Home BERITA Belale’, Beduruk, dan Gawai Dayak: Kearifan Lokal Gotong Royong Khas Kalbar

Belale’, Beduruk, dan Gawai Dayak: Kearifan Lokal Gotong Royong Khas Kalbar

0
Ilustrasi: Ibu-ibu tani sedang panen padi di Emparu, Desa Emparu Baru, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalbar. (Sr. Caritas SMFA)

INI cara umat Paroki Stella Maris Siantan di Pontianak melestarikan semangat gotong royong sesuai kearifan lokal khas Kalbar yakni belale’ dan beduruk.

Kali ini, mereka bergotong royong “membangun” gereja. Sore itu, hari Kamis tanggal 13 Mei 2021, sejumlah bapak-bapak dan ibu-ibu tengah sibuk bekerja di halaman Gereja Stella Maris Siantan di Pontianak.

Beberapa  ibu-ibu dengan sekop di tangan mengisi pasir dari gundugan pasir di depannya ke dalam gerobak dorong.

Sebagian lagi mendorong gerobak  menuju ke sisi sebelah kiri bangunan gereja. Beberapa ibu meratakan tumpukan pasir di tempat yang baru itu  dengan cangkul.

Di tempat lain beberapa lelaki terlihat di sekitar bangunan bekas gereja lama,  membongkar pancang, dinding, langit-langit dan atapnya. 

Beberapa lelaki lain mengangkut potongan-potongan kayu, kabel bekas dan sampah-sampah  hasil  pembongkaran. Di antara lelaki yang sedang sibuk dengan pekerjaannya itu ada dua imam yang ikut bekerja bersih-bersih.

Mereka adalah Pastor Aloysius Tombokan MSC dan Pastor Yopi Paulus MSC. 

Pastor Aloysius Tombokan MSC atau lebih dikenal dengan sebutan Pastor Ho adalah Pastor Kepala Paroki Stella Maris Siantan Pontianak. Ia tampak mendorong gerobag berisi potongan-potongan kayu.

Sedangkan Pastor Yopi terlihat  mengemas kabel yang berserakan di tanah.

Dua imam Pastor Paroki ikut terjun kerja bakti secara gotong royong membersihkan lingkungan gereja dan pastoran. (Br. Dinus Kasta MTB)

Bapakat

Para lelaki yang sore itu bekerja gotong royong itu tergabung dalam Kelompok Bapakat Paroki Stella Maris.

Bapakat singkatan dari Bapak-bapak Katolik.

Menurut Ketua Bapakat Bartholomeus Arosi, Bapakat diresmikan sebagai wadah untuk bapak-bapak Paroki Stella Maris Siantan, tanggal 6 Nopember 2016.

Terjadi atas inisiatif Pastor Kornelius Kuli Keban MSC yang saat itu menjadi pastor paroki.

“Dalam wadah Bapakat, bapak-bapak Katolik paroki ini diajak dan diarahkan memiliki semangat kasih dan persaudaraan mampu menjadi penggerak, pelayan sosial, pemberdaya ekonomi dalam kehidupan keluarga, lingkungan dan paroki”, demikian Bartholomeus.

Ia sendiri punya tugas pokok sebagai ASN dengan posisi Pimpinan Penyelenggara Bimas Katolik Kementerian Agama Kota Pontianak.

Seperti bapak–bapak lainnya, pekerjaan utama mereka adalah menjadi ASN, TNI atau Polri. 

Demikian pula ibu-ibu muda yang sore itu turut bekerja. Dari mereka ada yang menjadi guru, perawat atau pegawai di lembaga swasta di Kota Pontianak.

Mereka masing–masing komit mau mengatur waktu agar tugas pokoknya baik sebagai pegawai negeri ataupun swata dan sebagai ibu rumahtangga tidak terganggu.

Bapakat dan para ibu Paroki Siantan terjun langsung kerja bakti bergotong royong. (Br. Dinus Kasta MTB)

Tenaga sukarela

Gregorius salah satu anggota Bapakat. Sore itu ikut hadir kerja bakti. Ia melibatkan diri dalam kegiatan ini, setelah tugas pokoknya selesai.

“Saya berangkat dari rumah, setelah pulang dari tugas utama saya di Rumah Sakit Kota Pontianak,” ujarnya.   

Demikian pula diungkapkan Bripka Kristanto, Ditlantas Polda yang menjadi Ketua Lingkungan Santo Fransiskus Xaverius.

Gotong royong di Jawa

Bekerja sukarela bersama untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama sudah menjadi tradisi orang Indonesia sejak dulu. Terutama masyarakat pedesaan.

Dalam masyarakat Jawa dikenal dengan nama gotong royong.  

  • Gotong berarti memikul.
  • Royong artinya bersama.

