Saat macet dan panas, aku memandang iri mereka yang bermobil. Sungguh enak mereka. Pastilah di dalamnya dingin karena AC dan nyaman karena musik yang disetel.
Saat hujan, aku sering mengumpat pada para pengendara mobil sialan yang tak peduli dengan memacu kendaraannya melewati kubangan dan mencipratkan lumpur ke mukaku.
Tahun-tahun berselang, aku mulai bisa menyicil mobil bekas untuk menggantikan motor bututku.
Hatiku senang dan riang. Goodbye panas-panasan saat macet. Selamat tinggal basah-basahan saat hujan.
Tapi senang dan riangku tak lama.
Pemda bikin Busway dan jalanpun makin sempit. Macet pun kian parah dan tak kenal waktu dan tempat. Hujan tak lagi bikin badan basah, tapi bikin jalan makin tak karuan.
Bermobilpun menjadi siksaan. Tungkai pegal, pinggang serasa mau copot.
Kemarin kulihat sepasang sejoli bermotor di lampu merah. Si gadis memeluk mesra cowoknya dan mereka berdua asyik bercakap-cakap sambil menunggu lampu hijau.
Aku menoleh kesamping dan melihat mantan pacarku yang sekarang menjadi istriku sedang sibuk dengan jari jemarinya menari-nari lincah di atas keypad BB-nya.
Selintas terpikir, kalau boleh memilih, aku akan lebih suka berpanas-panas atau berhujan-hujan dengan motor serta bersentuhan dengan istriku, daripada bermobil tapi duduk diam berjauhan.
Tapi lalu kutersadar bahwa kami tak lagi muda.
Aku teringat beberapa tahun yang lalu, terakhir kali aku naik motor dari rumah ke kantor dan langsung masuk angin selama beberapa hari.
Mungkin masalahku bukan bermotor ataupun bermobil. Tetapi akulah yang susah untuk bersyukur.
Teringatku akan wejangan favorit ibuku.
Ia mengatakan dalam bahasa ibuku: Menungsa ki le, menus menus ngangsa. Manusia itu makhluk tak tahu diri dan rakus.
Akupun tersenyum. Ternyata bermotor ataupun bermobil, sama saja.