SEJAK Mei 2017, Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta (FMKI-KAJ) seperti mendapat ‘darah segar’. Banyak generasi muda mulai mengisi pos-pos penting di jajaran kepengurusan di forum ‘rembug bersama’ antarberbagai elemen organisasi sosial-kemasyarakatan berlabel katolik di tlatah KAJ ini.
Komunikasi Generasi Millenial
Yulius Setiarso –Ketua Umum FKMI KAJ mulai 2017-2020— bolehlah dibilang anak produk Zaman Millenial generasi awal. Bersama Maximinus AD Purnomo sebagai Sekretaris Umum, Yulius mencoba mengaktifkan roda organisasi FMKI KAJ dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan edukatif yang mencerahkan pikiran dan menambah wawasan.
Program edukatif yang mencerahkan pikiran dan menambah wawasan ini akhirnya berhasil digelar dalam sebuah diskusi terbatas bertema “Komunikasi Generasi Millenial”.
Dua perspektif tentang Generasi Millenial
Mengambil lokasi di Gedung Yohanes di Paroki St. Yohanes Penginjil – Blok B, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu tengah hari (17/12/17), perbincangan dengan topik bahasan yang sangat ‘membumi’ ini menghadirkan dua narasumber yang berkompeten di bidangnya masing-masing.
Kedua narasumber itu adalah:
- Andre Prodjo. Sehari-harinya, Andre yang telah banyak makan garam berkecimpung di dunia kreatif periklanan adalah CEO Meme Comic Indonesia.
- Lainnya adalah Dominique Nicky F, dosen alumnus Inggris dan kini menjadi peneliti profesional di CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Jakarta.
Dalam pengantarnya mengawali diskusi terbatas bersama Andre dan Nicky tersebut, Yulius Setiarto menyebut kedua narasumber itu masuk kategori mumpuni. Itu karena keduanya sehari-hari bergaul dengan kaum Generasi Millenial “Zaman Now”.
Karena itu, kata Yulius, Andre akan bicara tentang model komunikasi Generasi Millenial dan content-nya dari perspektif praksis nyata. Paparan itu berangkat dari pengalamannya menyerap pola komunikasi Generasi Millenail “Zaman Now” yang dia temukan dan amati dalam pergaulannya sehari-hari bersama anak-anak muda “Zaman Now” ini.
Sementara Nicky, kata Yulius, akan meneropong fenomena tatanan sosial dan model komunikasi anak- anak muda “Zaman Now” ini dari perspektif ‘alam pikir’ mereka dalam mempersepsi sesuatu yang berkembang di masyarakat.
Berikut ini adalah tulisan serial tentang peristiwa diskusi terbatas tersebut dalam bingkai besar pemikiran pop urban culture yang kini tengah dihidupi oleh Generasi Millenial “Zaman Now” tersebut.
Komunikasi nirkabel merubah tatanan
Revolusi Industri yang terjadi mulai pertengahan abad ke-18 telah merobek stuktur tatanan sosial masyarakat yang selama ini telah eksis.
Revolusi ‘radikal’ (kata Bahasa Latin ‘radix’ berarti ‘akar’) dalam bidang proses mencipta barang telah menciptakan tata pola relasional antarmanusia yang sama sekali baru di masyarakat. Dari yang semula proses manufaktur itu terjadi di kelas rumahan (home industri), kini berubah menjadi massif.
Orang berbondong-bondong ke kota menjadi buruh industri sehingga terciptalah hubungan majikan dan buruh. Urbanisasi terjadi di sini.
Revolusi karena smartphone
Revolusi besar lainnya juga telah mengubah struktur tatanan sosial: menciptakan sistem tata nilai sosial yang benar-benar grès dan menerapkan pola berkomunikasi yang juga anyar.
Fenomena ini terjadi sejak dekade terakhir. Hal ini akan menjadi makin massif dan intensif, ketika keseharian hidup setiap orang di “Zaman Now” sudah tak bisa pisah dari yang disebut smartphone.
Smartphone adalah perangkat alat berkomunikasi sekaligus penyimpan data. Alat ini termasuk hasil temuan terkini di bidang teknologi komunikasi nirkabel. Dalam hidup manusia sekarang ini, ‘status’ smartphone sudah menjadi barang indispensable –hal yang tak bisa dibuang dari keseharian hidup.
Ini secara berseloroh. Bagi suami, isteri dan anak boleh dilupakan sejenak, tapi jangan sampai smartphone hilang dari genggaman tangan. Bagi ibu-ibu, smartphone adalah ‘teman curhat’ dengan kelompok baya mereka manakala tengah asyik bergosip dan terlibat dalam omongan ringan. Bagi anak-anak, smartphone adalah ‘pengisi hidup’, ketika orangtuanya hanya sibuk bekerja dan sering melupakan mereka.
Nah, bagi anak-anak muda Generasi Millenial, smartphone adalah nyawa sekaligus hiburan mereka.
Konsep hic et nunc
Dulu, orang hanya bisa mengandalkan pesawat telepon berkabel untuk berkomunikasi. Namun, kini benda itu sudah dianggap usang–hampir masuk museum—karena orang bisa terkoneksi satu sama lain dengan cara yang sama sekali berbeda.
Konsepnya yang berlaku sekarang adalah model berkomunikasi yang mampu mengisi ruang dan waktu secara hic et nunc (sekarang dan di sini) dan berlangsung secara real time. Semua ini menjadi mungkin lantaran tersedianya berbagai progam aplikasi di semua perangkat smartphone.
Selain dompet, yang kini harus selalu ada di saku atau dalam genggaman orang di setiap kesempatan apa pun adalah smartphone. Bahkan saat tidur pun, orang tetap ingin ‘ditemani’ smartphone-nya.
Rasanya tanpa smartphone
Tanpa smartphone ada di genggaman tangannya, mana ada orang sekarang masih berani mengaku diri tetap merasa aman dan nyaman. Tidak ada.
Orang bisa melupakan banyak hal, namun ia tidak mampu membebaskan diri dari keterikatan akan smartphone.
Kehilangan atau tidak punya lagi smartphone, maka berarti orang itu telah ‘terputus koneksinya’ dengan dunia, tidak terjalin lagi dengan kelompok bayanya (peer groups), merasa diri tidak eksis lagi lantaran tak berkesempatan bisa lagi meng-update status.
Situasi-situasi macam itu merupakan disaster yang merobek kedirian sekaligus menciderai eksistensi Generasi Millenial “Zaman Now”. Bagi banyak orang, dunia ini serasa kiamat, manakala tiba-tiba tak mampu mengisi content komunikasi dengan meng-update statusnya di medsos hanya gara-gara tangannya tidak memegang smartphone”. (Berlanjut)
http://www.sesawi.net/2017/12/08/bingung-hadapi-generasi-now-millennial-inilah-jawabannya-1/