Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Jendela Alkitab Bagaimana Mengenali Wajah Allah? (2)

Bagaimana Mengenali Wajah Allah? (2)

2

Dalam hidup bersama dalam perkawinan, dalam hidup keluarga, Allah adalah kasih diungkapkan paling nyata: saling mengasihi dan mengasihi sesama yang paling dekat, yaitu anak-anak.

Saat mereka menikah, tidak ada uang untuk pesta perkawinan; kedua insan ini hanya meletakkan tikar mereka masing-masing menjadi satu. Beginilah sudah jadi sekeluarga. Pada saat malam pengantin, laki-laki ini membawakan semangkuk bubur polos. Buburnya putih bersih, di bawah sinar lampu memancarkan cahaya yang berkilau.

Laki-laki itu berkata: “Lambungmu tidak baik, banyak makan bubur dapat menjaga maag.” Dimakanlah bubur itu oleh istri-nya. Aroma sedap khas bubur, tidak hanya membuat lambungnya hangat, namun juga hatinya. Mereka sama-sama bekerja di satu pabrik.

Si istri sepanjang tahun bekerja di pagi hari, sang suami sepanjang tahun bekerja pada malam hari. Setiap jam empat subuh sang suami pulang dari kerja. Sedang istrinya masuk jam setengah enam pagi. Waktu mereka untuk bersama pendek sekali hanya sekitar 1,5 jam. Pulang dari kerja, hal pertama yang dikerjakan oleh si laki-laki adalah menyulut api, mengisi kuali. Laki-laki ini hanya bisa memasak bubur polos. Namun semangkuk bubur polos ini, ternyata telah memberi gizi kepada si perempuan hingga air mukanya merah, cantik bagaikan bunga. Bubur semacam ini, menjadi sarapan pagi istrinya selama 5 tahun.

Suatu hari, pabrik mengalami kerugian dan si laki-laki terkena PHK. Akan tetapi bagi mereka kehidupan ini masih harus dilanjutkan. Laki-laki ini mengeluarkan uang tabungannya yang sangat sedikit sedangkan istrinya menjual cincin emas warisan ibunya. Mengumpulkan uang membuka satu toko kelontong. Satu mangkuk, satu buah sapu, satu teko air. Keuntungannya tidaklah banyak. Tetapi si laki-laki ini mengerjakan dengan sepenuh hati. Setelah si perempuan pulang dari pabrik, juga membantu mengurusi toko.

Ketika tidak ada pembeli, mereka duduk diantara setumpuk mangkuk, kuali, gayung serta ember, dengan bahagia mereka berandai-andai tentang masa depan. Si laki-
laki berkata: “Setelah ada duit, toko cabang akan saya buka dimana-mana.”

Istrinya menyahut, “Waktu itu saya juga tidak perlu kerja lagi, setiap hari di rumah membuat beraneka ragam makanan untukmu.”

Laki-laki itu berkata, “Mana perlu dirimu memasak, ingin makan apa, kita langsung pergi ke restoran saja.”

Dengan manja istrinya bilang, “Tidak, saya selalu ingin makan masakan bubur polosmu.”

Laki-laki ini langsung merangkul pundak istrinya, matanya agak membasah. Laki-laki ini masih saja setiap hari bangun dari tidur tepat pukul 4.30 subuh, menyulut api memasak bubur.

Sambil memasak, memikirkan dalam toko sedang kekurangan barang apa. Kadang kala konsentrasinya terpecah. Buburnya hangus di dasar kuali, kadang pula jika ia terlalu lelah dan mengantuk, buburnya meluber keluar dari kuali. Suatu hari istrinya bangun pagi hari. Bubur di atas kompor sedang mendidih mengeluarkan buih. Sedangkan suaminya tidur terlelap dengan kepala di topangkan di atas lutut. Dengan perlahan dan hati-hati si istri memeluk kepala suaminya, hatinya merasa sakit bagaikan ditarik-tarik. Sejak saat itu, perempuan ini menolak dengan tegas jika suaminya ingin memasakkan bubur untuk dirinya. Karena ia melihat si suami sungguh terlalu lelah.

