PASANGAN Erman dan Dapit berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat. Saya belum pernah bertemu Erman, tukang batu pocokan yang kini jarang mendapat pekerjaan. Tapi Dapit selalu lewat di depan rumah saya, mungkin sejak sebelum masa pandemi. Paling tidak seminggu tiga kali dia menjajakan dagangannya. Perempuan sepuh yang jalannya pelan, kira-kira berumur 55 tahun.
Teriakannya tak begitu jelas, tapi saya dan para tetangga tahu apa yang dijualnya, rempeyek.
Ada kacang tanah, kacang kedelai dan rebon (udang kecil). Semuanya buatan sendiri, rasanya gurih dan renyah. Terasa kalau minyak gorengnya bukan bekas-pakai atau abal-abal. Singkat kata, kami suka rempeyek bikinan Dapit.
Harganya tak mahal. Satu kantong plastik ukuran sedang dipatok delapan ribu rupiah. Kalau beli dua, cukup bayar lima belas ribu. Setiap kali berdagang dia membawa 50-60 kantong.
Pagi tadi, seperti biasa, teriakannya terdengar saat masuk gang. Saya bergegas keluar rumah menyambutnya.
Kami ngobrol remeh temeh sebentar. Kali ini topiknya harga bahan yang terus naik dan pembeli yang semakin berkurang.
Sejak dua bulan lalu, harga rempeyek naik bertahap. Awalnya tujuh ribu rupiah kemudian rata-rata 3 minggu naik lima ratus. Herannya, uang yang dibawa pulang tidak bertambah dibanding ketika pasang harga lama. Dapit bingung, meski saya langsung paham apa sebabnya.
Satu hal yang saya kagumi dari Dapit adalah semangat juangnya yang terus berkobar. Dapit terus berniaga sambil berpegang prinsip “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.
Dapit tak pernah manja. Bandingkan dengan mereka yang langsung teriak di laman FB atau IG saat Pertamax kosong di SPBU. Padahal, kalau dia sabar menunggu 12 jam saja, antrean Pertamax sudah lancar kembali. Status medsos sebelumnya berkenaan dengan kelangkaan minyak goreng yang jadi “tangisannya”.
Saya banyak menjumpai kisah mirip Dapit. Diantaranya tentang seorang laki-laki setengah baya. Namanya Maman (nama alias).
Penjual gorengan yang mangkal di pinggir jalan tak jauh dari rumah saya.
Harga gorengan per potong naik dari dua ribu lima ratus rupiah menjadi tiga ribu untuk 2 potong gorengan. Sama harganya, entah itu pisang goreng, martabak, ketela atau tahu.
Tak pernah saya mendengar dia mengeluh meski kompor dapurnya nyaris terguling akibat kenaikan minyak goreng. Dia mlengos sambil tersenyum, saat disinggung soal malapetaka ini.
Mungkin sebagai jawaban ketika beberapa kali saya tegur kala gerobaknya diparkir terlalu ke tengah jalan hingga banyak mobil mengkilat terganggu lajunya.
Menyesal saya karena “sok disiplin” menertibkan mereka.
Di Indonesia, masih banyak manusia tangguh seperti Dapit dan Maman. Jumlahnya mungkin jutaan atau puluhan juta atau bahkan lebih. Sebagian (sangat besar) menyikapi dengan ketangguhan, kerja keras dan pantang menyerah. Beberapa membuat terobosan yang out of the box.
Pagi ini saya mendapat pelajaran berharga dari Dapit dan Maman. Bisnis mereka yang sedang terganjal hebat dijawab dengan senyuman. Bukan protes melalui medsos atau dari tengah jalan protokol.
Kelangkaan dan kenaikan minyak goreng dijawab dengan sikap positif dan tidak cengeng. Mengeluh sih wajar, silakan saja. Tapi hendaknya yang pas dan proporsional.
Ketika saya menulis artikel ini, terngiang-ngiang suara Dapit yang menjajakan dagangannya.
“Peyek enak, peyek enak….”
Tiap hari Minggu, Dapit berjalan dengan anggun lewat depan rumah saya. Tak terkecuali tadi pagi. Persis ketika beberapa pembelinya sedang merayakan Hari Minggu Palem.
Meski beban yang disangganya cukup berat, Davit tak pernah lelah berjalan kaki mengelilingi gang demi gang. Jempol kaki kirinya agak bengkak, tapi langkahnya diusahakan tak pincang. Tekadnya besar untuk mengalahkan segala kesulitan dan sakit-penyakit. Para ahli menyebut bahwa Davit mempunyai “adversity quotient” yang tinggi.
Dapit berjalan sendirian, tidak naik keledai atau kuda. Tak juga ada sambutan gegap-gempita dengan lambaian daun palem atau bendera kecil yang dikibar-kibarkan dari pinggir jalan. Apalagi gelaran jubah atau baju di tengah jalan agar bekas tapak kaki Davit tercetak di sana.
Dapit tahu, meski tak banyak manusia yang menghiraukannya, tapi Sang Maha Kasih selalu ada di sisinya, seolah-olah dia hanya seorang diri ciptaaanNya yang paling istimewa. Davit tak peduli apa pun ketika dia berjalan terseok-seok di bawah terik matahari sambil tak henti-hentinya berteriak menjajakan dagangannya.
“God loves each of us as if there were only one of us”. (St. Agustinus – Filsuf dan Teolog)
“Selamat Merayakan Hari Minggu Palem, 10 April 2022”