum Pemilu tahun 1955, NU keluar dari Masyumi lewat Muktamar ke-19 tahun 1952 di Palembang. Pada Pemilu 1955, NU menjadi salah satu dari empat partai yang memperoleh suara terbanyak; tiga lainnya adalah PNI, Masyumi, dan PKI.

Pada tahun 1973, Orde Baru, “menyederhanakan” jumlah partai politik dari sembilan menjadi dua plus Golkar.

Dua partai politik itu adalah Partai Persatuan Pembangunan/PPP (merupakan fusi dari partai Islam yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti) dan Partai Demokrasi Indonesia/PDI (fusi dari PNI, Parkindo, Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI).

Tetapi, meskipun hanya dua partai, konflik internal tetap terjadi.

Konflik dalam tubuh PPP umumnya karena perbedaan antar unsur pendukung, terutama antara NU dan MI.

NU kemudian keluar dari PPP tahun 1984.

Sementara di PDI karena konflik yang terjadi menyebabkan Megawati dan para pendukungnya keluar dari PDI dengan membentuk PDI-Perjuangan.

II

Ilustrasi gambar: Istimewa

Pada masa reformasi, “penyakit lama ” itu ternyata masih menjangkiti partai-partai politik di negeri ini.

Misalnya, konflik sudah biasa dalam tubuh Golkar, bahkan sampai “melahirkan” partai baru: Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Hanura, Gerindra, dan terakhir pada 26 Juli 2011 lahir Nasdem.

Konflik di PPP melahirkan Partai Persatuan (PP) dan PPP reformasi, yang kemudian menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR dikomandani KH Zainuddin MZ).

Tidak berhenti sampai di sini.

Pada tahun 2014, di dalam tubuh PPP ada dua kubu juga. Kubu Muktamar Jakarta memilih Djan Faridz sebagai ketua umum; sementara Kubu Surabaya mengangkat Romahurmuziy sebagai ketua umum.

Konflik internal itu bergulir ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Djan Faridz menang di tingkat kasasi, tetapi kalah di peninjauan kembali.

PDI-P juga tidak luput dari konflik.

PDIP melahirkan:

  • Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK dipimpin Eros Djarot).
  • Partai Indonesia Tanah Airku (PITA dikomandani Dimyati Hartono);
  • Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR);
  • Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). 

Konflik internal PBB melahirkan partai politik baru:

  • Partai Islam Indonesia (PII) yang dipelopori Hartono Marjono;
  • Abdul Qadir Jaelani yang memimpin Partai Al-Islam Indonesia (PAS) Indonesia .

“Penyakit partai” menginfeksi PKB juga.

Konflik internal PKB melahirkan kepengurusan tanding­an antara:

  • PKB Batutulis yang dipimpin Matori Abdul Djalil;
  • PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab (2002).
  • Dalam perkembangan selanjutnya, PKB Matori Abdul Djalil mendirikan partai baru bernama Partai Kebangkitan Demokrasi (PEKADE).

Konflik internal di tubuh PKB belum selesai.

Pada tahun 2004-2007, muncul konflik yang melibatkan Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid-Ketua Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar (hasil Muktamar II PKB) dan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf yang membuat muktamar tandingan di Surabaya.

Setelah itu, masih ada konflik lagi yakni, antara 2008-2011, yang melahirkan Muktamar Luar Biasa (MLB) kubu Abdurrahman Wahid (MLB Parang) dengan MLB Ancol kubu Muhaimin Iskandar.

III

Ilustrasi gambar: Istimewa

Apa yang menyebabkan pecahnya konflik?

Konflik telah menjadi bagian yang wajar dan tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Konflik dapat dipastikan akan selalu muncul selama manusia memiliki tujuan, kepentingan, dan pengejaran cita-cita yang berbeda dalam hidup.

Karena itu, seiring dengan berjalannya waktu manusia harus bergelut dengan isu-isu konflik (RW Mark dan RC Snyder; 1971)

Konflik sering dikaitkan dengan konsep yang terkait dengan kepentingan antagonis, kesalahpahaman, persaingan, kepentingan dan tujuan yang secara logis tidak dapat didamaikan, ketegangan yang berlawanan, persaingan, manuver politik, dan perilaku permainan.

Meskipun semua perilaku dan sikap ini mungkin menyertai, memengaruhi, dan memberikan sumber konflik, sebagian besar ilmuwan sosial percaya bahwa tidak satu pun dari istilah ini yang merupakan sinonim untuk konflik.

Selain itu, juga bukan faktor-faktor ini merupakan prasyarat yang memadai untuk konflik.

Karena itu, adalah wajar di dalam partai terjadi konflik. Bukankah partai ibarat wadah berkumpulnya atau bertemunya banyak kepentingan.

Dengan demikian, sangat rawan konflik. Partai politik sebagai organisasi moderen akan selalu dihadapkan pada realitas konflik, antar-sesama anggota partai.

Apalagi, All politics is about power, semua politik mengenai kekuasaan. Itu kata seorang pakar politik Inggris Andrew Heywood.

Kalau sudah berurusan dengan power, kekuasaan, maka akan terjadi konflik. Sebab, kekuasaan adalah sumber daya yang terbatas, sementara yang menginginkan banyak.

IV

Iluatrasi: Manusia-manusia rakus. (Ist)

Kata Machiavelli, ada beberapa cara yang biasa ditempuh orang untuk memiliki kekuasaan (termasuk kekusaan di dalam partai), untuk menjadi penguasa.

Yakni, karena nasib mujur (warisan, misalnya), mengandalkan kemampuan senjata (kudeta), lewat jalur konstitusional (pemilihan entah pemilu atau kongres partai), dan menggunakan cara licik serta kejam.

Harold Laswell  pakar politik dari AS, mengatakan politik  adalah mengenai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya mendapatkannya.

Pengertian “mendapatkan apa (sesuatu)” bukan selalu berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain. Melainkan, juga yang non-material — kedudukan, harga diri, gengsi, dan sebagainya.

Untuk “mendapatkan sesuatu”, maka semua kekuatan politik saling bersaing; dan meminjam bahasa Machiavelli, menghalalkan segala cara.

Tetapi, bagi Sutan Sjahrir (1909-1966), perdana menteri pertama Indonesia dan pahlawan nasional, politik memiliki arti lain.

Politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.

Menurut Sjahrir, dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. (Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir, Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. XXVI-20.)

Dalam rumusan lain, meminjam istilahnya Hannah Arendt, politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia—seni  untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasinya dalam membangun kehidupan bersama.

Jasa dan prestasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama yang memberi bobot identitas politikus.

Ini kiranya yang dalam filsafat politik disebut sebagai political virtue, dalam arti moral excellence. Dalam berpolitik moral tidak boleh dilupakan.

Sebab, urusan politik  sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam dunia politik muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral.

Misalnya, kesetiaan, integritas, dan dedikasi atau pengkhianatan.

Apakah, politik seperti yang diartikan oleh Sutan Sjahrir masih punya tempat hidup di negeri ini?

Sulit menjawabnya di tengah “hiruk-pikuk” saat ini, meskipun konflik dalam partai politik itu soal biasa.

Kalau sebuah partai tak bisa mengatasi konflik internal, bagaimana mungkin—andaikan berkuasa—mengatasi persoalan bangsa?

Itu pertanyaan sambil lalu.

Maka itu, benar pernyataan teman saya Imelda, lewat WhatsApp (WA) “Ngomongin politik dengan (secara) terbuka itu nurunin imun….”

Padahal, nurunin imun saat ini sangat berbahaya, ya Imelda.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version