PASKAH dan Natal menjadi saat di mana para imam yang tidak berkarya di paroki-paroki memutuskan ‘keluar’ dari zona nyamannya dan kemudian pergi melayani ritual sakramental ke daerah-daerah pelosok di tlatah Keuskupan Agung Palembang. Biasanya, kami diajak serta dalam pelayanan. Tri Hari Suci tahun 2018 ini, kami merayakannya di stasi-stasi Paroki St. Paulus Muara Bungo, Jambi.
Paroki St. Paulus adalah paroki diaspora dengan 25 stasi. Paroki ini melayani umat yang tinggal di enam kabupaten dalam wilayah tiga provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Barat, dan Riau.
Waktu jarak tempuh dari pusat paroki ke stasi-stasi ini paling dekat setengah jam, yaitu Stasi St. Antonius Rimbo Bujang Unit 2, sedangkan yang paling jauh adalah Stasi St Theresia Rintisan Sungkai yang berada di Provinsi Riau dengan waktu tempuh 3 jam. Estimasi waktu berlaku, jika perjalanan lancar; belum termasuk waktu mencangkul, jika ban mobil tersangkut di lumpur lengket.
“Stasi yang paling banyak umatnya itu di Rantau Jaya, ada 50-an keluarga, yang paling sedikit di Rimbo Bujang Unit 10 hanya 8 keluarga,” kata Romo Silvester Joko Susanto, pastor Paroki St. Paulus.
Kamis (29/3), rangkaian perjalanan pelayanan Tri Hari Suci 2018 dimulai. Ada 5 orang romo yang melayani. Tiga orang romo yang memang berkarya di Paroki St. Paulus, sedangkan dua lainnya ‘diimpor’ dari Kota Palembang.
Empat orang dari antara mereka melayani ke-25 stasi dengan rotasi yang telah ditentukan, sedangkan satu orang tetap melayani di pusat paroki. Senyum sumringah disertai tawa terdengar sesaat sebelum mereka pergi ke tempat pelayanan masing-masing.
“Maria ikut Romo Avien, ya?,” pinta Romo Frans.
Maria yang sering mabuk perjalanan ini pun mengangguk pasrah.
“Jadi Rina, kamu dengan saya,” lanjutnya sembari menghabiskan makanan di piringnya pagi itu.
Ada dua stasi yang harus dilayani pada Hari Kamis Putih ini. Stasi yang kami tuju pertama kali adalah Stasi St. Antonius, Kuamang Kuning Unit 10. Butuh waktu satu jam untuk tiba di Stasi St Antonius dari Muara Bungo, dengan kondisi jalan aspal yang berlubang setiap dua meternya.
Stasi St Antonius didiami 9 keluarga Katolik. Umat Stasi Kuamang Kuning Unit 17 berkumpul dalam perayaan Kamis Putih ini di Stasi Kuamang Kuning Unit 10.
Usai Perayaan Ekaristi, ada tradisi kunjungan umat di mana romo yang merayakan misa bersama dengan rombongannya dijamu makan nasi dan lauk pauknya. Biasanya kesempatan ini dimanfaatkan para romo untuk berkatekese atau sekedar mendengarkan kisah-kisah umat, baik pengalaman iman maupun keadaan sosial ekonomi mereka.
Kali ini obrolan kami berakhir sekitar pukul 16.00 WIB, karena kami mesti meluncur ke Stasi St. Maria Tanah Garo.
Dari Stasi St. Antonius butuh waktu dua setengah jam untuk sampai ke Stasi St Maria. Kami sampai pukul 18.30 WIB. Umat sudah menunggu, karena kami telat setengah jam. Meski sudah malam, namun semangat seorang imam tatkala berjumpa dengan umat tidak bisa luntur.
Sering aku bertanya, “Romo, kok homilinya panjang?”
Dengan sabar Romo Frans menjawab, “Ya, umat di stasi itu tidak setiap hari bisa bertemu romo dan merayakan Misa. Mereka pasti rindu kehadiran romo dan Tuhan.”
