Renungan Harian
Senin, 7 Juni 2021
Bacaan I: 2Kor. 1: 1-7
Injil: Mat. 5: 1-12
DI paroki di tempat saya menjalani pengutusan, terpilih seorang ibu dan seorang bapak yang mengampu seksi pengembangan sosial ekonomi. Keduanya dipilih atas usulan umat dan tokoh-tokoh umat di paroki.
Pada waktu itu saya masih baru bertugas, maka saya percaya dengan pertimbangan beberapa tokoh umat dalam pemilihan itu
Dalam perjalanan, saya dibuat kagum dengan pelayanan mereka berdua.
Ketika ada salah satu umat yang membutuhkan pertolongan, biasanya butuh bantuan-bantuan karitatif, saya selalu meminta saran mereka.
Atau saya mengarahkan umat yang membutuhkan untuk menemui salah satu dari mereka.
Mereka bisa mengerti dan mengenali mana umat yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan, mana yang “menipu-menjual” belas kasihan.
Banyak umat yang terbantu dengan kehadiran mereka sebagai seksi pengembangan sosial ekonomi.
Banyak umat yang dibantu untuk menjadi berdaya secara ekonomi, baik dengan cara berjualan atau membuat produk tertentu yang bisa dijual.
Mereka rela meluangkan waktu dan tenaga untuk mendampingi umat dalam pemberdayaan ekonomi keluarga, dan umumnya berhasil jika sungguh-sungguh ikut pendampingan.
Suatu ketika pernah terjadi, seorang umat yang dibantu, tetapi selalu gagal.
Saya mengatakan kiranya bantuan harus dihentikan, karena sepertinya tidak ada niat dari orang itu untuk dibantu dan berkembang.
Bapak dan ibu itu tidak menyerah dan meminta saya untuk tetap sabar dalam membantu.
Bapak itu mengatakan: “Romo, menurut saya orang itu bukan tidak ada niat, tetapi belum menemukan bentuk yang cocok. Orang yang dalam situasi seperti itu biasanya terantuk-antuk, karena rasanya semua pintu itu tertutup untuknya.”
Saya diam merenungkan apa yang dikatakan bapak itu, dan menyetujui untuk dibantu.
Dalam suatu pembicaraan, saya bertanya kepada mereka tentang kerelaan mereka untuk membantu banyak umat dalam karya sosial ini.
Mereka mensyeringkan pengalaman yang kurang lebih sama.
Mereka bercerita bahwa mereka dulu berada dalam situasi yang kurang lebih sama dengan umat yang dibantu. Ekonomi rumah tangga mereka seringkali kekurangan sehingga berada dalam kesulitan dan kebingungan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak sedikit.
Mereka berjuang untuk mencari cara menambah pendapatan bagi keluarganya.
Berjuang memulai usaha dari nol, dan mengumpulkan hasil dari usaha mereka rupiah demi rupiah.
Mereka berhitung dengan cermat, dan hanya menggunakan laba dari usaha dengan cermat pula sehingga bisa membesarkan usahanya.
Pada akhirnya usahanya berhasil dan dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Pengalaman mereka berjuang jatuh bangun, hingga berhasil dirasakan sebagai rahmat besar dalam hidup mereka. Dalam kesulitan dan penderitaan membangun ekonomi keluarga mereka merasakan banyak rahmat dari Tuhan melalui banyak orang yang membantu.
Maka pengalaman itu menjadi motivasi mereka untuk melayani banyak umat yang mengalami kesulitan ekonomi.
Mereka menyebut karya mereka sebagai berbagi rahmat dan kebahagiaan.
Syering yang luar bisa dan pembelajaran bagi saya untuk lebih berempati dengan umat yang mengalami kesulitan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat Surat Paulus kepada umat di Korintus:
“Ia menghibur kami dalam segala penderitaan, sehingga kami sanggup menghibur semua orang yang berada dalam macam-macam penderitaan.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah pengalaman syukurku menjadi motivasi bagiku untuk semakin berempati dengan orang lain?