INI kisah lama. Namun baik juga kita simak kembali. Ini tentang sosok orang biasa, pekerja keras, penganyam rotan tanpa ibu jari.
Begitulah pribadi seorang Cornelius Fabianus Tibo (alm). Pria yang lahir di Ende, Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 5 Mei tahun 1945 ini semasa kecilnya tidak tamat sekolah, karena kurang mampu.
Hanya untuk mencari sesuap nasi, ia berani bekerja merantau keluar kampung halamannya sampai akhirnya memutuskan menjadi petani dan menetap di kawasan transmigrasi Beteleme, Desa Jamur Jaya.
Meskipun memiliki tangan kanan tanpa ibu jari, justru tangan kanan itulah yang menjadi tumpuannya dalam bekerja, baik ketika bekerja di kebun maupun menganyam rotan.
Tibo bukan seorang berpendidikan tinggi, namun ia dianggap sebagai seorang teladan dan guru bagi anak-anak Gereja Jamur Jaya yang sering ia bimbing. Dia juga tidak mengeluh, namun mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepadanya, serta menggunakan kelemahannya menjadi kekuatannya.
Om Tibo
Di mata masyarakat setempat, Tibo dikenal sebagai petani dan penganyam rotan yang rajin, ulet, telaten, memiliki kepedulian sosial yang tinggi serta sangat taat beribadah.
Tibo bahkan diakui juga sebagai pelindung dan pengayom masyarakat setempat tanpa membedakan suku dan agama. Itulah sebabnya ia selalu disapa dengan panggilan “Om Tibo”.
Kasus Poso
Sepanjang tahun 2000, terjadi konflik berlatarbelakang isu-isu SARA dan golongan yang berlanjut di Poso, Sulawesi Tengah.
20 tahun yang lalu, ratusan warga di Poso meregang nyawa agar tidak menjadi korban dalam kerusuhan yang penuh kekacauan itu. Puluhan bangunan rusak, ratusan nyawa hilang, puluhan anak kehilangan keluarganya, rasa saling percaya luntur, reaksi yang tidak dapat dikendalikan, serta keadilan tidak ditegakkan.
Kedatangan Tibo bersama kedua rekannya, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu hanyalah untuk membantu menyelamatkan anak-anak. Juga para suster dari kompleks Gereja Santa Theresia yang pada saat itu juga menjadi fasilitas masyarakat Poso yang terbakar akibat penyebaran api dalam kerusuhan tersebut.
Namun, pada akhirnya mereka yang merupakan masyarakat biasa ini dituduh dan dinyatakan bersalah atas penganiayaan, pembunuhan dalam kerusuhan ini karena tekanan dari masyarakat sekitar.
Iman menguatkan mereka
Di balik jeruji besi, setelah penangkapan, mereka dikuatkan oleh iman mereka. Yesus menyapa dan meneguhkan Dominggus, Bunda Maria mengajarkan novena kepada Marinus, Burung merpati Roh Kudus menerangi Tibo.
Kesaksian mereka di dalam penjara menjadi penyemangat hidup mereka, dan membuat mereka berserah diri kepada Tuhan.
Ribuan orang yang percaya kepada ketiga pahlawan tersebut berkumpul, unjuk rasa, dan berdoa sebagai usaha untuk menyelamatkan mereka.
Selama lima tahun mendekap dalam ruang isolasi, tiada hari dilalui Tibo tanpa membolak-balik lembaran Alkitab dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Di penjara Tibo tidak menderita, ia juga tidak marah. Tibo merasa tenang dan damai di dalam ruang isolasi dan di balik jeruji besi karena ia percaya akan Tuhan. Tibo percaya bahwa apa yang ditimpanya merupakan rencana Tuhan, dan semua itu baik.
Kisah hidupnya berakhir ketika menghadap ajal dalam pengeksekusiannya bersama kedua rekannya pada tanggal 22 September 2006 pukul 1 dinihari.
Hak asasi manusia
Di masa pandemi COVID-19 ini banyak permasalahan sosial, seperti hak asasi manusia menjadi salah satunya yang berdampak vital bagi kehidupan bermasyarakat. Para dokter dan pekerja rumah sakit merupakan orang-orang yang berperan penting dalam penanganan medis COVID-19 di seluruh dunia. Namun tak jarang pula banyak sekali mereka yang turut terinfeksi virus tersebut.
Banyak sekali dari mereka yang dikucilkan, bahkan diusir oleh masyarakat sekitarnya karena takut apabila tertular virus.
Mencari relevansinya
Kisah Tibo dapat dianalogikan sebagai peristiwa yang dialami oleh para tenaga medis tersebut. Sesuai kronologi kisah Tibo dituduh dan ditangkap oleh para aparat, niat Tibo hanyalah untuk membantu mereka yang terperangkap dan membutuhkan bantuan, sama seperti para tenaga medis yang dikucilkan.
Namun semua itu tidak membuat mereka, baik Tibo maupun para tenaga medis merasa jauh dari kebaikan mereka. Mereka yang dikucilkan selalu tabah, sabar, dan berharap keajaiban menyelamatkan mereka.
Sama seperti Tibo, para dokter, perawat, dan tenaga medis merupakan pahlawan yang menyelamatkan banyak nyawa. Para tenaga medis yang terinfeksi virus, juga Tibo yang hanya bisa berharap di balik jeruji besi semuanya gugur dengan terhormat, sebagai pahlawan.
Menjadi rakyat Indonesia merupakan hal yang mendasari segala perbuatan Tibo dan kedua rekannya semasa hidup. Ajaran kebaikan dari Yesus juga menjadi acuan mereka dalam bertindak. Penuduhan atas kerusuhan di Poso tidak membuat iman mereka goyah karena Yesus mengajarkan mereka untuk berserah diri dan berdoa.
Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu adalah pahlawan yang menyelamatkan banyak nyawa, namun mereka harus berkorban demi melaksanakannya.
Sebagai rakyat Indonesia yang beragama Katolik, pemahaman atas stigma dan diskriminasi atas mereka yang terinfeksi virus COVID-19 harus dihilangkan.
Pengorbanan pada tenaga medis dan Tibo telah menyelamatkan banyak nyawa, kecuali mereka sendiri.
Semoga kesadaran kita atas mereka yang berani berkorban mampu merubah pandangan negatif kita, dan membantu kita untuk hidup rukun, saling membantu, dan selalu setia kepada Tuhan dimanapun kita berada.
PS: