INILAH forum diskusi informal Forum Cripingan Alumni Seminari Mertoyudan tentang karir dan dunia bisnis sekarang dalam perspektif problem Generasi Millenial “Zaman Now”. Pada forum bincang-bincang santai dengan materi serius ini, Krisna lalu memaparkan enam jenis curse (kutukan) kepada Generasi Millenial agar mereka ini jangan sampai ‘salah langkah’ meniti perjalanan hidup.
Baca juga: Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Memilih Satu dari Dua Opsi: Paycheck vs. Purpose (3)
Mari kita urai satu per satu.
Kutukan #1 – Uang sebagai tujuan nomor satu
Uang merupakan ‘pelayan yang baik, majikan yang buruk’. Ketika mencari pekerjaan, Krisna menyarankan agar para millennial lebih berorientasi pada pengembangan diri dan peningkatan kapabilitas, bukan gaji.
“Carilah perusahaan yang terbaik di industrinya atau yang terkenal dengan pengembangan karyawannya. Jangan tergiur oleh gaji semata. Gaji akan mengikuti pekerjaan. Ketika kita berhasil, otomatis gaji juga akan bagus,” ungkap Krisna yang berpengalaman menjadi mentor bagi karyawan-karyawannya.
Kiat lain adalah carilah pengetahuan sebanyak mungkin. Belajar bukan langsung selesai, ketika sudah rampung belajar dan lulus kuliah.
“Sekarang ini sudah begitu banyak tersedia aneka macam aplikasi yang memberi pengetahuan bermanfaat dan hampir semuanya tersedia gratis di internet. Taruhlah itu seperti TED, Google Alerts, Seeking Alpha, Pulse, Quora, Audible, Slideshare, dll.”
Kutukan #2 – Hidup ini mudah
Generasi Millennial itu tumbuh berbarengan bersama media sosial. Tetapi apa yang ditampilkan teman, keluarga, para pengguna sosmed seperti yang sering muncul di Instagram, FB dan semacamnya itu adalah terutama ‘dunia kehidupan’ yang sudah ‘dipoles’. Tampilannya sengaja telah dipilih secara khusus yang bisa menonjolkan kesenangan, kesuksesan, dan kebahagiaan.
Jarang sekali, kata Krisna, para Generasi Millenial pengguna aneka jenis medsos itu suka menampilkan perjuangan, kesusahan atau kegagalannya. Tampila-tampilan visual seperti itu bisa dengan gampang akan memberi persepsi bahwa hidup ini seakan-akan gampang. Di situ tidak kelihatan adanya upaya kerja keras di balik semua kesenangan dan keberhasilan tersebut.
Krisna memberi tips agar Millennial jangan sampai terlena berlama-lama menikmati hidup di area comfort zone. “Keluarlah dari zona nyamanmu, keluar dari situasi yang mudah, lakukan hal yang lebih menantang,” kata Krisna.
Untuk bisa mencapai jenjang karier puncak, Krisna berpesan agar Millennial mencari tugas atau bagian yang menjadi blue blood dari suatu perusahaan.
Kutukan #3 – Perilaku tidak penting
Millennial lebih fokus pada kinerja dan kemampuan. Tak jarang, mereka ini sering memiliki tingkat kepercayaan diri yang berlebihan. Hal ini bisa mengakibatkan mereka cenderung mengabaikan perilaku.
Padahal perilaku itu tetaplah penting.
“Run to your job, bekerja dengan antusias, kelola energi dengan positif dan tunjukkan ke manajemenmu. Itu akan menaikkan peluangmu naik ke puncak. Kerjakan satu level melebihi tugasmu,” jelas Krisna sambil memberi contoh upayanya pribadi ketika memulai pekerjaan sehingga akhirnya berbuah kesuksesan saat ini.
Kutukan #4 – Budaya instan
Perkembangan teknologi yang cepat membuat orang berubah menuntut hasil secepat-cepatnya juga. Padahal meniti karier itu ibarat lari maraton, bukan lari jarak pendek seperti lari 100 meter yang bergengsi itu.
Daya tahan (endurance) merupakan kunci pembeda. “Menjadi kutu loncat bisa membunuh kariermu,” tegas Krisna mengingatkan Generasi Millenial sambil memberi tips jelas: “Keluarlah dari pekerjaanmu, ketika sudah berhasil, bukan ketika kamu lagi gagal.”
Kutukan #5 – Fokuslah pada jaringan relasional
Dunia medsos yang menonjolkan berapa jumlah pertemanan di FB, follower di Instagram dan sejenisnya lebih mementingkan jumlah, bukan kualitas.
Padahal membina jejaring sejak awal sangat penting. Relasi yang terjaga baik akan menguntungkan di masa depan.“Gunakan medsos untuk membina relasi dengan teman,” ujar Krisna.
Kutukan #6 – Yang dipentingkan belajar
Generasi Millennial kadang diidentikkan dengan “Generasi Piala”.
Pendidikan formal menekankan pendekatan positif terhadap setiap anak, maka kehadiran di sekolah bisa menjadi alasan untuk memberikan piala penghargaan kepada seorang anak. “Tentu tidak salah belajar, tetapi pada akhirnya hasil sangat menentukan,” kata Krisna di akhir penjelasannya.
Setelah itu, dibuka sesi tanya jawab yang ramai diisi sharing oleh beberapa alumni Seminari Mertoyudan.
Di antaranya adalah Basuki asal Pati dan Budi Agus asal Muntilan – kedunya alumni Mertoyudan tahun 1977- yang berbagi pengalaman mereka menangani karyawan Generasi Millennial; baik di kantor maupun di rumahnya masing-masing. Juga ada sharing dari Alumnus Mertoyudan yang masuk golongan Millennial.
Arah perekonomian Indonesia
Di akhir pertemuan, Th. Wiryawan, alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1979 memberi informasi seputar arah perekonomian negara saat ini.
“Tahun depan yang disebut Tahun Politik memberikan arah positif, karena uang akan lebih banyak beredar, bantuan tunai akan turun. Maka tingkat konsumsi masyarakat akan naik yang berdampak positif pada kegairahan perekonomian secara luas,” kata mantan Frater Karmelit (O.Carm) ini.
Sebelumnya Trias Kuncahyono – Wakil Pemimpin Redaksi Kompas – membeberkan latar belakang ‘sejarah’ munculnya buku biografi Bapak Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo. Buku dengan titel Terima Kasih, Baik, Lanjutkan ini sudah dirilis awal Oktober 2017 lalu dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Obor.
Sejatinya, kata Trias, Mgr. Suharyo merasa tidak berkenan dan tidak layak otobiografinya ditulis. Namun, karena misinya adalah untuk membantu program belarasa Berkhat Santo Yusup (BKSY) hasil besutan Mgr. Ignatius Suharyo bersama PaLingSah (Paguyuban Lingkaran Sahabat, alumni Seminari Mertoyudan), maka – demikian kata Trias – “Akhirnya luluh juga ‘pertahanan’ Monsinyur sehingga akhirnya buku otobigrafi itu muncul.”
Buku otobiografi Mgr. Ignatius Suharyo dengan titel Terima Kasih, Baik, Lanjutkan ini dikerjakan oleh St. Sularto dan Trias Kuncahyono – keduanya wartawan senior Harian Kompas.
Seluruh royalti hasil penjualan buku tersebut didonasikan untuk kesuksesan program BKSY. (Berlanjut)
Additional report & Editor: Mathias Hariyadi