TADI pagi, saya mendapatkan bunga semboja (kamboja) ‘berdaun’ enam. Ini sebuah kebetulan yang langka. Karena biasanya, jumlah daun bunga semboja itu kebanyakan lima buah atau ganjil.
Lalu ada yang menghubung-hubungkan kebetulan semboja genap yaitu enam ini dengan tanda isyarat akan mendapatkan yang khusus dan baik di hari ini. Ketika saya tujukkan ke kawan, ia bereaksi: “Ohhooi. Saya pun tidak mencari di pohon kemboja itu agar menemukan yang genap. Begitu saja sambil jalan, eh saya lihat lalu saya petik.”
***
Tafsir keberuntungan sebenarnya merupakan gejala manusiawi psikologis. Manakala ada yang keluar dari yang kebanyakan yaitu tadi: ganjil, kok ini genap? Saya selalu senang mentautkan kebetulan yang memberi sasmita keberuntungan dalam ranah ber-iman.
Mengapa? Karena ada ungkapan yang berasal dari pengalaman menghayati hidup rutin, lalu muncul kalimat: tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini.
Artinya, dalam mata Tuhan yang diimani oleh mata batin manusia, penyelengaraan ilahi (divina providentia) itu menuntun bahkan menemani jalan perjalanan hidup di tangan-Nya seturut kehendak-Nya, yang selalu diimani pasti baik untuk manusia. There is no coincidence. Di dalam rentang kehendak-Nya, tiap kejadian yang untuk mata biasa manusia sepertinya kebetulan itu bukanlah sembarangan terjadi. Tetapi berlaku, karena kehendak-Nya agar manusia bahagia.
***
Soalnya ialah, manusia mesti mencarinya, membaca tanda-Nya di balik yang nampaknya kebetulan terjadi. Serupa dengan pengalaman ini adalah ungkapan bijaksana mengenai waktu, yang berbunyi: “Semua ada waktu-Nya, ada waktu menanam, ada waktu menuai, semua dibuat indah pada waktu-Nya.”
Di sini, kelirunya mata baca manusia yang mengartikan “nya” dengan huruf kecil dan “nya” menurut pikiran, keinginan manusia.
Padahal yang benar ialah indah pada waktu-NYA (“nya” huruf besar, alias waktu atau saat Tuhan).
Inilah yang dalam Injil Yohanes,berkali-kali ditunjukkan dengan saatnya belum tiba, artinya, “kyrios”: saat-Nya Tuhan menghadiri dalam peristiwa hidup manusia, yang harus dibaca melalui mata iman, mata batin.
Namun, kembali ke contoh awal, bunga kamboja berdaun enam yang jadi sasmita hari baik, berarti secara dikotomik berhadapan dengan kepercayaan akan adanya hari buruk. Ungkapan yang lazim: bad day versus good day.
***
Pertanyaan telak eksistensial dan mendasarnya adalah mengapa dan apa yang terjadi pada diri Anda yang beriman (baca: memiliki iman kristiani), kok masih membedakan hari baik versus hari buruk.
Tesis satu yang langsung menjadi dasar kekuatan iman ialah bila hari-hari manusia berdasar Kitab Kejadian, diciptakan sebagai ‘baik adanya’, bahkan masih digarisbawahi dan Tuhan melihat semuanya baik adanya, maka konsekwensi (logisnya) adalah dalam ranah beriman, tidak ada itu hari baik dan hari buruk.
***
Semua hari itu baik adanya, karena Tuhan hadir memberkati dengan menciptakan-Nya sebagai baik.
Ini pula yang sebenarnya, yang saya belajar asal usul salam “Berkah Dalem” dari almahum Romo Soetapanitra SJ, bahwa di sini tak ada empat musim, di mana setelah kedinginan di musim salju lalu saat mentari muncul, bersyukurlah manusia dengan uluk salam “good morning”: pagi yang baik, yang cerah atau selamat pagi, sehingga karena tiap hari baik adanya di Indonesia ini, maka syukur atas setiap hari selalu hari yang baik adalah syukur pada berkah-Nya, yaitu berkat Tuhan dalam bahasa Jawa adalah “Berkah Dalem”.
Hidup sehari-hari adalah anugerah-Nya, maka di hari pagi, dihunjukkanlah syukur atas berkat Tuhan berupa hidup ini sejak awal hari sampai akhir hari dan itu di saling ucapkan pada sesama salam, selamat atau shalom.
