SETELAH selesai misa di Our Lady of Lanaval Sub Parish-Caloocan City-Filipina (Minggu, 13/05/18), saya membuka HP.
Ada pesan whatsapp masuk yang disertai beberapa foto menyampaikan bahwa telah terjadi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Salah satunya adalah Gereja Katolik St. Maria Tak Bercela di wilayah Ngagel, Surabaya.
Saya membalas pesan WA itu dengan singkat: “Saya menangis Indonesiaku.”
Setelah membalas pesan tersebut, saya tidak lagi membuka pesan whatsapp yang masuk termasuk Facebook hingga saya tiba di paroki. Alasan saya sederhana, hati dan pikiran tak mampu membaca setiap postingan disertai foto korban yang mana dalam postingan itu akan ada bermacam ragam komentar dan argumentasi.
Ketika saya tiba di paroki sekitar pkl.10.45 waktu lokal di Filipina, tiba-tiba saya dikagetkan oleh dua orang tamu yang sedang duduk di ruang tamu pastoran. Yang satu berpakaian suster dan yang satu mengenakan jilbab.
Dialog persahabatan
Mereka adalah Suster Andrea MASF dan Amriati Mutamainna yang sudah beberapa kali mengunjungi kami di Paroki Kristus Raja.
Suster Andrea MASF dan Inna (seorang muslim) kini tengah mengambil studi S-2 keperawatan di St. Paul University-Philippinnes.
Saya pun akhirnya menemani dan berceritera bersama mereka di ruang Pastoran termasuk saling syering tentang pengalaman hidup dalam perbedaan iman dan agama. Kami bertiga sepakat bahwa siapa pun yang melakukan tindakan kekerasan –termasuk teroris– adalah orang yang tak beragama secara benar. Karena setiap agama mengajarkan kasih, sikap terbuka dan menerima satu sama lain meski berbeda.
Perbedaan itu ‘welcome’
Inna menyampaikan bahwa perbedaan itu adalah welcome. Ia menceriterakan pengalamannya sebagai seorang muslim yang datang kuliah di negara mayoritas Katolik serta berada di lingkungan para suster SPC yang mengelolah Universitas tersebut, namun ia tidak diperlakukan secara berbeda, namun justru terbuka menerimanya.
Dari situ Inna menyadari bahwa berbeda itu adalah welcome dan memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan sebagaimana yang ia alami waktu melaksanakan di Cebu City pada Juni 2017, di mana ia tinggal bersama dengan salah satu keluarga Katolik. Inna menceriterakan bahwa selama masa-masa praktik di Cebu, mereka banyak mensyeringkan ajaran agama masing-masing agar melahirkan sikap terbuka dan saling memahami satu sama lain.
Merasa dihormati
Bahkan keluarga tersebut sudah hafal jam-jam sholat Inna. Sehingga pada jam-jam sholat, ia tidak diganggu dan menciptakan keheningan. Inna pun tidak segan-segan bertanya ketika ada yang tidak ke gereja pada hari Minggu. “Sudah misa belum? Misa dulu sana,” demikian kisah Inna.
Di samping itu, secara singkat Suster Andrea MASF, menegaskan bahwa perbedaan adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat ditolak. Mengimani Tuhan berarti harus siap menerima perbedaan. Karena perbedaan adalah dari Tuhan sendiri.
Penulispun tidak ketinggalan menceriterakan pengalamannya membangun dialog dan kerjasama lintas agama dan kepercayaan bersama teman-teman PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), teman-teman Protestan, teman-teman Ponpes Itihhad, teman-teman NU dan satu gerak kemanusiaan Forum Pelangi Kaltim dan Jaringan Gusdurian.
Indahnya keberagaman
Penulis menegaskan bahwa perbedaan membuat kita merasa damai ketika kita mampu memahami bahwa perbedaan itu adalah jalan untuk membangun kebersamaan. Kebersamaan itu tidak hanya karena kita sama, tetapi karena kita berbeda.
Kita semua –apa pun agama dan kepercayaan kita– sejatinya dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk menghadirkan kedamaian. Karena Tuhan melalui agama yang kita anut mengajarkan bahwa dasar dari segala perbedaan dan kedamaian adalah kasih yang saling menerima, menghargai dan melindungi satu sama lain tanpa menghancurkan.
Di akhir syering bersama, kami pun berfoto bersama di ruang tamu pastoran dengan mengacungkan dua jari sebagai pesan perdamaian untuk Indonesia dari Filipina seraya mendoakan korban bom yang terjadi di Surabaya dan mengecam tindakan teroris.
Kami tetap berpegang teguh pada satu prinsip seperti yang ditegaskan oleh Inna: “Agamamu, agamamu; agamaku, agamaku.”