Sampai pada tahun 1980-an warga pedesaan membangun rumah atau jalan secara gotong royong.

Misalnya saja di salah satu tempat di wilayah Pegunungan Menoreh, Kulon Progo, Yogjakarta, ada istilah gugur gunung.

Warga secara bersama membangun jalan yang melewati pemukiman mereka. Baru kemudian sebut saja pada jalur-jalur utama, pemerintah lalu membantu memperkuatnya dengan aspal.

Belale’

Di wilayah Kalimantan Barat di antara permukiman sub suku Dayak Kanayatn (baca: Kanayan), Desa Senakin, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, sedari dulu sudah ada bentuk kerjasama yang merupakan kearifan lokal.

Mereka menyebutnya Belale’ (baca: belalik).  

Praktik kerja gotong royong bernama Belale’ di Senakin, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. (Sr. Sisilia Sri Susanti CP)
Takin atau Jare adalah nama wadah pengangkut padi di Senakin, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. (Sr Sisilia Sri Susanti CP)

Di jalur media sosial, Sr. Sisilia Sri Susanti CP, puteri aseli dari Senakin yang saat ini tinggal di Malang menjelaskan arti Belale’.  

Belale’ artinya kerjasama sekelompok orang yang secara bersama-sama mengerjakan lahan untuk menanam padi. Baik sawah atau ladang.

Satu kelompok bisa terdiri 5-10 orang.

Mereka bekerja secara bergiliran; dari tempat yang satu ke tempat berikutnya.

Mulai dari menebas. Ini adalah pekerjaan awal, membersihkan area sawah atau ladang dari rumput atau kayu.

Apabila pekerjaan awal di suatu lokasi selesai, kelompok Belale’ akan pindah ke lokasi lain dengan pemilik  lahan lain dalam kelompok itu.

“Saat masih kecil, beberapa kali saya ikut mamak melakukan belale’,” ujar suster biarawati Kongregasi Passionis yang suka menjadi organis di gereja paroki.  

Beduru

Di tempat lain di wilayah sub suku Dayak Desa -masih di Kalimantan Barat- Desa Emparu Baru, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, kerjasama persiapan membuat lahan pertanian itu disebut Beduruk.

Setiap sub suku dalam masyarakat Dayak memiliki bahasa yang berbeda, maka istilah–istilah yang digunakan juga berbeda.

Marda Yolanda, salah satu ibu petani sub suku Dayak Desa, penduduk Desa Emparu Baru, menuturkan demikian.

Tradisi Beduruk merupakan kearifan lokal warisan nenek moyongnya. “Dengan melakukan beduruk itu, maka kerjaan mempersiapkan lahan tanam padi dirasa menjadi lebih ringan. Juga menghemat waktu dan biaya,” ujarnya.

Beduruk di Emparu, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalbar. (Sr. Caritas SMFA)

Pada musim tanam padi tahun ini, keluarga Bu Marda Yolanda menanam padi ladang. Dengan luas lahan kurang lebih satu hektar.

Pekerjaan mempersiapkan lahan tanam padi memerlukan waktu beberapa bulan dengan tahap-tahapan pekerjaan yang berbeda sampai lahan itu nantinya siap ditanami padi. “Kalau dikerjakan sendiri, jelas kami tak mampu,” imbuhnya.

Delapan tahapan kerja

Ini kutipan tulisan Romo Fransiskus Gregorius Nyaming, seorang pastor dari Keuskupan Sintang, dalam tulisannya berjudul Tradisi Beduruk dalam rubrik Kompasiana (Juli 2020).

Ia menyebutkan ada delapan tahap dalam beduruk. Mari kita bahas satu per satu tahapan kerja itu.

  • Memilih lokasi (Mangul).
  • Menebas (Nebas).
  • Menebang (Nebang).
  • Membakar Ladang (Nunu).
  • Mengumpulkan dan membakar kayu-kayu sisa pembakaran (Nayak).
  • Menanam (Nugal).
  • Menyiangi (MabauNgemabau).
  • Akhirnya Memanen (Ngetau).

Demikian tahapan-tahapan itu ditulis Romo Fransiskus Gregorius Nyaming dari Keuskupan Sintang di Kalbar.

Gawai Dayak

Bu Marda Yolanda menjelaskan lagi hal ini. Pekerjaan persiapan lahan tanam padi ini biasanya dimulai bulan Agustus atau September.

Baru kemudian diharapkan sudah akan bisa menuai panenan bulan Mei atau Juni. Pada bulan-bulan panen inilah lalu diadakan ritual acara Gawai Dayak.

Melalui gotong royong, belale’ atau beduruk masyarakat pada umumnya merasa bahwa kerjasama atau kerja bakti bukan hal yang baru, apalagi asing.

