UNTUK segala sesuatu ada masanya. Untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Demikian kata Sang Pengkhotbah.
Kita tidak bisa mengendalikan waktu Tuhan. Kalau waktu itu sudah lewat, tidak akan kembali lagi. Karena itu, selama masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang. Kalau kesempatan tidak digunakan, maka waktu akan hilang.
Waktu, selalu memberikan pilihan kepada manusia. Apakah manusia mau menjadi baik atau buruk. Apakah kita manusia mau berbuat baik atau tidak bagi sesama?
Berbuat baik kepada sesama merupakan salah satu kebiasaan dan kepribadian seseorang yang mencerminkan kebaikan dan keberhasilan jika dilakukan untuk pekerjaan.
Berbuat baik untuk orang lain merupakan kebajikan yang semestinya tertanam sejak dini.
Bukankah keutamaan—yang oleh teolog Thomas Aquinas (1225-1274) didefinisikan sebagai habitus atau kebiasaan untuk berbuat baik–diperoleh lebih karena kebiasaan daripada ajaran, terutama keutamaan moral.
Ada peribahasa lama yang sangat indah, magna est vis consuetudinis, yang artinya kurang lebih “pengaruh sebuah kebiasaan itu kuat.”
Karena itu, orang yang sejak kecil oleh orangtuanya diajari dan dilatih, serta dibiasakan untuk jujur, sopan, rajin, bertanggung jawab, menghormati orang lain–tanpa memandang perbedaan entah itu agama, suku, rasa, dan golongan—memiliki rasa compassion, belarasa, akan menjadi pribadi yang berkarakter baik.
Sekarang ini, ketika kita menghadapi situasi kedaruratan, krisis karena pandemi Covid-19 yang semakin merajalela, sifat, karakter manusia yang sesungguhnya terlihat.
Apakah kita memiliki habitus untuk berbuat baik bagi sesama atau memikirkan diri sendiri, mau menang sendiri atau tidak, atau terus nyinyir, asal kritik, atau merasa paling tahu dan benar.
Kesediaan dan kerelaan kita untuk mentaati dengan suka rela keputusan politik pemerintah—yang terakhir pemerintah memberlakukan pembatasan sosial skala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif—merupakan salah satu bentuk keutamaan; memikirkan, peduli terhadap orang lain.
Orang yang berakal budi akan berdiam diri pada waktu itu, karena waktu itu adalah waktu yang jahat.
Aturan memang harus secara tegas ditegakkan. Perlu ada sanksi bagi yang melanggarnya, demi keselamatan bersama.
Ada pepatah yang berbunyi: Ubi homo, ibi societas. Ubi societas, ibi ius. Ergo: ubi homo, ibi ius yang kurang lebih berarti “Di mana manusia berada, ada masyarakat. Di mana ada masyarakat, ada hukum.
Karena itu: di mana manusia berada, ada hukum.”
Dengan kata lain, hukum dibuat karena ada masyarakat. Tanpa masyarakat, hukum tidak ada. Karena itu, sudah layak dan sepantasnya—atau bahkan sebuah keharusan—bahwa semua anggota masyarakat mentaati, mematuhi hukum yang ada.
Hukum menyediakan landasan normatif tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh manusia, oleh anggota masyarakat, oleh seluruh rakyat dalam hidup sosialnya. Hukum mengatur agar warga masyarakat, seluruh rakyat hidup disiplin dan tertib.
“Disiplin, disiplin, dan disiplin itu paling penting,” begitu tulis Kepala BNPB yang juga Kepala Gugus Tugas penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo, dalam WA-nya yang dikirim beberapa hari lalu.
Sekadar contoh. Faktor utama yang memberikan andil kemampuan Korea Selatan “memperlambat “ laju penyebaran atau bahkan memutus antara lain adalah layanan kesehatan nasional yang kuat, eksekusi agresif protokol penanganan, isolasi, dan perawatan, didukung penuh oleh hukum.
Selain itu, pengaruh Konfusianisme sangat kuat dalam budaya Korsel.
Menurut Konfusius (Kong Fuzi, 558-471 SM), perilaku bangsa tergantung pada kapasitas intelektual rakyat.
Cara paling efektif untuk mengembangkan pikiran adalah disiplin moral. Disiplin moral memungkinkan orang untuk melakukan kontrol diri berdasarkan kebajikan, keutamaan. Di sisi lain, aturan hukum menyiratkan pencegahan melalui sanksi.
Semua itu, ada dalam budaya kita yang sangat beragam ini juga dalam kearifan-kearifan lokal masing-masing daerah.
Dalam Manusia Indonesia (2001), Mochtar Lubis menunjukkan ciri-ciri baik manusia Indonesia (selain ciri-ciri buruk): ramah, mudah tertawa sekalipun menelan pil pahit, suka menolong, suka damai, hatinya lembut, sayang keluarga, dan kekuatan ikatan keluarga besar, mudah belajar karena bangsa ini cerdas, serta cepat belajar keterampilan.
Dengan semua ciri-ciri baik itu, kita dapat mengatasi pandemi Covid-19, tentu dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan (tidak perlu mempersoalkan terlebih dahulu, mendebat, mencaci, nyinyir, termasuk menyebarkan fitnah dan kabar bohong dengan tujuan politik) melaksanakan keputusan politik pemerintah untuk memutus rantai penularan pandemi.
Memang, ada harga yang harus dibayar oleh warga masyarakat: rela berkorban demi keselamatan bangsa dan negara.
Baru dengan demikian, kita pantas disebut manusia berbudaya. Yakni, manusia yang memiliki sikap moral estetis yang religius, toleran, ugahari, kerendahan hati, bersemangat kerja tinggi, serta berdisiplin tinggi, di tengah serangan pandemi Covid-19.
Maka, ketika tiba waktunya seperti kata Sang Pengkhotbah, Takdir datang mengetuk pintu—meminjam istilah yang digunakan oleh Paulo Coelho—akan terdengar ketukan lembut Malaikat Pembawa Kabar Baik, bukan gedoran-gedoran pintu demikian keras dari Sang Tamu Tak Diundang, yang tidak kenal kompromi.
Bila demikian, maka “malam gelap berlalu, dan terbitlah fajar.”
PS: Artikel lengkap di https://triaskun.id/2020/04/04/tamu-tak-diundang/