Suasana hangat sangat terasa di ruang Thomas Aquinas yang berada di basement Kampus II Universitas Atmajaya Yogyakarta. Meskipun itu terjadi pada malam hari dan ruangan berpendingin udara.
Kehangatan mewarnai diskusi bertopik membara, “Bancakan Tambang” Analisis Kritis Pemberian Izin Tambang Bagi Ormas Keagamaan, pekan lalu. Diskusi diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) DPD DIY dan Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Para pemateri satu suara mengkhawatirkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 yang dinilai dapat menimbulkan berbagai masalah. Diantaranya korporasi besar dapat menunggangi ormas keagamaan dan ormas keagamaan menjadi kurang kritis terhadap pemerintah.
Maka mereka mengingatkan ormas keagamaan agar memiiliki power, legitimasi dan urgensi supaya dapat efektif mengkritisi kebijakan pemerintah dan melakukan tekanan.
Para pemateri itu adalah: Rm. Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ, M.Sc; Prof. Dr. Ir. C. Danisworo, M.Si, MA; Dr. Caritas Woro Mutdiati R,SH, M.Hum; Dr. Antonius Budi Susilo, SE, M.soc, serta Aria Bima Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI.
Menurut Aria Bima, politisi dari Fraksi PDIP itu, pemberian ijin usaha pertambangan kepada ormas bisa dibaca sebagai politicking penguasa untuk memelihara dukungan secara berkelanjutan.
Ini juga bisa dibaca sebagai balas budi politik terhadap peranan para tokoh ormas keagamaan dalam memobilisasi dukungan bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
“Pemberian izin usaha pertambangan di akhir masa pemerintahan Jokowi yang akan terlaksana pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran, menunjukkan adanya kepentingan politik jangka pendek untuk mengamankan dukungan bagi pemerintahan baru yang akan terbentuk pada 20 Oktober 2024,” tegas Bima.
Padahal, lanjut Bima, sebenarnya persoalan yang dihadapi oleh ormas keagamaan adalah kemudahan izin mendirikan rumah ibadah. Serta, jaminan bagi kelangsungan dan keamanan umat ketika menjalankan ibadah. Selain itu, tak ada lagi persoalan toleransi antar umat beragama.
Harus Dikaji Ulang
Bima berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan seharusnya lebih diprioritaskan ketimbang pemberian izin usaha pertambangan. Maka ia mengingatkan agar pemberian izin pertambangan bagi ormas keagamaan dikaji ulang dengan mempertimbangkan resiko dan dampak negatifnya.
Sementara itu pemateri Agustinus Subarsono, mengingatkan kalau hanya ormas keagamaan yang diberi prioritas mengelola tanpa proses lelang, maka akan lahir eksklusivitas (kelompok superior), terjadi disparitas antar kelompok (ormas keagamaan mendapat benefit lebih dibandingkan dengan ormas lain), serta akuntabilitas dipertanyakan (apa justifikasinya kelompok ini diberi prioritas).
Ia juga mempertanyakan apakah tidak mungkin di kemudian hari ormas keagamaan ditunggangi oleh korporasi yang tidak mendapat hak dalam mengelola tambang.
Solusinya adalah, cabut/revisi PP 25/2024 dan kembali ke PP 96/2021, serta perlu tekanan kepada pengambil kebijakan. “Refleksi bagi KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), apakah cukup punya power, legitimasi, dan urgensi yang cukup untuk menolak sendiri? Kalau tidak, maka perlu kolaborasi dengan ormas keagamaan lain dalam rangka pencabutan/perubahan PP,” tegas Subarsono.
Risiko Tinggi
Caritas Woro Mutdiati mengingatkan bahwa industri tambang termasuk industri yang beresiko tinggi. Dan masalahnya saat ini adalah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang ditawarkan merupakan wilayah bekas konsesi dengan skema Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas sekitar 96.000 hektar.
Ormas keagamaan selain harus mempertimbangkan cadangan batubaranya, juga kemungkinan pengelola sebelumnya ada konflik dengan masyarakat setempat, dan ada masalah lingkungan.
“Ormas keagamaan dikhawatirkan hanya jadi alat korporasi untuk mendapatkan konsesi baru,” Woro mengingatkan.
Sedangkan Romo Paulus Wiryono Priyotamtama, SJ mengingatkan gereja agar mendengarkan jeritan bumi dan orang kecil, dan jangan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Romo Wiryono lebih menyerukan spirit pertobatan. Contohnya untuk Kalimantan. Di Kalimantan potensi batubara sekitar 62,1% atau 88,31 miliar ton untuk Indonesia.
Tuntutan pertobatannya adalah penghentian kegiatan penambangan, penutupan usaha, dan reklamasi area bekas tambang sesuai Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020.