BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Sabtu, 11 September 2021.
Tema: Andai kata dosa itu.
- 1 Tim. 1: 15-17.
- LUK. 6: 43-49.
HIDUP itu sebuah anugerah. Benar banget.
Hidup itu sebuah kesempatan. Betul juga. Tapi jangan lupa, kita adalah manusia. Daging. Maka agak menggema juga, hidup adalah sebuah pergulatan.
Pergulatan apa?
Kadang manusia lupa, bahwa dia adalah manusia tercipta. Kadang untuk menutupi kelemahan, kekeliruan. Bahkan dosanya sendiri, ia lebih banyak tampil seakan-akan saleh, bicara hal-hal yang suci, hal-hal yang baik.
Seakan-akan dia berada di garis hidup seperti malaikat. Berbicara tidak berdasarkan kenyataan.
“Mo, ada waktu?” pinta seorang bapak.
“Ya, tetap adalah,” jawabku sekenanya.
“Besok sore ya Mo, bisa ketemuan.
Akhir-akhir ini, hidup saya galau, tidak tenang. Saya merasa bersalah dalam hidup ini. Terutama dalam keluarga. Saya suka marah-marah. Bahkan membentak walaupun perkaranya kecil.
Saya tidak sabaran.
Padahal keluarga saya baik-baik saja. Mereka mencintai saya, memperhatikan, dan merawat saya. Tapi saya kadang merasa hampa dan kurang tergerak untuk punya hati pada keluarga.
Mereka hanya diam saja. Mereka mungkin memaklumi saya. Mungkin belajar dari pengalaman, kalau saya sedang angot, mereka tidak mau mencari masalah yang lebih besar. Diam dan kadang-kadang menghindar.
Semakin mereka diam dan menghindar, saya semakin merasa hidup sendiri. Tidak ada yang menemani, merasa tidak dicintai.
Serasa, semua meninggalkan saya. Sepi sendiri.
Memang ada kesadaran dalam diri, kadang saya salah. Belum menjadi bapak yang baik bagi anak-anak; bagi keluarga. Belum bisa menyenangkan hati pasangan saya.
Saya juga heran. Dulu, orangtuanya tidak setuju dengan perkawinan kami. Saya berkali-kali berjanji untuk tidak menyia-nyiakan bahkan bersikap kasar.
Dan itu saya perjuangkan pada awal-awal hidup keluarga. Kami menikmati saat-saat di mana tidak ada kata-kata yang keras satu sama lain.
Dan dalam perjalanan waktu semakin lama semakin berubah. Kadang lupa bahwa saya punya pasangan dan anak.
Dalam doa pribadi tadi malam, saya sedikit menyadari kesalahan dan saya mulai berdoa: Ampunilah kelemahanku. Itulah doa saya, Mo.”
Memang ada penyesalan.
“Belajar dari pengalaman hidupku selama ini, akhirnya saya berani menyimpulkan hidup saya ya begini, Mo.
Beginilah hidupku.
Tak senikmat yang kubayangkan.
Tak seindah yang kuharapkan.
Tak sesuai yang kuinginkan.
Tak seirama dengan jiwaku.
Tak sewarna dengan hatiku.
Aku tak menerima diriku apa adanya. Aku tak menerima kenyataan yang kualami. Aku selalu melarikan diri dari kenyataan, mengejar hiburan-hiburan palsu dan kenikmatan-kenikmatan semu.
Tiba-tiba saya menangis di dalam doa. Tersentuh betapa Tuhan baik. Beberapa kali, Ia menyelamatkan aku dari kecelakaan maut. Terlebih keluargaku yang setia dan merawat aku.
Dan aku dengan sadar memohon, “Tuhan, adakah celah dan masih ada peluang lagi? Rasa-rasanya mustahil.
Aku yang salah dan akhirnya kalah serta kehilangan langkah.
Kini dalam kegoncangan langkah, aku masih mempunyai sedikit harapan untuk belajar menyayangi keluargaku kembali. Dan aku masih percaya bahwa Tuhan baik.
Santo Paulus dengan sangat indah dan mengagumkan; berani belajar dari pengalaman pahit hidupnya. Terpuruk, tapi dibangkitkan. Tersesat, tapi didapatkan,” jelasnya sangat lengkap.
“Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: ‘Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,’ dan di antara mereka, akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya.” ay 15-16a.
Menyadari diri sebagai pendosa itulah kita, Gereja. Himpunan orang-orang yang telah diampuni dan ditebus; menjadi saudara bagi yang lain dalam kasih, terlebih dalam keluargaku; menjadi sahabat dalam perjalanan hidup di dunia ini menuju Tuhan; dan hidup dalam kasih-Nya.
Yesus meneguhkanku dengan bersabda, “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik.” ay 45a.
Tuhan, akankah kutemukan jalan-Mu. Amin.