TIDAK biasanya Bung Ruy, mengirim surat. Meskipun, surat elektronik. Kami hanya sering berkabar-kabaran lewat WhatsApp. Itupun tidak selalu setiap minggu dan pendek-pendek saja.
Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19 ini semakin merajalela, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia, ia makin sering berkabar lewat WhatsApp.
Ada saja yang dikabarkan. Suatu ketika lewat WhatsApp, ia menulis, “Bung, apakah zaman seperti ini yang dahulu diramalkan oleh Ranggawarsita?” Lalu, ia mengutip bagian dari Serat Sabda Pranawa karya KRNg Ranggawarsita (1802-1873).
Ing antara laju saya keksi/ lelamuking jaman katingalan/ rupak rumpil kahanane/ saya dreng weh wulangun/ panguripan amorat-marit/ sirna tentreming nala/ wong udrasa manggung/ gawangan saenggonira/ nyenyet samun sesunare sukeng kapti/ tansah kapilet susah/
(Yang kurang lebih berarti: Makin lama makin nampak gelagat zaman, kondisi kehidupan semakin susah, ketentraman hati hilang. Di mana-mana banyak orang menangis dalam hati, sunyi senyap dari kesukaan hati, senantiasa terjerat kesusahan)
Saya katakan pada Bung Ruy, tulisan Ranggawarsita itu untuk mengritik pemerintah kolonial yg zalim pada rakyat.
“Zaman sekarang ini, memang rakyat menderita. Tetapi, bukan hanya rakyat kecil, para penggede juga, siapa saja. Karena pandemi Covid-19 memang tidak sektarian dan milih-milih,” jawab saya.
“Jadi bukan salah penguasa, ya Bung,” balasnya
Lalu, ia menulis lebih panjang. Demikian isinya:
Bung, akhir-akhir ini, saya sering memikirkan, seandainya virus Covid-19 ini bisa diajak bicara, ingin rasanya bertanya padanya: apa yang sebenarnya ingin dituju? Mengapa membuat manusia sekarang ini demikian sengsara? Mengapa memporak-porandakan dunia dan tatanannya, juga hubungan antar-manusia? Mengapa menyebabkan begitu banyak orang mati?
Apakah pengurangan jumlah manusia, keseimbangan alam bumi, kesadaran baru atas cara hidup itu tujuannya atau apa? Atau ini adalah balasan Covid-19 terhadap kerakusan manusia?
Yang jelas Bung, virus ini tidak pandang bulu. Semua negara kena, tanpa kecuali. Baik negara miskin atau negara kaya. Baik negara demokrasi atau non-demokrasi.
Virus korona itu menyerang negara mana saja, tidak mengenal batas negara, tidak mengenal geografis, tidak mengenal batas-batas kedaulatan negara, tidak mengenal aturan imigrasi. Negara seketat apa pun penjagaannya, tidak ada artinya bagi Covid-19. Negara adikuasa yang memiliki senjata nuklir sekalipun tidak berdaya.
Virus korona memang ganas, Bung, menyerang siapa saja: pejabat dalam segala tingkatan, politikus, tenaga medis, bintang film, tentara, polisi, pemimpin agama, pengusaha, pengangguran, guru, dan segala macam profesi, orang kaya maupun miskin, orang yang tinggal di kota besar, kota kecil, maupun di desa-desa, orang-orang yang tinggal di rumah-rumah gedongan maupun rusun atau rumah sangat sederhana, laki-laki maupun perempuan.
Pandemi Covid-19 telah pula secara dramatis mendisrupsi pola sosial dan ekonomi sehari-hari masyarakat di seluruh dunia.
Perusahaan-perusahaan transportasi baik darat, laut, maupun udara tutup. Akibatnya jelas, banyak orang menganggur. Industri pariwisata dan hiburan, mati. Demikian juga warung-warung makan dan restoran-restoran, merasakan akibatnya. Dan, orang yang kesulitan pangan di mana-mana semakin banyak, bahkan di seluruh dunia.
Sementara, Bung, yang punya uang pun tidak bisa produktif seperti sebelumnya. Paling-paling beda mereka dengan yang tidak punya uang adalah mereka mampu menyimpan persediaan bahan makanan lebih banyak; mampu memborong. Meskipun kemudian ada yang rakus.
Tetapi, satu hal yang sama, Bung, antara yang kaya dan yang miskin, antara yang punya jabatan dan tak punya jabatan, antara bos dan anak buah, antara yang di kota dan di desa yakni berpikir bagaimana bertahan hidup. Hanya itu, Bung! Itu saja!
Karena itu, semua orang berharap dalam kegelisahan dan ketakutan—kecuali yang sudah tidak memiliki hati nurani lagi, yang justru memanfaatkan tragedi kemanusiaan ini untuk kepentingannya sendiri; dan ini ada–semoga situasi tidak semakin memburuk sehingga orang akan menjadi serigala bagi sesamanya.
Bung, kembali ke pertanyaan yang saya tulis di awal surat ini: apa sesungguhnya yang hendak dituju, yang menjadi tujuan Covid-19 itu?
Bila pandemi ini tidak segera bisa dihentikan penyebarannya, banyak hal akan menjadi lebih buruk di masa mendatang. Apalagi kalau tidak ada empati manusia dan solidaritas nasional.
Perang melawan pandemi ini hanya bisa berhasil kalau semua pihak bersedia “berdarah-darah, bekerja keras, berurai air mata, dan bermandi keringat,” seperti yang dikatakan Winston Churchill pada pidato, 13 Mei 1940. “Saya tidak menawarkan apa-apa kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat, ” kata Churchill.
Apakah ada semangat seperti itu di hati kita semua, Bung?
Baiklah Bung, rasanya surat ini harus saya akhiri sampai di sini—meskipun saya belum mendapat jawaban dari Covid-19, apa yang dia tuju–dengan mengutip apa yang ditulis KGPH Mangkunegara IV (1853-1881) dalam Serat Wedhatama:
Bathara gung, inguger graning jejantung/ Jenek Hyang Wisesa/ Sana pasanetan suci/ Nora kaya si mudha mudhar angkara/ yang kurang lebih berarti: Tuhan yang agung disemayamkan dalam pusat hati (jantung). Di situlah kekuasaan Hyang Mahakuasa, singgasana suci yang tersembunyi. Namun, tidak berlaku demikian bagi yang mengikuti nafsu angkara murka.
Jangan anggap saya putusasa kalau kembali ke Hyang Agung, Bung. Tidak, Bung! Saya hanya ingin mengingatkan, paling tidak antar-kita, seperti bunyi peribahasa ini Homo proponit sed Deus disponit, Manusia merencanakan tetapi Tuhanlah yang menentukan.
Dengan memegang prinsip tersebut tidak berarti kita diam saja dalam menghadapi pandemi ini. Tidak! Justru sebaliknya. Kita harus terus berusaha untuk mengatasinya.
“Hidup itu punya makna kalau kita mampu melampaui diri, tidak hanya berhenti pada kesulitan, tidak hanya sekadar mengeluh. Nah, dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini pun, kita harus membangkitkan suatu perjuangan untuk mengatasi, berjuang untuk mendapatkan sesuatu keluar dari penderitaan. Sebab, kalau kita diam saja, maka penderitaan itu akan tetap tinggal sebagai penderitaan,” nasihat kawan saya yang tinggal di Yogya, Bung.
Terima kasih, Bung. Salam.
PS: https://triaskun.id/2020/05/02/surat-dari-sahabat/