Kamis, 21 Maret 2024
- Kej. 17:3-9;
- Mzm. 105:4-5,6-7,8-9;
- Yoh. 8:51-59.
HIDUP bersama orang lain sangat mungkin diwarnai dengan perbedaan pendapat apalagi jika kita memiliki latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda. Beda pendapat sampai konflik bisa
Komunikasi yang terjalin menjadi kadang tidak sambung. Apa yang dikatakan seseorang tidak dimengerti dengan baik oleh orang lain. Akibatnya, muncul beda pendapat yang makin meruncing, sikap membenci, bahkan bisa terjadi sikap menyakiti atau melukai satu sama lain.
“Waktu kecil saya ikut keluarga pamanku di kata lain,” kata seorang ayah. “Karena keluarga pamanku keluarga kecil, maka saya merasa diperlakukan dan diterima sebagai anak sendiri. Tidak banyak perlakuan antara saya dan anak mereka. Hubungan kami sangat akrab dan saya merasa bahwa keluarga pamanku yang kelaurgaku sendiri.
Hubungan yang baik itu, sempat terusik dengan hadirnya anak saudara lain, yang masih kerabat dengan bibi. Dia bawa kebiasaan sendiri dan berusaha menjadi pusat perhatian di rumah. Omongan dan sikapnya begitu berbeda dengan saya maupun anak paman. Jika ada beda pendapat dia langsung mengadu pada bibi atau cerita ke keluarganya dan kemudian keluarganya akan menyampaikan ke bibi, untuk menegor kami.
Kejadian itu sering kali terjadi hingga membuat kami mengambil jarak dengannya. Kami hilang kepercayaan dan kami tidak ingin bibi dan paman susah karena keberadaan kami. Hubungan yang baik, dan sikap saling percaya di antara kami memudar karena sikap arogan dan tinggi hati,” paparnya.
Suasana seperti itu juga pernah dialami Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang Yahudi.
Dalam bacaan Injil kita dengar demikian,”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.”
Kata orang-orang Yahudi kepada-Nya: “Sekarang kami tahu, bahwa Engkau kerasukan setan. Sebab Abraham telah mati dan demikian juga nabi-nabi, namun Engkau berkata: Barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.”
Bacaan Injil hari ini mengungkapkan konflik yang makin meruncing antara Yesus dengan orang Yahudi. Bahasa yang tidak sambung sering menimbulkan salah paham dan pertengkaran. Dibutuhkan penyelarasan terus-menerus supaya bisa mengerti satu sama lain. Demikian pula manusia dengan Tuhan. Ketika keselarasan itu dicapai maka “paduan suara” kehidupan pun bisa mencapai harmoni yang nyaman di seluruh indra kita.
Percakapan antara orang-orang Yahudi dengan Yesus ini dapat menuntun kita untuk mawas diri perihal kedalaman iman kita, entah dalam hal pengetahuan maupun penghayatan iman. Orang Yahudi mencela Yesus karena mengaku sebagai Anak Allah dan bersama dengan Allah. Orang Yahudi yang tidak mengerti itu mencela karena tidak mengenal Allah.
Pikiran negatif demi kepentingan diri sendiri menjauhkan mereka dari pertolongan dan rahmat yang disediakan Allah. Bahkan mereka memfitnah Yesus sebagai orang yang kerasukan setan dan ingin melempari dengan batu.
Bagaiamana dengan diriku?
Apakah aku menerima Yesus sebagai juru selematku?