Puncta 25 November 2024
Senin Biasa
Lukas 21:1-4
DI sebuah suku asli Afrika, seorang antropolog Barat menunjukkan sebuah permainan kepada anak-anak Afrika. Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di bawah pohon.
Dia memberi petunjuk kepada mereka, bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon, dialah yang berhak mendapatkan sekeranjang buah.
Tetapi ketika sang antropolog memberi aba-aba “mulai”, dia terkejut karena anak-anak berjalan bergandengan tangan bersama-sama tanpa berebut saling mengalahkan.
Ketika si antropolog bertanya, “Kenapa kalian tidak berlari mendapatkan yang pertama untuk memiliki sekeranjang buah?”
Mereka menjawab, “Ubuntu…. bagaimana salah satu dari kita bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih?”
Ubuntu dalam peradaban mereka berarti “Aku adalah Kita.” Suku ini memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika kita mau berbagi dan berbelarasa.
Rahasia ini telah hilang di tengah masyarakat modern yang individualistis dan sangat egosentris.
Orang Barat yang katanya beradab, maju dan modern justru meninggalkan warisan penjajahan, saling perang rebutan wilayah, kekayaan dan menindas bangsa lain. Tetapi anak-anak suku asli Afrika itu mengajarkan belarasa, saling berbagi, merasa senasib sepenanggungan, bekerja sama dengan rukun tanpa berebutan.
Yesus juga sedang menyindir orang-orang dengan memperlihatkan sikap janda miskin yang memberi persembahan dari kekurangannya disandingkan dengan orang-orang kaya yang memberi persembahan dari kelimpahannya. Bagi Yesus bukan soal kuantitasnya, tetapi kualitasnya yang bermakna, kerelaan yang tulus untuk memberi.
Yesus menyindir para ahli Taurat yang suka menindas janda-janda dengan kotbah panjang-panjang dan memperlakukan mereka dengan tidak adil. Dia menunjuk apa yang dilakukan janda miskin ini merupakan teladan hidup. Sebaliknya para ahli Taurat itu tidak memberi teladan baik.
Orang bisa disebut kaya, jika ia bisa memberi. Janda miskin itu hatinya kaya karena dia rela memberi tanpa pamrih. Ia menyumbangkan seluruh nafkahnya. Kita tidak perlu menunggu kaya dulu, baru memberi. Tetapi berilah selaku kamu bisa memberi.
Jalan-jalan bersama ke Kuala Lumpur,
Jangan lupa singgah makan nasi kebuli.
Orang bahagia jika ia mampu bersyukur,
Lebih bahagia lagi jika mampu memberi.
Wonogiri, rela berbagi
Rm. A. Joko Purwanto, Pr