Puncta 08.08.21
Minggu Biasa XIX
Yohanes 6: 41-51
SUATU kali, saya mendampingi grup ziarah ke Tanah Suci. Ada banyak keluarga, pasutri dan anak-anak yang ikut.
Ada sepasang suami istri yang selalu bawa nasi untuk sarapan di hotel.
“Bapaknya ini, kalau tidak makan nasi, tidak bisa romo. American breakfast atau makan roti, telur, keju dan sosis tidak kenyang. Pokoknya harus nasi,” kata sang isteri.
Mereka sudah menyiapkan segala sesuatu; mulai dari rice cooker, beras, abon, sambel goreng kentang, terik tempe, bahkan sambal dengan aneka rasa.
Bagi orang Indonesia, roti bukan makanan pokok. Kalau belum makan nasi, ya rasanya seperti belum kenyang.
Waktu di Seminari Tahun Rohani Jangli, kami diajari membiasakan diri sarapan roti tiap hari Kamis. Hari Rabu kami bergiliran membikin roti tawar sendiri di dapur susteran.
Hasil karya bikin roti disajikan untuk sarapan bersama.
Romo Natasusila Pr, rektor waktu itu ,berkomentar, “Kuwi sarapan apa wong kaliren?” (Itu sarapan atau orang kelaparan).
Romo melihat piring frater-frater penuh dengan roti. Sepiring berisi tiga tingkat sekaligus.
Ada yang komentar, “Gak kenyang Romo, kalau hanya makan selapis.”
Biasa makan thiwul, disuruh makan roti. Gak ngefek! J
am kuliah perut rasanya melilit-lilit, protes minta diisi.
Orang Yahudi bersungut-sungut kepada Yesus, karena Dia berkata, “Akulah roti yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya. Dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”
Roti adalah makanan pokok orang Yahudi. Makanan yang harus ada untuk membuat hidup menjadi kuat. Tanpa roti mereka tidak bisa hidup.
Seperti dahulu mereka diberi “manna” roti dari surga oleh Tuhan.
Orang makan bukan hanya supaya kenyang, tetapi supaya hidup.
Sekarang Yesus memberikan Diri-Nya untuk menjadi makanan supaya kita hidup dan sampai pada hidup kekal.
Yesus memberikan Diri-Nya untuk dipecah-pecah dan dibagi dalam Ekaristi. Pribadi Yesus yang dikurbankan itulah roti hidup bagi kita.
Bukan sekedar makanan yang mengenyangkan, sesudah itu lapar lagi. Tetapi makanan yang membawa kita kepada hidup yang kekal.
Kalau roti atau nasi atau thiwul atau ubi itu mengenyangkan perut. Namun sebentar lagi, kita akan merasa lapar.
Tetapi kalau kita menyatu dengan roti yang diberikan Yesus, yakni Tubuh dan Darah-Nya akan membawa kita ke hidup yang kekal.
Kita dijamin tidak akan lapar lagi. Syaratnya adalah kita menyatu dengan Kristus, Sang Roti hidup.
Maukah kita semakin hari semakin mendekatkan diri dengan Yesus? Maukah kita hidup seturut dengan nilai-nilai Kristus sendiri?
Tiap hari selalu makan roti.
Namun tidak bisa merasa kenyang.
Kita butuh makanan rohani,
Yang membuat hati damai dan tenang.