Sabtu, 9 September 2021
Yl.3:12-21.
Mzm.97:1-2.5-6.11-12.
Luk. 11:27-28
SEMUA orang tanpa terkecuali pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya.
Sering kita tergoda untuk membandingkan hidup kita dengan orang.
Bahkan kita cemburu dengan kehidupan orang lain yang kelihatan lebih bahagia dengan diri kita.
Padahal kita tidak tahu jatuh bangunnya hidup orang lain.
Seorang bijak mengatakan, “Janganlah mencemburui kebahagiaan orang lain, sebab kamu sungguh tidak tahu apa-apa tentang semua yang telah ia jalani.”
Harus diakui, kita sering terseret oleh lamunan akan kebahagiaan orang lain.
Betapa bahagianya si dia karena punya ini dan punya itu; atau bisa begini dan begitu.
Padahal, andaikan kita diminta bertukar posisi sepenuhnya, belum tentu kita mau atau sanggup.
Sebab yang kita cemburui hanya bagian “enak”-nya.
“Saya tidak tahu mengapa, keluarga kakakku tidak bisa akrab seperti dulu,” kata seorang ibu.
“Dulu waktu kita sama-sama masih susah, rasanya kompak dan selalu bisa meluangkan waktu untuk bersama,” lanjutnya.
“Tetapi setelah usahanya berhasil dan hidup lebih baik, malah sulit sekali ada waktu untuk menikmati kebersamaan seperti dulu,” ujarnya.
“Mungkin salah satu penyebabnya adalah ketika salah satunya anaknya tidak diterima di perguruan tinggi ternama di kota kami ini, sedangkan anakku lolos dan diterima,” katanya.
“Mereka tidak bisa menerima hasil itu, karena menurut mereka anak mereka lebih layak dan lebih pandai daripada anakku,” lanjutnya.
“Saya tidak banyak menanggapi omongan mereka, meski mereka sampai menuduh kami pakai cara yang curang,” ujarnya.
“Bagi saya yang penting bahwa semuanya adalah murni dari perjuangan anakku. Karena sebagai orangtua saya hanya berharap anakku bisa belajar dengan senang, jangan karena kemauan saya, anakku menjadi kurban dan stress,” urai ibu itu.
“Mereka tidak mengerti perjuangan anakku, karena anakku merasa tidak pandai. Maka ia belajar siang malam, hingga karena ketekunannya dia diterima di perguruan tinggi yang dia cita-citakan,” ujarnya lagi.
Dalam bacaan Injil kita dengar, “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”
Kadang kita merusak kebahagiaan kita dengan mengikuti rasa iri hati, dengki, kecewa, merasa dikalahkan, merasa dicampakkan dan merasa menjadi korban ketidakadilan.
Sumber ketidakbahagiaan itu hanyalah soal gengsi, materi, harga diri.
Hari ini, Tuhan Yesus dengan sangat jelas menyatakan bahwa kebahagiaan hidup seseorang tidak ditentukan oleh faktor materi.
Sumber kebahagiaan hidup yang sejati adalah ketika seseorang “Mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku membiarkan rasa iri merusak kebahagiaanku?
Iya bener. sb mereka mengklaim mereka lebih baik dan lebih layak dr yg lain. jd lebih berhak berhasil. padahal banyak kekurangan yg di tidak di sadari. di butuhkan kerendahan hati untuk menyadarinya.