Home LUMBUNG GAGASAN Atmosfir Toleransi Semerbak di Kudus

Atmosfir Toleransi Semerbak di Kudus

0

BELUM sampai  di kota Kudus namanya, kalau tak pernah merasakan apa yang khas di kota produsen rokok ini, yakni Soto Kudus “cap” kerbau. Nah itu dia. Yang ini bukan “Soto Kudus” yang sudah berkibar namanya itu; melainkan ini soto “versi lain”.  Karena yang menjadi menu utamanya bukan sapi atau ayam, melainkan justru daging kerbau. Kalau sudah di dalam mulut, aih…lidah ini rasanya tak henti bergoyang dan kremus…kremus….apalagi ditambah dengan sayur pindang Kudus. 

Soto Kerbau

Ternyata ada sejarah masa silam tentang daging  kerbau ini. Menurut  cerita lama, Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq dan merupakan  salah satu dari anggota Wali Songo penyebar siar Islam di Tanah Jawa dikenal sebagai sosok pluralis. Beliau tidak saja memberi pondasi kuat dalam ajaran siar Islam waktu itu, melainkan juga mengajari umatnya untuk bersikap hormat kepada kelompok penganut agama lain yakni umat Hindu waktu itu. 

Sikap dan semangat tinggi membangun toleransi dan hormat akan pluralisme itu konon tercermin dari ajaran beliau yang melarang umatnya menyembelih sapi. Kita semua mahfum, sapi adalah hewan yang disakralkan oleh agama Hindu. 

Langkah tersebut sangat diapresiasi masyarakat Jawa di Kudus waktu itu yang pada zamannya mayoritas masih menganut agama Hindu. Karena itu, mereka juga tak segan sowan kepada Sunan Kudus untuk bertanya hal-hal penting dan belajar tentang keutaman hidup kepada salah satu anggota Wali Songo ini. 

Alhasil, kediaman Sunan Kudus  menjadi sangat ramai oleh banyak tamu yang ingin berguru kehidupan pada beliau. Tak ayal, Sunan Kudus mendapat  tempat terhormat di hati masyarakat Kudus waktu itu. 

Arsitektur toleransi

Semangat toleransi Sunan Kudus itu tak hanya tercermin lewat ajarannya yang melarang menyembelih sapi sebagai hewan konsumsi manusia. Tapi juga pada peninggalan arsitektur bangunan. Taruhlah itu seperti corak arsitektur bangunan pancuran atau padusan yang berjumlah 8 yang kini difungsikan sebagai tempat berwudu.

Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Buddhisme yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat Budhis waktu itu dalam kehidupannya.

Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Buddhisme  dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa bangunan Menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya Bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Akulturasi

Strategi akulturasi dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dalam kegiatan siar Islam beliau  mengusung nilai-nilai akulturasi yang saat itu belum dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya. 

Sampai saat ini, termasuk Idul Adha beberapa waktu lalu, tidak ada orang asli Kudus yang menyembelih sapi. Hewan kurban yang mereka sembelih adalah kambing dan kerbau. Hal itu sebagai wujud melaksanakan pesan Sunan Kudus dan sebagai rasa hormat serta toleransi yang pernah ditanamkan Sunan Kudus pada waktu itu. 

Tepat rasanya bila kegiatan 6th Regional Interfaith Dialogue (RID-6) yang bertema RID-6 itu  adalah “Strengthening Collaborative Communities to Promote Regional Peace and Security Interfaith in Action”. Jumlah peserta perhelatan besar ini datang dari  14 negara. Delegasi ini sempat berziarah  mengunjungi Kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus pada tanggal 14 Maret 2012 lalu. 

RID kali pertama digelar di Yogyakarta (2004). Kemudian di Cebu, Filipina (2006), Waitangi, New Zealand (2007), Phnom Penh, Kamboja (2008) dan Perth, Australia (2009). Diharapkan hasil kegiatan itu dapat diimplementasikan pada masyarakat di dunia, betapa pentingnya kerukunan antar umat beragama.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version