Lebih menantang
Perjalanan ke Tanah Garo lebih menantang daripada ke Kuamang Kuning Unit 10. Kami mesti melewati jalan tanah berlubang. Kali ini, selama setengah jam lebih, Romo Frans berhomili di gereja stasi yang berdampingan dengan gereja HKBP ini.
“Pada malam Kamis Putih, Yesus mengadakan dua sakramen, Ekaristi dan Imamat. Kita semua yang sudah dibaptis menerima anugerah imamat umum untuk menguduskan diri sendiri, keluarga, Gereja, dan masyarakat,” kata Romo Frans yang mengaku terharu berjumpa dengan umat Stasi ini.
Betapa tidak?
26 tahun lalu ia melayani Stasi ini sebagai seorang frater TOP, yaitu seorang frater yang sedang menjalani latihan melayani (semacam KKN). Ia mengendarai motor Honda GL Max untuk mengunjungi stasi berjarak 110 Km dari Muara Bungo ini. Waktu itu, setiap bulan ia berjumpa dengan mereka untuk pendalaman iman, pelajaran agama atau urusan lainnya.
Imam yang ditahbiskan 20 tahun lalu ini mengimbau, agar umat setia mengikuti Kristus. “Tuhan Yesus dalam Ekaristi menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya. Tuhan yang setia akhirnya menyerahkan diriNya secara total di atas kayu salib, sampai mati. Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk setia. Suami istri saling setia, meneladankan kesetiaan kepada anak-anak,” nasihat Romo Frans mengakhiri homilinya malam itu.
Sekitar pukul 21.15 WIB Mas Sarjito, menyopiri mobil yang kami tumpangi menuju Pastoran St. Paulus Muara Bungo. Kami mengambil jalan lain untuk pulang. Jalanan malam lebih menantang.
Jalan setapak yang belum diterangi lampu jalan menyimpan surprise untuk kami. Ribuan kali ban mobil mesti masuk lubang-lubang jalan pun kepala penumpang membentur kaca dan dinding mobil. Bak pijat refleksi, badan kami digoncang. Rasanya seperti botol air mineral yang dikocok-kocok.
Kira-kira pukul 00.30 dini hari Jumat, kami tiba di Gereja St. Paulus, tempat kami sesaat merebahkan badan.
Jumat Agung
Pukul 07.30 WIB, kami melanjutkan perjalanan lagi. Masih sama. Hari ini Romo Frans melayani dua stasi, yaitu Stasi St. Faustina Asam Merah dan Stasi St Mikael Lubuk Mandarsah.
Dari pusat Paroki St Paulus ke Stasi St Faustina butuh waktu perjalanan dua jam, sedangkan dua jam lagi dari Stasi St. Faustina ke Stasi St. Mikael.
Perjalanan hari ini lebih menantang adrenalin. Sekitar 5 kali double gardan mobil mesti diaktifkan. “Kalau tidak setirnya berat. Gardannya bisa nyangkut,” kata Mas Sarjito sambil tertawa.
Satu jam lebih perjalanan, aspal berganti koral, koral berganti tanah hitam. Tanah hitam berganti tanah merah. Setengah jam sebelum Ibadat Jumat Agung dimulai sayup-sayup terdengar lantunan pasio, kisah sengsara Tuhan Yesus. Kami sampai lokasi. Sibori berisi Sakramen Mahakudus yang kupeluk erat sepanjang jalan kuletakkan di atas monitor sound system. Tidak lama setelahnya, ibadat dimulai.
“Kalau lewat jalan-jalan begini, kebayang pengorbanan romo-romo dalam melayani,” kata isteri Mas Sarjito yang juga ikut bersama kami ke Stasi St. Maria Tanah Garo.
“Kami ini, asistensi hanya sepekan. Bawa mobil sendiri ke stasi-stasi. Rasanya nggak begitu. Jadi kebayang bagaimana pastor paroki dan pastor-pastor rekan yang setiap minggu mesti melayani. Mereka luar biasa,” sambung Romo Frans de Sales SCJ.
Umat yang bermukim di Stasi St Faustina dan Stasi St Mikael ini didominasi Suku Batak.
Setengah dari mereka berusia anak-anak.
tulisan yang bagus, dan memang begini keadaannya. saya termasuk umat st.paulus muarabungo. terimakasih