***
Mata iman yang membaca pengalaman mengalami kehadiran Tuhan yang tidak kebetulan itu berurutan dan terus menerus mendorong manusia untuk bersyukur tanpa lelah.
Mengapa?
Bagi orang Kristiani, yang mengimani tidak adanya hari buruk, tetapi hanya ada hari baik terus, lantaran Tuhan hadir seperti janjiNya Immanuel: “Allah selalu beserta kamu dan Aku akan terus menyertai kamu sampai akhir jaman, maka bersyukurlah adalah tanpa henti tanpa lelah tanpa libur”.
Bila ada sisi “duka” dalam perjalanan hidup, inilah pemuridan Tuhan melalui salib yang mendidik, agar kualitas emas iman semakin menjadi emas dan bukan loyang.
Derita atau kesengsaraan seperti keyakinan Paulus dihayati sebagai penggenapan ikut serta memanggul salib bersama Yesus yang adalah Kristus. Maka, menjadi renungan menarik saat para sahabat terpilih Yesus juga dibagi salib-Nya, justru sebagai bagian memanggul salib untuk silih dosa itu.
***
Saya tercenung apabila merenungi lima luka salib yang dinamai stigmata (baca: lima tanda luka salib) pada diri Santo Fransiskus Assisi. Lalu .pada abad modern ini pada Padre Pio di Italia.
Derita ternyata mesti dibaca dengan mata iman bagian penyertaan Yesus, ajakan pada sahabat-sahabat-Nya untuk ikut bersama-Nya, meski di Gethemani oleh rasul-rasul “pilihan-Nya” masih ditinggal tidur. Pada saat-saat Yesus mesti menyongsong tugas penebusanNya.
Di jalan derita itulah muncul pendalaman pemuridan Yesus untuk seorang suci di masa kita yaitu Ibu Teresa dari Calcutta. Ibu Teresa bahkan mesti mengalami dobel hampa makna. Tak hanya Getsemani, tetapi ditambahi dengan apa yang lalu dinamai spiritualitas “Eloi Eloi Lama Sabachthani”: Allahku, Allahku, mengapa Kau tinggalkan Daku?
Sebuah kenosis, ‘rasa hampa’ sepi pekat untuk rasa terpisah dari Tuhan, kala terpotong oleh kasih-Nya. Keterputusan dari kasih Allah inilah yang jadi kerasulan Ibu Teresa dari Calcutta, yang ia serukan untuk didoakan dan dibuat aksi jawaban nyata, yaitu: lapar kasih Tuhan, tak bisa bersyukur atas kasih-Nya yang berupa kehidupan ini.
Akibatnya “hampa kosong”, tanpa cinta Allah yang menjadi salah satu sebab orang putus asa lalu bunuh diri. Sikap mau bersyukur mengandaikan kerendahan hati, membuka mata batin pada hadirnya Tuhan, yang tidak pernah kebetulan, namun selalu ingin anak-anak-Nya menjadi lebih baik, lebih dewasa, berbahagia dalam panggilan-Nya.
Yang selalu mendongak dan melihat ke atas, maka akan sulit bersyukur karena selalu kurang dan minta lebih dari apa yang diterima sebagai berkahNya. Lihatlah dan camkanlah lagu syukur atas Tanahair Indonesia, anugerah-Nya karena kemerdekaan ibu pertiwi ini adalah seratu persen “atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, dicantumkan pada pembukaan Konstitusi (UUD 1945). Oleh penciptanya, Bung H. Mutahar yang belum lama ini dipanggil Tuhan, ia tuliskan lagu syukur itu sebagai berikut:
“Dari yakinku teguh,
Hati iklasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia Merdeka”.
Pada Tanahair yang merdeka yang memberi hidup melalui laut, sawah, ladang, hasil bumi, mineral inilah ditaruh pada pundak para warga untuk diuji syukur pada Tuhannya dengan tidak mengeksploitasi; menghancurkannya.
***
Pada saat detik-detik Proklamasi pukul 10.17 WIB di tanggal 17 Agustus 2020 kemarin, terpampang viral sikap beri hormat seorang penjual es lilin yang tegap, tegak pula mereka-mereka yang di perempatan, di jalanan sadar berhenti untuk sejenak berhening syukur atas kemerdekaan ini.
Gambarnya nyaris terviral di mana-mana.
Belum lagi upacara-upacara penaikkan bendera di pelosok-pelosok, di tempat-tempat terpencil yang seadanya. Nnmun berhati kaya, lantaran mempu bersyukur atas berkah Tuhan bagi Indonesia.