DUSUN itu bernama Botong. Ini adalah sebuah kampung permukiman penduduk masyarakat Dayak. Lokasinya berada di daerah wilayah pedalaman Provinsi Kalimantan Barat. Tepatnya, dusun itu masuk wilayah administratif Kabupaten Ketapang, Kecamatan Simpang Hulu, Desa Kualan Hulu Botong.
Botong adalah sebuah desa terpencil yang terletak tengah hutan Kalimantan Barat. Mayoritas kebanyakan masyarakat lokal di sana adalah etnis Dayak. Pekerjaan harian mereka di situ adalah petani tanam padi dan petani tanam dan sadap karet.
Dulu hutan tropis belantara
Botong dulunya termasuk desa yang sangat ramah lingkungan. Dikarenakan kawasan hutannya yang masih sangat hijau dan tentu saja juga masih asri. Aliran sungainya sangat jernih. Tersedia aneka jenis hewan-hewan khas hutan. Binatang-binatang itu masih banyak dan suka datang berkeliaran di sekeliling wilayah permukiman penduduk.
Tapi itu dulu. Karena, Botong sekarang sudah sangat berbeda.
Kenapa saya bilang sudah berbeda? Itu karena banyak perubahan telah terjadi di Botong. Lebih menyedihkan lagi, tentu saja, karena perubahan itu ternyata justru tidak mampu membawa perubahan “positif” bagi warga sekitarnya. Tidak juga mampu menghasilkan tingkat kesejahteraan hidup masyarakat menjadi lebih baik.
Hutan jadi gundul
Penyebabnya satu. Karena kawasan hutan lindung yang dulu “melingkupi” Botong kini sudah tidak ada lagi. Praktis kawasan hutan itu kini sudah “gundul”. Pohon-pohon luar biasa besar itu kini sudah tidak ada lagi. Entah kemana. Yang pasti, pepohonan itu sudah ditebang.
Air sungai yang dulu sangat jernih kini sudah berubah warna. Menjadi kecokelatan. Juga sangat keruh. Aneka binatang hutan yang dulu sering bersliweran di permukiman penduduk kini sudah semakin jarang muncul kelihatan. Ikan-ikan air tawar juga sudah semakin sulit didapat.
Salah satu yang membuat sungai-sungai di pedalaman Kabupaten Ketapang di Kalbar ini jadi “berubah warna” itu adalah efek dari praktik penambangan emas. Dikerjakan oleh penduduk lokal. Tentu saja illegal alias tanpa izin. Sehingga air buangan limbah yang terkontaminasi dengan larutan kimia berupa merkuri itu kini telah “meracuni” aliran sungai.
Akibatnya, sungai-sungai itu kini sudah menjadi keruh, warna kecokelatan mendominasi, dan sangat berbahaya bagi tubuh manusia kalau masih mengandalkan aliran sungai untuk memasak.
Mengapa semua ini terjadi? Karena praktis sudah tidak ada hutan lebat lagi. Makanya, masyarakat lokal lalu ambil jalan praktis: mencari nafkah dengan menambang emas di tepi aliran sungai.
semua ini hanya karna satu permasalahan yaitu kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kini mata pencarian semakin susah didapatkan di Botong. Maka jalan pintas pun dilakukan: nambang emas ilegal.
Mau sampai kapan mampu bertahan
Sebagai anak pedalaman dari Botong, saya merasa jalan pintas ini pun tidak akan mampu bertahan lama. Karena hutan dan aliran sungai yang mereka garap pasti lamban laun juga akan semakin habis arealnya. Jumlah binatang hutan dan ikan sebagai sumber nabati dan protein juga semakin langka.
Sebagai pemuda Botong yang kini tengah kuliah Agribinis Pertanian di Universitas Taman Siswa Yogyakarta, tentu saja saya punya harapan sangat besar. Misalnya, pemda Kabupaten Ketapang menyediakan fasilitas hidup yang lebih mudah agar mobilitas penduduk bisa semakin banyak.
Antara lain tersedianya jalan, jaringan listrik PLN, dan internet. Semua hal ini tentu saja akan membantu mobilitas penduduk agar bisa mencari peluang cari nafkah yang lain.
Yogyakarta 16 Januari 2024