Perdagangan si laki-laki kian hari kian lancar, sampai pada tahun ke tujuh, supermarket cabangnya sungguh telah buka dimana-mana. Si istri sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Mereka telah membeli sebuah rumah besar, dapurnya dilengkapi dengan sangat indah, yang kurang hanya bau asap api. Karena waktu untuk pulang makan si laki-laki ini, semakin lama semakin sedikit.

Dia selalu sibuk, terlalu banyak jamuan makan malam, kadang dalam satu malam ia harus menghadiri empat jamuan makan malam. Mula-mula istrinya menggerutu, tapi si suami bilang, “Bukankah semua ini demi keluarga? Bukankah semua ini agar kamu bisa hidup lebih nyaman?” Akhir-nya si istri capai sendiri, lambat laun juga sudah terbiasa. Perempuan ini sudah sangat lama sekali tidak pernah makan bubur polos.

Suatu hari, mendadak laki-laki ini diundang menghadiri pemakaman seorang temannya. Dia heran, mengapa beberapa hari lalu temannya ini masih baik-baik saja, hari ini orangnya telah tiada? Di dalam rumah duka, dia melihat istri temannya ini,  dulunya sangat cantik dan anggun; dalam semalam menjadi pucat, lesu dan tua. Dia menangis tersedu-sedu.

Dalam mulutnya menggumamkan kata-kata: “Siapa yang akan mengantarku kerja dan menjemputku pulang kerja? Siapa yang akan menalikan sepatu untukku?”
Si laki-laki itu merasa sesak nafasnya, terpikirkan akan istrinya. Sekilas terkenang kebiasaannya dulu di pagi hari, memasakkan bubur untuk istrinya, terpikir juga olehnya ketika istrinya menerima semangkuk bubur polos itu, matanya memancarkan sinar kebahagiaan dan kepuasan. Si laki-laki ini bergegas pulang ke rumah.
Membuka pintu, melihat istrinya yang sedang meringkuk tidur di atas sofa. Televisi masih menyala, home theater juga masih menyala. Di atas meja ruang tamu berserakan penuh dengan berbagai jenis majalah mode. Laki-laki ini berlutut di depan sofa, tangannya dengan perlahan membelai rambut perempuan ini. Air muka perempuan ini suram, di dalam kerutan-kerutan halus, di wajahnya tergurat kehampaan. Dia mengambil selimut untuk menyelimuti perempuan ini.

Mendadak perempuan ini terjaga dari tidurnya. Melihat suaminya, perempuan ini mengusap-usap matanya, raut wajahnya memerah. Perempuan ini bergegas untuk berdiri. “Kamu belum makan, ya. Akan saya buatkan..”

Si laki-laki tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Tidak, biarkan saya yang memasakkanmu bubur polos.”
Hampir setengah hari perempuan ini tidak mengeluarkan sepatah kata. Ada tetesan air mata hangat, yang menetes di tangan suaminya. Hari itu, si laki-laki sambil memasak bubur, dia berpikir, “Sebenarnya beraneka macam variasi produk bubur, tidak bisa meninggalkan bubur polos sebagai dasarnya. Dan segala kebahagiaan yang ada hanyalah di dasari oleh bubur polos, yang lainnya hanya sebagai penyedap.”

Wajah Allah bukan ditampakkan dalam kuasa; juga tidak dalam kekayaan dan kesuksesan. Wajah Allah nampak dalam cinta sejati dan pelayanan yang tulus. Suami-istri punya kesempatan menyempurnakan karya penciptaan Allah dalam kasih dan pelayanan. Setiap dari kita, juga dapat melakukannya. Semoga seluruh ciptaan menjadi lebih baik karena kasih dan pelayanan menjadi ciri utama kehidupannya. Semoga Kristus semakin meraja dalam hidup kita dan dalam hidup sesama di sekitar kita. Amin.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version