Renungan Harian Misioner, Kamis Biasa, 1 Juni 2023
- Pesta St. Yustinus
- Sir. 42:15-25.
- Mzm. 33:2-3,4-5,6-7,8-9.
- Mrk. 10:46-52.
SELARAS pengalaman Ibu Teresa dari Calcutta atau Franciscus Xaverius atau Edith Stein dapatlah kita belajar untuk menjadi saksi Tuhan melalui kata-kata, pengajaran, keyakinan pastoralnya; bahkan juga dari cara hidupnya.
Jelaslah, bahwa pelaksanaan nasihat Injil dapat diwujudkan secara beraneka warna dan dalam lapisan hidup yang beraneka ragam.
Di masa akhir-akhir ini, banyak sekali murid Kristus, yang memberikan kesaksiannya di tengah kancah politik, ekonomi atau keilmuan di sekitar kita.
Cakrawala kesaksian iman memang luas. Bahkan ketika dirinya atau orang banyak seolah-olah tidak memperhatikan, kita percaya, Tuhan pasti mengulurkan hati-Nya.
Bacaan I diambil dari Kitab Putra Sirakh 42:15-25 yang kepada umat Allah memberi terang untuk berjalan sesuai dengan Cahaya Iman.
Artinya melampaui segala perhitungan manusiawi, hati orang beriman terus menerus terdorong mengarahkan tindak langkah, sesuai dengan teladan Sang Penebus. Keselarasan itu menyebabkan, bahwa manusia, khususnya para murid Kristus dapat memuliakan Allah di segala lapisan ciptaan dan bersama dengan seluruh alam semesta.
Disebutkan, bagaimana Kehendak Allah menyebabkan termuliakanlah Kebijaksanaan-Nya pada segala lapisan dunia.
Bahkan peristiwa atau kejadian yang nampaknya tidak berwarna cerah sekali pun, teranugerahkan menjadi kebahagiaan abadi.
Pelbagai segi peristiwa alam semesta menyingkapkan keagungan dari Yang Mahamulia.
Refleksi kita: kehendak Allah pasti baik; juga kalau dari sisi duniawi sesekali manusia menduga adanya duka dan mala yang membanjiri keluarga manusia.
Santo Yustinus diliputi duka derita yang amat membebani hati; namun dalam perjalanannya hidupnya, kebahagiaan abadilah yang dianugerahkan Allah dengan secara amat mendalam.
Refleksi kita: kita diundang untuk tidak putus asa di hadapan Allah. Sebab kerahiman-Nya tidak akan berhenti melindungi kita.
Bacaan Injil Markus 10:46-52 menceriterakan penderitaan orang dekat Yerikho yang tidak ringan. Sebab si ‘papa’ itu tidak dapat melihat, yaitu penyakit, yang di mana pun dan kapan pun senantiasa dianggap manusia sebagai penderitaan yang berat.
Secara sosial, ia tersisih, karena sulit menggunakan indranya yang penting, sehingga hidupnya diliputi kegelapan. Ketika berseru-seru meminta bantuan pun, untuk berjumpa dengan Penyembuh, sulitlah ia mendapat bantuan.
Dalam masyarakat kita masa kini, penderitaan, yang mencolok mata juga sering kali tidak mendapat perhatian memadai dari orang-orang, yang secara indrawi terpapar dekat dengan Tuhan Allah.
Syukurlah, bahwa Tuhan Yesus sendiri yang mengarahkan Hati-Nya kepada orang yang menderita itu. Sang Kristus pula yang mendekatkan Diri-Nya kepada orang yang terabaikan oleh sesamanya itu. Roh Ilahi menganugerahkan iman kepada orang itu, sehingga bisa mendengar sapaan Tuhan dan juga mendengarkan-Nya.
Karena keterbukaan hatinya itulah, ia menerima anugerah, yang tidak terkira: yaitu sapaan Yesus dan lalu sampai ke penyembuhannya. Dengan sangat jelas, Sang Penyelamat menegaskan, bahwa “Imannya yang menyelamatkan dia.”
Refleksi kita: Marilah kita membuka mata hati kita, supaya dapat menyadari, mengetahui dan merasakan sentuhan Hati Tuhan.
Doa kita: “Tuhan, bukalah hati bagi Roh-Mu, Sebab hanya Roh Kudus yang dapat menerangi Iman Hati kami, untuk membuka mata hati kami kepada Kerahiman dan Kebaikan-Mu.”