Dari kerja gotong royong inilah lalu diperoleh pelajaran tentang kebersamaan, kegembiraan, kerelaan membantu, bahkan sebagai bentuk keluar dari kenyamanan/kemapanan diri.

Tentang kesempatan bisa keluar dari kenyamanan, maka mari kita dengar kisah Sr. Caritas Naomi SMFA. Ia berkisah tentang komunitasnya di Desa Emparu Baru.

Sekali waktu, demikian kisahnya, ia dan beberapa suster biarawati Suster Rakyat (volkzusters) Kongregasi SMFA lainnya ikut terjun berpartisipasi dalam kegiatan beduruk.

Berlangsung di lahan salah satu umat paroki. Waktu itu ada umat yang -karena terlalu “sayang” sama para suster biarawati ini sampai berani komentar, “Suster, lebih baik tinggal di rumah saja. Tidak kepanasan.”

Para Suster SMFA turut melakukan Beduruk di Emparu Baru, Sintang. (Dok. Sr. Caritas SMFA)

Kalau warga masyarakat secara umum sudah terbiasa dengan tradisi gotong royong, maka semangat kerja bakti bersama itu juga dapat diterapkan oleh warga Gereja. Utamanya dalam merawat dan memelihara lingkungan gereja.

Salah satu bentuknya adalah rasa tanggungjawab warga Gereja dengan merawat lingkungan gereja.

Gedung Gereja Stella Maris Siantan Pontianak ini pertama kali dibangun tahun 1955 dan baru selesai tahun 1960.

Tempatnya strategis, karena tepat di sisi jalan raya. Tepatnya di Jl. Gusti Situt Mahmud 100, Siantan Tengah, Pontianak Utara, Kota Pontianak.  

Kemudian  tahun 2014 mulai dibangun gedung gereja yang baru. Bangunan utama  gedung gereja yang baru sudah mendekati selesai.  

Bagian depan; bekas gedung lama dan lingkungan sedang ditata. Menata lingkungan gereja yang luas memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Komitmen merawat semangat gotong royong dari Umat Paroki Siantan di Pontianak dari kalangan Bapakat dan sejumlah ibu-ibu penggiat paroki. (Br. Dinus Kasta MTB)

Untuk itulah, Bapakat sepakat menyumbangkan tenaganya membantu menata lingkungan.

Halaman ditinggikan dengan menimbun pasir, menata parit, mempersiapkan lokasi jalan salib dan juga menanam pohon di bagian belakang dan sisi kiri gedung gereja.

Menjadi berat karena lokasi itu luas dan tekstur tanahnya lebih rendah dari jalan raya. Mudah tergenang air, terutama pada musim hujan.

Ditemui di depan pastoran, Pastor Aloysius Tombokan MSC menjelaskan pentingnya penataan lingkungan yang rapi indah dan sejuk, agar umat yang datang merasa nyaman dan kerasan.

“Ini rumah Tuhan tempat berdoa, jadi harus rapi dan indah,” demikian tegasnya.

Lokasi Gua Maria yang terletak di bagian depan sebelah kanan gereja dan pastoran yang terletak di sebelahnya sudah tertata rapi.

Pastor Ho dan Pastor Yopi di depan pastoran. (Br. Dinus Kasta MTB)

Bangga dengan umat paroki

Pada kesempatan lain, Pastor Ho mengajak agar umat selalu senang terlibat dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan kegiatan–kegiatan hidup menggereja.

“Gereja itu milik umat, maka umat harus bertanggungjawab,” demikian tegasnya.

“Bantuan umat dapat berupa materi, tetapi juga dapat berupa tenaga seperti yang telah terjadi  selama ini,” imbuhnya.

Selain ajakan keterlibatan umat secara nyata, Pastor Ho merasa bangga dengan umat paroki Stella Maris Siantan Pontianak

”Saya merasa bangga dengan umat paroki ini, karena mereka memiliki semangat kuat dan kegembiraan persaudaraan dalam kegiatan–kegiatan terutama dalam kerja bersama ini,” tuturnya.

Menurut penuturan Bartholomeus Arosi, bapak-bapak dan ibu-ibu telah aktif bekerja dalam semangat gotong royong sejak bulan Januari 2021.

Hari menjelang malam, bapak–bapak dan ibu-ibu yang sore itu bergotong royong mengemaskan alat-alat kerjanya dan bersiap pulang ke rumahnya masing-masing.

Sebelum berangkat pulang, ibu-ibu menyempatkan diri singgah di Gua Maria. Untuk berdoa dan mengucap syukur bahwa hari itu mereka telah bekerja untuk Tuhan dan Gereja-Nya.

Pontianak, 20 Mei 2021

Br. Bernardinus Sukasta MTB

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version